Askese demi Melestarikan Keutuhan Ciptaan



Pada puncak hari Lingkungan Hidup (10/6) lalu, pemerintah menganugerahkan penghargaan kepada 18 nominator Kalpataru 2013 di Jakarta. Dua di antaranya adalah Pastor Yoseph Suyatno Hadiatmodjo Pr dan Suster Yohanita PI. Yang pertama adalah penerima Kalpataru Pembina Lingkungan. Yang kedua adalah penerima anugerah Adiwiyata atas keberhasilan sekolah Tarakanita dalam membina lingkungan.
Pastor Suyatno yang pernah berkarya di Somohitan, lereng gunung Merapi, dikenal sebagai tokoh Katolik yang terpanggil untuk melakukan gerakan lintas iman. Dengan Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), ia bersama sejumlah tokoh lintas iman melakukan gerakan dialog lintas iman, gerakan solidaritas,  dan gerakan penyelamatan lingkungan hidup. Ia pun sempat mendapat penghargaan Ashoka pada 2010. Sementara itu Suster Yohanita PI bersama para guru, staf sekolah, dan siswa, melakukan gerakan penghijauan di lingkungan  sekolahnya secara mandiri.

Dua tokoh Katolik itu sebenarnya menghayati semangat persaudaraan semesta. Persaudaraan tak hanya dengan sesama manusia namun juga dengan semua ciptaan Tuhan. Menghormati ciptaan merupakan wujud menghormati Sang Pencipta.
Alam saat ini dalam kondisi sangat rusak. Selain karena megapertambangan, megaindusti, deforestasi, perilaku hidup pribadi manusia juga menambah masif perusakan (kerusakan) alam. Sengaja atau tidak sengaja, hal-hal yang kelihatan kecil ternyata menambah buruk kerusakan lingkungan yang sedang terjadi. Demikian pula, betapa sulitnya mengubah kebiasaan kecil yang sebenarnya punya andil dalam perusakan lingkungan meskipun dalam nalar kita menyepakati bahwa tindakan yang kita lakukan bisa merusak alam. Namun, toh kebiasaan buruk itu pun tetap dilakukan.
Dalam lingkup pribadi, hal itu terkesan biasa. Namun, jika kita berpikir lebih dalam, kebiasaan buruk yang dilakukan berulang oleh banyak orang dalam waktu yang lama, tentu dampak kerusakan alamnya makin parah.
Contoh kecil, kebiasaan menyisakan makanan. Di samping tak menghargai ciptaan dalam bentuk pangan-sementara dunia dilanda krisis pangan-, tindakan itu juga menghina orang-orang yang kelaparan. Maka, Paus Fransiskus dalam khotbah peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang dicanangkan PBB Juni 2013 lalu, mengecam kebiasaan menyisakan makanan. Paus menyamakan kebiasaan itu seperti mencuri makanan dari orang miskin (Vatican City, KOMPAS.com). "Budaya membuang makanan membuat kita kehilangan sensitivitas. Kebiasaan ini sangat menjijikkan di saat banyak orang dan keluarga di seluruh dunia masih kelaparan dan kekurangan gizi," kata Paus Fransiskus.
Demikian pula dalam hal cara mengonsumsi makanan. Terkesan sederhana. Kerap kali, cara kita mengonsumsi hanya berdasar pada tawaran iklan yang seolah-olah makanan itu terkesan nikmat. Sementara itu, tak jarang, makanan yang kita santap tiap kali meninggalkan jejak sampah yang tak bisa diurai dalam waktu singkat.
Dulu, saya menjumpai tempat sampah hanya terisi oleh kemasan beberapa produk mi instan yang terbuat dari plastik. Sekarang, hampir tiap produk dikemas dengan bahan-bahan plastik yang sulit diurai. Bahkan, makanan yang dulu hanya dibungkus dedaunan pun sekarang turut dibungkus dengan bahan-bahan plastik. Lebih higienis, katanya.
Berkat pendidikan yang kita peroleh, kita sadar bahwa plastik sebenarnya berbahaya jika tak bisa diuraikan atau didaur ulang. Kenyataannya, penggunaan plastik untuk pembungkus, bukannya berkurang, justru sebaliknya, makin meningkat. Namun, kita yang sudah tahu bahwa penggunaan plastik tidak ramah lingkungan, justru kerap tidak kuasa untuk menolak hal itu.
Seolah, kita takut dianggap tidak modern bahkan primitif karena menolak memakai benda-benda modern yang sebenarnya menyisakan sampah tak terurai. Lihatlah benda-benda yang dipajang di etalase supermarket! Terkadang pula, kita tak kuasa menolak tawaran produk itu karena iklan menggambarkannya sangat menarik. Bahkan, ada pula yang takut dianggap sok ekologis (ini setara dengan orang beriman yang takut dianggap sok beriman). Permasalahannya, bukan dianggap sok atau tidak, namun berani tidak turut bertanggung jawab atas kehidupan yang Tuhan telah anugerahkan kepada kita. Atau kita hanya akan menjadi pelaku perusakan alam dan sekaligus menjadi korban kerusakan itu?
            Di antara segala ciptaan, manusia adalah satu-satunya makhluk yang secitra dengan Allah (bdk Kej 1:27). Sebagai citra Allah, manusia mempunyai martabat sebagai pribadi yang mampu mengenali dirinya sendiri, menyadari kebersamaan dirinya dengan orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk ciptaan yang lain. Manusia adalah rekan kerja Allah dalam manata, menjaga, memelihara dan mengembangkan seluruh alam semesta ini (Nota Pastoral KWI 2013, Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan no. 10).
            Memang berat, menolak tawaran produk yang menggiurkan sekaligus merusak alam. Di sinilah sebenarnya, kita dipanggil untuk melakukan matiraga, tidak mengonsumsi produk yang merusak lingkungan hidup kita, demi kehidupan itu sendiri. Asketisme menjadi jalan penyelamatan lingkungan hidup. Dua tokoh, Pastor Yatno dan Sr Yohanita, saya pikir juga mengalami pergumulan itu. Dan, saya yakin, mereka memilih melakukan askese, demi keberlanjutan alam ini.
           
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Askese demi Melestarikan Keutuhan Ciptaan"