Kerap kali, ketika kita mau berbuat baik, kita kadang ragu-ragu. Kita merasa ini belum waktunya karena kita merasa masih belum mampu, masih miskin, masih muda, masih enggan dan masih-masih yang lain yang intinya adalah menunda tindakan berbuat baik itu.

Seorang yang masih miskin disibukkan dengan aktivitasnya untuk membuat dirinya kaya. Menurutnya, dengan menjadi kaya, banyak hal akan dibagikan pada orang lain. Maka, kesehariannya disibukkan hanya untuk menumpuk harta. Semua harta dikumpulkan hanya untuk menjadikan dirinya kaya, karena dia bercita-cita jika sudah menjadi kaya, dia bisa berbuat baik. Dengan berbagai cara, dia pun melakukan kegiatan-kegiatan yang bisa mendatangkan kekayaan. Namun, titik kekayaan itu pada akhirnya tak pernah dirasakan. Karena dia merasa kurang dan alih-alih bisa berbuat baik, dia justru semakin tidak bersyukur karena harta yang dikumpulkannya dianggap kurang. Dia pun makin sibuk dengan dirinya sendiri yang terpenting adalah menjadi kaya. Hingga saatnya dia tersadar karena sakit dan mati. Kebaikan pun tak pernah dia lakukan.

Seorang mahasiswa meski setiap hari berjumpa dengan realitas kemiskinan dia tetap bersikukuh untuk belajar giat. Apa yang dicarinya? Dia bergulat dengan dirinya untuk mengejar nilai sebaik mungkin. Dengan nilai sebaik mungkin, menurutnya, dia bisa bekerja di tempat-tempat yang bisa membayarnya tinggi. Dia berpikir dengan bayaran yang tinggi, dia bisa berbagi pada yang lain. Siang malam, pagi sore, dia menenggelamkan dirinya dalam studi. Orang-orang yang berkeriyap di jalanan dan membutuhkan uluran tangan tak dipedulikannya. Sementara dia menganggap teman-teman mahasiswa yang melakukan advokasi pada orang-orang miskin dan menderita dianggap perbuatan yang sia-sia dan merugikan dirinya sendiri. Apalagi dia sangat muak dengan teman-teman mahasiswanya yang melakukan aksi demonstrasi, protes pada pemerintah yang tak berpihak pada rakyat. Itu semua dianggapnya sebagai perbuatan yang sia-sia.
Orang itu pun makin hari makin melihat hasilnya bahwa dia makin pintar dan mendapat nilai yang baik. Dia makin yakin dengan nilai yang baik, dia bisa bekerja di tempat yang baik dan mendapat bayaran yang tinggi. Dengan demikian, dia bisa mewujudkan cita-citanya yang mulia membantu orang-orang miskin dan menderita dengan menyisihkan kekayaannya pada saat dia sukses nanti.
Benar, waktu belajar sudah akan habis. Dia sebentar lagi akan diwisisuda. Dan benar, dia memang mendapat nilai tertinggi di kampus itu. Seminggu lagi dia akan diwisuda dan mendapat penghargaan yang tinggi. Namun apa yang terjadi, ketika dia akan berangkat wisuda, mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan dan mengakibatkan semua penumpangnya mati mengenaskan. Dia tak bisa mewujudkan cita-citanya.

Ahmad Tohari melalui cerita pendeknya “Wangon-Jatilawang” dalam kumpulan cerita pendek “Senyum Karyamin” yang diterbitkan pada tahun 2005 pun memotret kecenderungan bahwa orang menunda berbuat baik.  Diceritakan dalam cerpen itu tokoh Aku. Tokoh Aku sekian lama bersahabat dengan Si Sulam yang adalah orang gila. Si Sulam tiap pagi setiap harinya berjalan kaki dari pasar Wangon ke pasar Jatilawang, daerah di wilayah Banyumas. Sore hari, ia kembali dari pasar Jatilawang menuju pasar Wangon. Di antara perjalanan dua kota itu, Si Sulam selalu singgah di rumah tokoh Aku. Beberapa hari sebelum hari raya lebaran, tokoh Aku menjanjikan Si Sulam sepotong baju baru. Namun, karena Si Sulam adalah orang gila, ia takut kalau baju itu akan kotor sebelum lebaran tiba. Maka, tokoh Aku menunda akan memberikan baju baru itu sampai lebaran tiba. Namun, sayangnya, ketika lebaran tiba, Si Sulam tewas tergilas truk, sehingga tokoh Aku gagal memberikan baju baru itu. Si Sulam pun tak pernah menerima baju itu. Tokoh Aku menyesal tak terkira.

Kadang kita berpikir sesuai dengan kehendak kita. Kita kerap tergoda bahwa kita adalah yang mempunyai kuasa atas waktu, ruang dan semua peristiwa dalam hidup ini sehingga kita dengan sangat percaya diri membuat berbagai rencana sesuai dengan pikiran kita. Kita tak pernah memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi hidup kita selanjutnya, faktor yang mendukung, faktor yang menggagalkan, dan faktor X yang di luar nalar kita. Padahal, nyatanya kita tak pernah berkuasa atas waktu kita.

Kita berpikir nanti, suatu ketika, esok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, 10 tahun lagi akan ada dalam kendali kita. Kita yakin bahwa kita suatu ketika bisa berbuat baik meskipun sebenarnya pada saat ini, sekarang, pun bisa berbuat baik tanpa harus menunggu waktu-waktu mendatang.

Alangkah baiknya, jika  berbuat baik dilakukan sekarang, bukan pada waktu-waktu mendatang yang kita belum tentu bisa mengalaminya. Kita tidak menunda lagi waktu berbuat baik. Berbuat baik sesuai dengan keadaan kita saat ini sesuai dengan kemampuan kita dan tanpa "ngeman" atau menghemat berbuat baik kita. Biarkan berkat yang kita terima sekarang dialirkan sekarang supaya makin cepat berkat itu tersalur.
Sekarang dalam bahasa Inggris selain "Now" juga disebut "Present". Kadang Present juga diartikan hadiah/anugerah. Maka, sekarang adalah hadiah kita. Kita mestinya memaknai sekarang ini/masa kini/kekinian kita. Karena sekarang adalah hadiah, maka baik kalau sekarang pula kita berikan hadiah kebaikan pada yang membutuhkan.

Seorang Janda Tua dan Miskin dalam Alkitab mempersembahkan sekarang dengan menyumbang uang sesuai dengan kemampuannya. Dia berbuat sekarang sesuai dengan kemampuannya. Dia tidak berharap bisa menyumbang ketika dirinya kaya atau berlebih. Sekarang, ia mempersembahkan semua itu.
Dan, perbuatan baiknya sangat signifikan meski sedikit daripada yang bercita-cita membuta kebaikan besar pada suatu ketika dan belum tentu terwujud.






Post a Comment

Kesan/Pesan