Botol Ni Samen



Masih lekat dalam  ingatan saya, almarhum Ni Samen. Dia seorang perempuan tua, tetangga penulis waktu masih kecil di sebuah desa di pinggiran waduk yang berada di kawasan perbatasan Kabupaten Brebes bagian selatan.  Kerap kali, penulis melihat perempuan yang sehari-hari mengenakan kain jarik itu pergi ke warung membeli minyak goreng. Ia tak pernah lupa menenteng botol kaca yang dipakainya sebagai wadah minyak itu. Meskipun waktu itu kemasan plastik sudah mulai dikenal dan dipakai sebagian masyarakat desa kami, namun, Ni Samen tetap setia membeli minyak goreng dengan mewadahinya dalam botol kesayangannya. Sementara itu, orang-orang lain mulai memilih memakai plastik sebagai bungkus minyak goreng.
Dan seiring dengan itu, plastik-plastik pembungkus itu mulai memenuhi kebun-kebun di samping sampah kemasan plastik lainnya. Sadar atau tidak, Ni Samen sebenarnya memilih untuk tidak menyisakan sampah. Sementara yang lain, sadar atau tidak, sebenarnya sedang memproduksi sampah, merusak lingkungan setahap demi setahap. Dan memang benar, jumlah sampah itu makin bertambah dan bervariasi sampai hari ini. Karena tak ada niat mengelola sampah, maka sampah menjadi tak terkendali dan merusak alam lingkungan.

Sekarang, kita makin tak berdaya karena banyak produsen lebih getol membungkus produknya dengan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan. Hal ini makin diperkuat karena kita berada dalam masyarakat industri yang makin bernafsu memproduksi kemasan-kemasan yang tak ramah lingkungan. Sementara itu, sebagai konsumen, kerap kali kita tidak sadar bahwa produk yang kita beli ternyata menyisakan sampah tak ramah lingkungan. Atau bahkan kita pun sadar, meskipun, produk tersebut menyisakan sampah tak ramah lingkungan, kita tetap membelinya karena kita tak berkuasa menolak. Keadaan makin parah, karena kita tak mampu dan atau mau mengelola sampah tersebut secara baik.
Adalah Deklarasi Ganjuran yang dicetuskan pada saat seminar para petani se-Asia di Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 16 Oktober 1990. Deklarasi itu mengajak masyarakat untuk Membangun Pertanian dan Pedesaan yang Lestari, yang berwawasan lingkungan (ecologically sound), murah secara ekonomis sehingga tergapai (economically feasible), sesuai dengan/berakar dalam kebudayaan setempat (culturally adapted/rooted) dan berkeadilan sosial (socially just). Deklarasi itu secara jelas menyinggung aspek manusia maupun kosmik (alam semesta). Bahkan Romo Gregorius Utomo Pr, tokoh penting dalam deklarasi itu, memadatkan Deklarasi Ganjuran sebagai komitmen untuk menjadi berkat bagi siapa saja dan apa saja demi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan.
Sampai saat ini, Deklarasi Ganjuran tersebut tetap masih relevan ketika Indonesia tengah mengalami kerusakan alam yang sangat masif. Deforestasi semakin tinggi. Sampah makin menggunung dan tak diikuti dengan pengelolaan sampah dengan baik. Sementara itu, polutan-polutan industri masih dengan bebas mencemari lingkungan hidup.
Meski berbasis desa, Deklarasi Ganjuran sebenarnya mengajak segenap masyarakat untuk menghormati keutuhan ciptaan, di manapun mereka berada, baik di desa maupun di kota. Singkat kata, melalui Deklarasi Ganjuran, sebenarnya kita diajak untuk hidup organis baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen, sebagai petani maupun sebagai penikmat hasil pertanian. Semangat tersebut melintas sekat-sekat wilayah dan profesi.
Orang yang hidup organis selalu menyelaraskan diri terhadap alam. Kelestarian alam menjadi aras yang dipegang teguh. Bukan kenikmatan, keuntungan maksimal yang dikejar, namun keberlanjutan alamlah yang diutamakan. Manusia bergantung sepenuhnya pada alam. Demikian pula, alam tergantung pada perilaku manusia, meski alam juga memiliki sistem tersendiri yang otonom. Namun, tak jarang perilaku negatif manusia membuat alam rusak.
Hidup organis merupakan sarana mewujudkan keadilan bagi hidup generasi berikutnya. Tentu, kita tidak ingin, anak-cucu kita kelak hidup berdampingan dengan sampah-sampah yang menggunung, hasil dari cara kita mengonsumsi setiap produk yang tak bertanggung jawab.
Sayangnya, selama ini manusia telah menganggap dirinya sebagai pusat kehidupan (antroposentrisme). Sementara yang bukan manusia hanya menjadi pelayan manusia. Makhluk bukan manusia dianggap hanya sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan manusia. Akibatnya manusia melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap alam.
Sony Keraf melalui buku Etika Lingkungan Hidup menyatakan bahwa krisis dan bencana lingkungan hidup disebabkan oleh kesalahan cara berperilaku manusia terhadap alam. Kesalahan itu bermula dari cara pandang manusia terhadap alam yang menganggap bahwa manusia adalah pusat alam semesta. Manusia dianggap sebagai tuan, sedangkan yang lain hanya sebagai alat atau instrumen tujuan hidup manusia.
Keutuhan ciptaan yang telah rusak harus dipulihkan dan/atau diselamatkan. Karena itu, diperlukan pertobatan ekologis, dari paradigma antroposentris ke paradigma biosentris. Paradigma antroposentris menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta. Sedangkan, paradigma biosentris  menghargai seluruh ekosistem bahwa semua ciptaan memiliki posisi masing-masing yang penting bagi kehidupan. Ini berarti pengembangan budaya kehidupan. (Nota Pastoral tentang Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 2011-2015, hal. 29).
Dalam Kitab Kejadian dikisahkan bahwa manusia diciptakan Allah, terakhir setelah semuanya tercipta. Jika Allah Pencipta disebut Bapa, sedangkan semua ciptaan adalah anak-anak, maka, manusia dan semua ciptaan itu adalah sesama saudara. Karena manusia adalah ciptaan terakhir maka, manusia disebut sebagai anak bungsu. Artinya keberadaan dan keselamatan manusia telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Pencipta melalui ciptaan sebelumnya seperti bumi, matahari, tumbuhan maupun binatang atau ciptaan lainnya. Manusia sebagai ciptaan yang terakhir tergantung sepenuhnya pada ciptaan-ciptaan itu. Sampai hari ini, manusia tak bisa hidup tanpa ciptaan lainnya seperti alam, bumi, air, matahari, tumbuhan maupun binatang. Semua ciptaan itu hidup dalam harmonisasi ekologis.
Sebagai makhluk yang diciptakan terakhir, manusia juga diberi tugas sebagai penjaga atas ciptaan-ciptaan sebelumnya itu. Karena dengan menjaga ciptaan-ciptaan yang lainnya, berarti ia juga menjaga dirinya sendiri.
Dari hal itu, terlihat jelas, bahwa manusia hanya hidup bergantung pada alam. Adalah tindakan mendua, jika manusia merusak alam sementara manusia tersebut, hidup bergantung pada alam. Mungkin, cara hidup seperti Ni Samen perlu kita pikir ulang untuk saat ini, meskipun itu hanya langkah kecil, namun tidak mustahil itu bisa dilakukan.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Botol Ni Samen"