Manusia Bergantung pada Alam



Dalam narasi Kitab Suci, manusia diciptakan setelah semua benda dan makhluk diciptakan terlebih dahulu oleh Allah. Dengan demikian manusia sebenarnya makhluk ciptaan yang bungsu. Dan memang, selanjutnya manusia bisa hidup dengan baik berkat adanya ciptaan-ciptaan sebelumnya, sebutlah beberapa di antaranya, seperti bumi, benda-benda langit, segala macam tumbuhan, maupun segala macam hewan. Tanpa mereka, manusia tak akan bisa bertahan hidup. Artinya, manusia bisa hidup karena ada ciptaan yang ada terlebih dahulu. Dan sampai sekarang manusia hanya bisa hidup karena ciptaan-ciptaan tersebut.
Namun, seiring perkembangan budayanya, sadar tak sadar manusia menjadi perusak alam ciptaan itu sendiri. Jika dahulu pada masa meramu, manusia hanya berburu makanan seperlunya, pada perkembangan selanjutnya manusia berusaha mengeksplotasi alam ini secara rakus. Sebut misalnya untuk menjamin ketersediaan pangan, manusia harus membuka hutan, mengubahnya menjadi area pertanian, yang tak jarang memakai cara-cara bertani yang tak ramah pada alam. Dalam hal mengamankan ketersediaan pangan, manusia tak segan memakai cara-cara yang tak ramah lingkungan misalnya penggunaan pestisida kimia yang memusnahkan spesies-spesies lainnya. Di samping merusak alam, sebenarnya cara-cara tersebut berpotensi menghancurkan manusia itu sendiri karena banyak bahan beracun terakumulasi dalam pangan yang dikonsumsi manusia.

Sementara itu, untuk keperluan industri, penambangan besar-besaran dilakukan. Mereka membuat lubang-lubang raksasa di perut bumi untuk mengambil bijih-bijih tambang. Atas nama industrialisasi dan pembangunan, alam diperkosa habis-habisan. Semua itu dilakukan dengan dalih untuk kesejahteraan manusia.
Manusia menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta ini (antroposentrisme). Maka, segala orientasi ciptaan dianggap hanya untuk manusia dengan mengabaikan aspek kelestarian alam itu sendiri. Manusia lupa, bahwa dirinya bisa berada karena bergantung pada alam semesta.
Akibatnya, relasi antara manusia dengan ciptaan rusak karena manusia terlebih dahulu merusak ciptaan itu. Karena relasi dengan ciptaan rusak, maka rusak pula relasi manusia dengan Allah Sang Pencipta yang menyatakan bahwa semua ciptaan baik adanya. Manusialah yang telah merusaknya.
Dalam situasi itu, manusia ditunggu supaya kembali kepada khitah semula, bahwa ia sesungguhnya hanyalah ciptaan bungsu yang bergantung sepenuhnya kepada ciptaan-ciptaan terdahulu. Bahkan sebagai sesama ciptaan, manusia semestinya berpaling kembali kepada Sang Pencipta untuk memulihkan relasi yang telah rusak itu.
Rusaknya relasi itu, menurut Mgr Johannes Pujasumarta dalam homili ekaristi di Gua Maria Penadaran Gubug (16/8/2013), disebabkan oleh manusia tidak lagi menjadi penjaga satu sama lain dan manusia ingin menghabiskan segala-galanya.
Dalam situasi itu, manusia diharapkan memulihkan relasi yang rusak itu. Stanislaus Sandarupa dalam Harian Kompas (21/8/2013) menulis pembangunan harus dilengkapi dengan paradigma pandang dunia yang lebih holistik yang telah dikembangkan oleh nenek moyang sejak ratusan, bahkan ribuan tahun silam. Salah satu contohnya adalah subak di Bali.
“Filosofi yang mendasari subak adalah tri hita karana (tiga penyebab kebaikan dan kemakmuran). Kebaikan dan kemakmuran dapat dicapai dengan mengembangkan kehidupan harmonis antara manusia dan Tuhan (parhyangan), antara manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan),” demikian tulis Stanislaus Sandarupa.
 Nenek moyang kita dikenal sebagai masyarakat yang pandai menjaga relasi antara dirinya dengan alam semesta. Maka, mereka sangat menghormati alam sebagai bagian dari hidupnya. Sumber-sumber mata air dijaga sedemikian rupa. Upacara-upacara pun diciptakan untuk menghormati kekuatan alam. Dengan demikian, alam tak akan dirusak. Alih-alih merusak alam, mereka justru berguru kepada kearifan alam untuk memaknai hidup ini.
Sikap menghormati alam juga menjadi cara hidup Komunitas Sedulur Sikep di daerah Sukolilo. Sampai hari ini, mereka tetap bekerja sebagai petani sebagaimana yang dipesankan oleh para pendahulu mereka. Bagi mereka, bertani adalah jalan hidup yang mesti dilestarikan. Karena menyandarkan hidup pada pertanian, maka mereka dengan amat sadar menjaga kelestarian alam. Bahkan saking dekatnya dengan alam, Gunretno, seorang pemimpin komunitas tersebut pernah mengatakan, “selama ada keong di sawah, orang Sedulur Sikep masih bisa makan.” Dengan demikian, mereka menggantungkan diri sepenuhnya secara total pada kelestarian alam karena mereka sadar bahwa makanan yang mereka makan berasal dari alam. Bumi yang menyediakan makanan bagi mereka. Bahkan bumi disebut sebagai “Ibu yang sejati” karena bumilah yang menyediakan makan. Maka, ketika ada sekelompok pengusaha yang akan mendirikan pabrik semen, mereka dengan tegas menolak rencana tersebut. Karena pendirian pabrik semen akan merusak alam lingkungan tempat hidup mereka dan masyarakat pada umumnya bergantung.
            Manusia sebaiknya meninggalkan kesombongannya. Bahwa dia bukanlah penguasa atas alam ini. Dia adalah makhluk yang sepenuhnya bergantung pada alam. Maka, dengan demikian, manusia semestinya rendah hati. Bahwa tanpa alam, manusia tak bisa berbuat apa-apa.
            Karena apa yang diperlakukan manusia terhadap alam akan mempunyai implikasi terhadap manusia itu sendiri, maka manusia semestinya mempertimbangkan kembali cara berelasinya terhadap alam. Yang awalnya menindas, mengeksploitasi, dan merampok alam dengan rakus, sudah saatnya, manusia sadar dan menghentikan tindakan itu. Manusia perlu bertobat karena dia sudah melakukan dosa-dosa ekologis yang bahkan itu mengancam keberadaan dirinya.
            Dalam pertobatan itu, manusia diundang untuk melihat pola-pola relasi antar ciptaan, mempelajarinya dan menyesuikan diri dalam irama relasi tersebut. Sehingga ia tersadar, dirinya bukanlah penguasa atas alam, namun menjadi bagian dari alam itu sendiri dengan pola-pola relasi mutual. Dengan ini sebenarnya manusia berusaha untuk melek ekologi. Dengan demikian, dia hanya melakukan hal-hal yang mendukung kelestarian alam. Bersamaan dengan itu, dia pun menghindari tindakan yang merusak alam. Di antara semua makhluk, manusia adalah makhluk berbudaya yang bisa mendayagunakan segenap budi, perasaan, spiritualitas dalam berlaku di dunia ini. Dengan demikian, ia memiliki pilihan untuk berbuat baik pada pelestarian alam.
Para uskup di Indonesia mengingatkan, di antara segala ciptaan, manusia adalah satu-satunya makhluk secitra dengan Allah (bdk. Kej 1:27). Sebagai citra Allah, manusia mempunyai martabat sebagai pribadi yang mampu mengenali dirinya sendiri, menyadari kebersamaan dirinya dengan orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk ciptaan yang lain. Manusia adalah rekan kerja Allah dalam menata, menjaga, memelihara dan mengembangkan seluruh alam semesta ini. Allah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk memelihara dan mengolah dengan bijaksana alam semesta ini serta berupaya menciptakan hubungan yang harmonis di antara semua ciptaan (bdk. Kej 2:15). Oleh karena itu, manusia harus mengelola bumi dengan segala isinya ini dalam kesucian dan keadilan. Manusia tidak berhak memboroskan dan merusak alam serta sumber-sumber dengan alasan apapun. (Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia 2013, Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan).
            Bersama ciptaan lain, manusia adalah sesama ciptaan Tuhan. Meski ia secitra dengan Allah, dia sebenarnya hidup bergantung pada ciptaan-ciptaan lain. Maka, sudah sepantasnya, manusia pun menyadari kelebihannya sebagai makhluk dengan mengejawantahkannya dengan menjaga relasi antara dirinya dengan alam, sesama manusia dan Tuhan.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Manusia Bergantung pada Alam"