Sepi ing pamrih ramai ing gawe


Riuh rendah orang-orang berbicara tentang gemerlap dunia. Namun, semakin berusaha keras, dunia itu tak pernah memuaskan mereka. Kekayaan, kekuasaan dan kepandaian setinggi apapun tak pernah bisa menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Masih saja semua itu menyisakan residu masalah. Dunia tak pernah bisa digenggam sempurna seperti menimang sebuah bulatan bola.
            Karena begitu sulitnya menggenggam dan menguasai dunia, orang-orang pun berusaha meninggikan takaran kepandaiannya. Alih-alih terkuasai, orang-orang pun terjungkal. Bukan dunia yang dikuasai, namun dirinya yang dikuasai dunia. Yang tuan jadi budak, yang budak jadi tuan. Manusia tak lagi bisa menguasai dirinya, bahkan ia menjadi budak keinginannya.
            Lihatlah dengan kepandaian dan akses kekuasaan yang dimiliki, orang-orang merampok kekayaan dengan serakah. Dengan kekayaan dan kepandaian, orang-orang menggapai kekuasaan. Dengan kekuasaan dan kekayaan, orang-orang menggapai kepandaian dengan sangat culas. Dan, jelas kepandaian itu hanyalah semu dan menjadi cara untuk membodohi rakyat.

            Cerita itu gambaran bagi sebagian orang yang silau akan gemerlap dunia seperti sebagian pelaku politik maupun pelaku pasar bahkan masyarakat warga kita. Hampir semuanya terkena penyakit itu.
            Kekuasaan, kepandaian dan kekayaan menjadi monumen nafsu manusia. Dan lucunya, orang-orang berlomba-lomba mengejarnya dengan memasang muka tembok tak berurat malu. Dengan rasa bebal, orang berlomba berprofesi koruptor. Bahkan dengan membolak-balik fakta dan pasal-pasal hukum. Dengan garang orang menginjak dan menyikut orang lain untuk menuju singgasana kekuasaan. Dengan manipulasi dan kompromi ketidakjujuran, baik guru maupun murid menyulap kadar intelektualitasnya supaya dianggap pandai melalui skor tertentu.
            Orang takut dilihat miskin, lemah dan bodoh. Alih-alih menutupi semua, yang terjadi adalah manipulasi. Banyak orang berkedok berkeliaran entah di panggung politik, mimbar agama maupun masyarakat umum. Peran baru yang tak pernah menyiratkan jati dirinya sekalipun dimainkan.
            Keluguan dan kepolosan seolah menjadi hal yang memalukan. Jujur dianggap aneh. Sederhana bukan menjadi gaya hidup impian. Orang tak lagi mementingkan proses. Prinsip ekonomi makin menggila. Dengan sedikit pengorbanan, orang berusaha mencari keuntungan setinggi mungkin. Bahkan kalau bisa dengan sekedip mata, emas di depan mata sudah berkumpul.
            Seolah, nafsu memiliki sesuatu, menjadi sesuatu atau meraih jati diri tertentu menjadi satu-satunya bintang yang dituju. Pemaknaan manusia akan kehidupan hanya dikonkretkan dalam wujud materi. Sementara itu, keutamaan hidup tak lagi menjadi cita-cita yang harus didamba. Dan semua itu termuara pada kepentingan diri semata. Semua relasi dan aktivitas dinilai dengan mata uang.
            Orang Jawa mengenal falsafah ”Sepi ing pamrih ramai ing gawe” (Tidak mengharap pamrih tetapi giat bekerja). Falsafah yang sudah dihidupi sejak zaman nenek moyang sebenarnya menyiratkan semangat berkarya lebih diutamakan daripada mengharap peruntungan pribadi atau berorientasi pribadi. Semata-mata bukan uang, meskipun uang itu penting. Namun ada yang jauh lebih penting yakni kepentingan bersama demi kesejahteraan bersama.
            Maka, gotong royong menjadi kegiatan yang menonjol. Tampak bahwa kebersamaan dalam mencapai kesejahteraan bersama benar-benar dihidupi. Tentu hal ini membutuhkan kerelaan berkorban yang teramat sangat. Bagaimana mungkin orang yang hidupnya belum tentu mapan dan harus bekerja mencari nafkah begitu ada gotong royong atau ada yang meninggal, atau ada perhelatan di kampung, pekerjaannya ditinggal dulu.
Prioritas mengutamakan kepentingan bersama dan lebih besar demi kesejahteraan bersama, menjadi yang terutama.
            Falsafah luhur itu dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa terutama dulu. Sekarang banyak orang terlalu berorientasi pada dirinya sendiri demi meraih kekayaan, kekuasaan maupun kepandaian. Jika semuanya itu sudah didapat tak jarang yang terjadi adalah menindas rakyat atau orang lain. Maka, tak ada salahnya kembali ke yang klasik yang jelas-jelas telah membawa keadaban yang baik bagi manusia dan sudah disaksikan nenek moyang kita. Sepi ing pamrih ramai ing gawe patut dihidupi. Semangat berkarya diutamakan tanpa harus mengharap upah. Karena sebenarnya, kita telah mendapat upah, jika semua menerapkan prinsip itu. Semua memberi, dan semua menerima. Maka, tergenapilah Mat 6:33, ”Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu!” Percaya?
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Sepi ing pamrih ramai ing gawe"