Kalau direnung-renungkan, saat ini, ketika membeli makanan/minuman, sebenarnya, yang dibeli adalah makanan/minumannya atau pembungkusnya? Tentu banyak orang dengan yakin menjawab, makanan/minumannya. Sepintas yang dirasa adalah makanan/minumannya karena benda itulah yang dinikmati. Sementara itu, kita tak menghiraukan bahwa pembungkusnya pun kita beli. Untuk membeli air saja, kita harus turut membeli gelas/botol kemasan yang hanya sekali pakai. Demikian juga makanan kecil, bungkusnya yang kerap berbahan plastik selalu ikut terbeli.
Kenikmatan di lidah menjadi prioritas orang dalam mengkonsumsi makanan/minuman, sementara pembungkusnya dibuang begitu saja dan menumpuk menjadi sampah yang tak jarang sulit untuk diurai makhluk renik pengurai. Orang tak lagi berpikir, makanan yang dimakan itu meninggalkan sampah yang merugikan atau tidak.
Sekarang budaya itu makin menguat. Sebagai bukti, jika dulu sampah-sampah di kebun kita didominasi dedaunan atau pembungkus berbahan plastik hanya satu atau dua. Sekarang, lihat tempah sampah kita atau tempat sampah umum. Isinya beragam pembungkus dengan model dan bahan yang variatif dan kebanyakan hanya menjadi pencemar karena tak bisa diuraikan dalam waktu singkat. Semua itu berakhir pada kerusakan alam yang merugikan manusia maupun makhluk hidup lainnya.

Gambaran itu sepintas menujukkan cara mengonsumsi manusia zaman sekarang. Tidak hanya makanan dan minuman, dalam rangka mengkonsumsi perkakas atau pesawat  pun manusia tak menghiraukan dampak buruknya.
Yang menjadi orientasi adalah kenikmatan, kenyamanan, keuntungan dirinya semata, tanpa berpikir akan potensi kerugian pada lingkungannya. Atas nama higienisasi makanan, produsen makanan/minuman menciptakan makanan/minuman lengkap dengan  bungkus yang tak jarang menjadi sampah yang mencemari lingkungan.  Atas nama gengsi, orang berbelanja produk lengkap dengan kemasan yang menarik yang tak jarang terbuat dari bahan-bahan yang juga bisa merusak lingkungan.
Atas nama kesenangan dirinya, orang-orang abai pada keamanan manusia, hewan dan tumbuhan di lingkungannya.
Dengan demikian orang-orang sekarang digiring masuk pada ruang keegoisan. Semuanya bermuara pada kenikmatan, kenyamanan, dirinya. Orang dibuat manja. Orang tak lagi bisa berpikir panjang dampak akan setiap produk yang bisa jadi mempunyai potensi merugikan nasib dan kedudukan makhluk ciptaan lainnya.
Bahkan, orang zaman sekarang sampai dibuat tak sadar bahwa mereka dipaksa membeli sampah yang merupakan pembungkus dari produk-produk yang dibelinya. Ya jelas, ini adalah masalah pemilik modal industri kemasan. Bahwa mereka pun ingin meraup untung dengan produk kemasan mereka. Agenda yang dilakukan adalah dengan mendompleng jargon higienis dan daya tarik, daun pisang tak lagi dipakai sebagai pembungkus kue lemper. Nasi tak lagi dibungkus daun jati, namun kertas berlapis plastik. Katanya lebih trendy dan sehat.
Loh kan bisa didaur ulang atau dipakai lagi? Jadi tak masalah kan? Produksi pembungkus yang tak bisa diuraikan dalam waktu singkat tetap dilakukan? Ah,  isu ekologi dipakai untuk meraup keuntungan. Kalau dipikir lebih lanjut. Ongkos memproduksi dan mengubah pembungkus menjadi produk daur ulang terlalu mahal. Dan belum tentu juga bisa semuanya bisa didaur ulang atau dipakai ulang. Lagi pula produk hasil daur ulang pun nantinya akan menjadi sampah. Mau diubah jadi apa lagi? Bukankah lebih baik mengurangi sampah dari pembungkus produk itu lebih baik? Caranya, ya cerdas dalam mengonsumsi, memilih produk yang tak bersampah atau minim sampah. Kita belajar lagi memilih makanan yang berbungkus dari bahan alami dan belajar memilih produk perkakas atau pesawat yang ramah lingkungan.
Kalau masyarakat sekarang dibuat enggan berpikir secara dalam mengenai dampak ekologis produk yang dipakai, kita harus memulainya. Sampah telah terbukti memperparah banjir di Jakarta. Memang, para pemilik modal telah berhasil mendikte kita untuk selalu mau mengonsumsi tanpa harus berpikir rasional akan dampak negatifnya.
Selembar bungkus makanan pun telah berhasil mengasingkan kita dari alam ciptaan Tuhan setelah sebelumnya manusia begitu akrab dengan dedaunan sebagai bungkus. Daun adalah produk tumbuhan yang dalam narasi suci penciptaan adalah saudara tua manusia. Bukankah tumbuhan dan hewan secara teori lebih dulu lahir dari manusia? Apakah kita lupa, bahwa manusia hidupnya bergantung pada tumbuhan dan hewan? Rupanya kita perlu memperbaiki relasi itu dengan baik ya mulai dari pembungkus. Berelasi dengan ciptaan, maka berelasi juga dangan Sang Pencipta.

Post a Comment

Kesan/Pesan