Kembali Menuju Air



Air. Siapa yang tak kenal air? Orang yang tak pernah kenal air adalah orang yang tak pernah hidup di dunia ini. Air adalah saudara tua manusia dalam proses penciptaan karena sebelum manusia ada, air sudah lebih dulu ada. Karena air pula, segala macam makhluk hidup baik tumbuhan maupun hewan hidup, jauh  sebelum ada manusia,. Manusia diciptakan kemudian, setelah semuanya ada.
Air menjadi sumber kehidupan bagi segenap makhluk hidup. Bahkan dalam air itu sendiri terkandung makhluk yang hidup di dalamnya baik berukuran besar maupun berukuran sangat kecil. Air sangat penting dalam mengawali kehidupan, bahkan air dikatakan sebagai sumber kehidupan.
Karena peran air, baik tanaman maupun hewan hidup dan melangsungkan keturunannya. Manusia pun bisa memanfaatkan mereka, tidak hanya sebagai sumber makanan, tetapi sebagai penunjang kehidupan manusia yang lainnya, misalnya dalam membentuk kebudayaan manusia. Semua itu manusia lakukan untuk mempertahankan hidupnya.
Kalau direnungkan lebih dalam, manusia pun lahir berkat air. Ia ada bersama air dalam rahim ibunya. Airlah yang menjadi pelindungnya selama ia masih berada di dalam rahim. Air pula yang memberi kenyamanan bagi manusia di dalam rahim. Air itu sangat dekat dengan calon manusia dalam rahim. Maka sebenarnya, air dan manusia sudah sangat akrab, tak berjarak. Bahkan sebelum manusia menghirup udara bebas di muka bumi, ia lebih dulu akrab dengan air.
Selanjutnya, kalau ditelusur lebih lanjut, air menjadi bagian dari tubuh manusia. Bahkan para ahli mengatakan bahwa 70 persen, manusia terdiri dari air.  Dengan demikian, air sudah tidak dekat lagi dengan manusia melainkan, air ada di dalam manusia. Air melekat erat dalam kehidupan manusia. Air menjadi air kehidupan bagi manusia. Bahkan, tidak hanya manusia, air juga ada dalam tubuh hewan maupun tumbuhan. Maka, dengan demikian air sebenarnya entitas yang sangat istimewa, bukan hanya dalam kehidupan manusia, namun juga bagi kehidupan semua makhluk dan semesta. Semua makhluk hidup membutuhkan air. Maka, sekali lagi, air adalah sumber kehidupan.
Karena air adalah sumber kehidupan, maka sungguh sangat tepat, jika air menjadi sarana sakral dalam ekspresi upacara kepercayaan manusia. Air menjadi lambang kehidupan karena semua makhluk hidup bergantung padanya. Air juga menjadi sarana kesucian karena air juga bisa membersihkan segala kotoran. Melihat peran air yang sedemikian pentingnya, maka wajar jika air dijadikan sebagai sarana kesucian dalam upacara-upacara keagamaan. Air adalah sakral.

Meskipun air menjadi bagian kehidupan dalam tubuh manusia, tidak sekonyong-konyong manusia menyadari pentingnya air pada zaman sekarang. Dalam keseharian, air tak mendapat perhatian khusus, karena air hanya dianggap sebagai instrumen biasa. Ia hanya menjadi alat memuaskan dahaga, alat membersihkan tubuh, alat membersihkan perabot yang kotor, alat untuk menyiram tanaman. Tidak ada pemaknaan lebih lanjut. Bahkan air pula yang menjadi tempat pembuangan sampah. Lihatlah sungai-sungai di sekitar kita, banyak sampah dibuang di sana!
Terlebih lagi untuk saat ini, manusia terasing dengan alam sekitarnya. Manusia saat ini lebih asyik menenggelamkan dirinya dalam alam buatannya. Ia tenggelam, asyik masyuk dalam berbagai perangkat teknologi yang dibuatnya. Terlebih saat ini, teknologi mengalami revolusi yang luar biasa. Manusia mengira, teknologi ciptaannya bisa memenuhi segala kebutuhannya.
Teknologi yang semestinya hanya menjadi alat, telah berubah menjadi tuhan-tuhan baru. Teknologi menjadi berhala. Bahkan selanjutnya, manusia menjadi sangat tergantung pada perangkat teknologi itu. Ada seorang pengajar yang sangat kesulitan kalau bahan presentasinya yang dijalankan melalui aplikasi komputer tertinggal di rumah. Ia mengaku tidak bisa mengajar dengan baik karena sudah sangat bergantung pada teknologi itu. Seorang remaja merasa ada yang hilang dalam dirinya, ketika ponsel keluaran terbarunya tertinggal di rumah. Ia merasa tak bisa bergaul dengan baik. Ada perasaan gelisah, linglung. Bahkan, di sela-sela waktu menunggu, orang-orang zaman sekarang menggantungkan dirinya pada ponselnya. Orang-orang zaman sekarang merasa tidak mati kutu lagi ketika sendiri melihat-lihat isi ponselnya. Meski sendiri, ia merasa asyik tak kesepian. Teknologi menjadi alat pengusir kesepian. Hal itu tidak dijumpai pada manusia dua dekade lalu. Perkembangan teknologi itulah yang mengasingkan manusia dari alam semesta.
Manusia sekarang mengalami kesulitan merenungi keberadaan air. Ia sudah sangat terasing meski sebenarnya antara dirinya dengan air sangat akrab bahkan menyatu. Teknologi dengan perkembangannya telah membuat yang sangat dekat menjadi sangat asing, meski sebenarnya manusia menggantungkan hidup padanya.
Bukti keterasingan manusia dengan air terlihat ketika manusia tak lagi menghormati air. Air yang semestinya menjadi sumber hidupnya sebelum dilahirkan di dunia dan ketika hidup di dunia dirusak sedemikian rupa. Sungai dan laut menjadi tempat pembuangan sampah raksasa. Sungai menjadi tempat pembuangan limbah-limbah pabrik yang berbahaya.
Seiring perkembangan budaya masyarakat yang makin konsumtif, air pun menjadi komoditas yang dikonsumsi dengan rakus tanpa memperhatikan aspek kelestarian air. Manusia tak lagi menjaga air. Hal ini berkebalikan dengan para nenek moyang yang dulu memelihara sumber-sumber air dengan cara menyucikan area sumber-sumber tersebut. Manusia sekarang menodai air tersebut.
Manusia kerap membuang-buang air dengan percuma tanpa memperhatikan ketersediaan air yang ada. Bahkan untuk urusan yang semestinya hanya membutuhkan air sedikit, manusia dengan pongahnya menghambur-hamburkan air karena ia yakin dengan uang yang mereka miliki, pikirnya, air akan dibeli dengan mudah.
Air bagi para pemilik modal pun menjadi entitas yang bisa diperjual-belikan. Privatisasi air telah menjadikan air yang adalah anugerah Tuhan menjadi entitas mahal. Manusia berusaha menguasai sumber-sumber air. Bahkan tindakan tersebut dilakukan secara legal. Negara merestuinya. Maka, tak heran ada pemilik-pemilik modal tertentu yang memonopoli air di sumber-sumber air tertentu. Petani dan masyarakat yang awalnya berhak memperoleh air, kehilangan haknya karena air telah dimonopoli sedemikian rupa. Pola-pola pertanian boros air juga makin dikembangkan pada saat dunia kekurangan air.

Kembali pulang  
Manusia sudah sedemikian terasing dengan air yang merupakan entitas yang sangat akrab melekat dengan dirinya. Saking terasingnya, manusia tak lagi menghargai air, meskipun dirinya sepanjang hidupnya membutuhkan air. Rupanya manusia sudah berjalan terlalu jauh, yakin dengan kemajuan teknologi yang justru membuatnya terasing dengan asalnya. Manusia mengembara dalam kepongahannya. Ia merasa menjadi penguasa atas ciptaan termasuk air. Pikirnya, ia adalah tuan atas air. Padahal sebaliknya, manusia dilahirkan dari air, hidup bersama air, dan hidup karena air.
Pada zaman sekarang, sudah saatnya manusia menoleh ke belakang dan membalikkan langkah menuju jalan pulang. Manusia kembali ke rumahnya yang dulu hilang. Rumah itu adalah tempat yang hangat ketika manusia dengan air bersatu, akrab dan saling menghidupi. Di sanalah kehidupan berawal dan dari persatuan itu pula kehidupan berlangsung terus menerus melintasi berbagai waktu dan generasi.
Terlambat atau tidak, manusia perlu segera kembali. Dan, memang manusia tak akan pernah bisa memisahkan dirinya dengan air. Sebab, air ada dalam dirinya. Maka, hanya manusia yang ingin mengakhiri hidupnyalah yang ingin memisahkan dirinya dari air.
Jalan pulang itu tidak panjang. Bahkan jalan itu tak berjarak dan sangat intim. Rasakanlah kembali ketika meminum air. Kita bersatu dengan sumber hidup, air! Rasakan, kita tak mungkin dipisahkan dari air! Karena, air bersemayam dalam tubuh kita dan menghidupi tubuh kita.
Maka, seorang imam kembali meraih gelasnya yang masih berisi air separuh. “Di padang gurun, air mahal!” katanya seraya meneguk, merasakan aliran air itu masuk ke kerongkongannya bersatu dengan tubuhnya. Itulah kehidupan.



Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Kembali Menuju Air"