Dalam salah satu bukunya, G. Van Schie menulis bahwa umat manusia dibayangkannya sebagai hutan rimba yang berisikan pohon-pohon besar dan kecil. Atau sebagai rumpun bambu. Setiap pohon atau batang mengartikan salah satu aliran keagamaan. Ada aliran besar dan kecil. Setiap pohon atau batang mempunyai identitas, ciri, serta sifatnya sendiri.
            Menariknya adalah bahwa semua pohon itu berakar dalam tanah yang sama, mengisap air serta zat makanan yang sama, menghirup napas yang sama, dan hidup dari sinar surya yang sama.
Pernyataan-pernyataan itu sebenarnya menyiratkan bahwa agama dihidupi dan diinspirasi oleh sumber yang sama yakni Sang Pencipta, Yang Mahakuasa, Tuhan atau apapun sebutannya sesuai dengan tradisi iman yang ada di dunia ini. Yang disebut sama, sebutan-Nya yang berbeda.
K.H. Amin Budi Harjono pernah mengatakan, dalam membuat abstraksi tentang Tuhan, seringkali manusia terjebak pada aspek bahasa dan itu selanjutnya menjadi pertentangan. Padahal, substansi yang dibahas adalah sama. ”Substansinya adalah Dia yang sama, yang kita jadikan cahaya di hati kita,” katanya.
            Ibarat pokok anggur dengan ranting-rantingnya, itulah relasi Tuhan dengan agama yang dianut manusia. Agama tak bisa hidup tanpa Pokoknya, yakni Tuhan. Rahmat Tuhan mengalir melalui agama-agama itu dan manusia mencoba memahaminya dengan mencipta religi yang ditandai dengan  mitos (narasi suci), ritus (liturgi/tata ibadah) dan tata moral bahkan dengan organisasi keagamaan.
            Masing-masing manusia pun meyakini agama atau religi itu dengan keyakinannya masing-masing. Konsekuensinya, hal ini menciptakan perbedaan. Itu normal, karena masing-masing manusia berusaha memahami pengalaman imannya secara khas sehingga menimbulkan interpretasi dan ekspresi yang berbeda dalam hal beriman.
Yang menjadi aneh adalah ketika perbedaan menyangkut tanggapan, interpretasi dan ajaran agama itu, mengakibatkan konflik bahkan kekerasan. Ini menjadi ironi, karena agama yang bersumber dari Kekuatan yang sama justru mencipta pertentangan di antara mereka.
            Bahkan atas nama agama, orang-orang tega untuk melakukan kekerasan terhadap penganut agama lainnya, entah dengan merusak bangunan suci, menyerang pemeluk agama tertentu bahkan sampai membunuhnya. Ironis, agama yang terinspirasi dari sumber yang sama ternyata saling menyerang. Ini ibarat sesama saudara yang saling bertengkar.
            Jikalau agama sudah bersifat seperti itu, maka sebenarnya agama itu sudah kehilangan keilahian-Nya. Roh Tuhan yang semestinya menghidupi agama itu serta merta tidak ada lagi karena telah ditolak oleh roh kebencian manusia penganutnya.
            Dengan demikian, sebenarnya agama itu terputus dari Sang Sumbernya. Karena Tuhan yang adalah kasih itu tak tecermin lagi dalam agama. Namun yang memancar dari agama itu adalah sikap merasa paling benar dan kebencian yang ditunjukkan penganutnya dengan sikap membenci agama lain, menyebarkan khotbah untuk membenci atau memusuhi agama lain, melakukan penyerangan  bahkan melakukan kekerasan.
            Sebagaimana sumbernya, agama semestinya memiliki sifat yang tak jauh dari Tuhan yang memiliki sifat kasih. Itu ibarat kodrat agama. Bahwa agama semestinya memancarkan sifat-sifat Tuhan yang untuk kemudian dihayati dan diekspresikan dalam kehidupan. Mungkin ekspresinya berbeda, namun tujuannya sama, yakni menuju sumber agama itu sendiri, Tuhan. Meski ekspresi berbeda namun, semangat yang dibawa adalah sama, tak jauh dari sifat Tuhan yang adalah Kasih. Lalu, semestinya agama-agama itu tetap bisa memperlihatkan bahwa dirinya adalah entitas yang diinspirasikan oleh Tuhan itu sendiri. Jadi, agama tidak itu melakukan tindakan yang berlawanan dengan sifat Tuhan itu.          
            Karena berasal dari sumber yang sama, bahwa Tuhan adalah Kasih, maka agama-agama mestinya menghayati kodratnya yang adalah entitas yang mengusung semangat kasih Tuhan itu sendiri. Maka, segala bentuk kekerasan atas nama agama untuk menyerang agama lain, sudah dengan sendirinya harus dihentikan, meski masing-masing punya iman yang berbeda.
Kyai Budi berpendapat bahwa setiap orang dilengkapi dengan konsep-konsepnya sendiri dalam memaknai sesuatu. Situasi itu bagaikan taman. “Setiap keberadaan pohon, tumbuh-tumbuhan akan diberi kesempatan untuk berkembang,” katanya. Dan, menurutnya, pohon-pohon itu mempunyai ranting-ranting yang masing-masing tidak saling bergesekan atau berebut. “Tidak pernah gesekan karena masing-masing ranting pohon memiliki kecerdasan mencari celah di antara ruang-ruang kosong itu untuk menggapai satu cahaya matahari,” kata pengasuh Pondok Pesantren Al Ishlah itu.
Bukankah seperti itu, semestinya agama?       

Post a Comment

Kesan/Pesan