Begitu manusia lahir, sejak itu pula ia menjadi penghasil sampah dari dirinya sendiri. Dalam proses kelahirannya, keluar air ketuban dan cairan lainnya yang menyertai kelahiran manusia. Demikian pula setelah manusia memasuki kehidupannya, setelah makan dan minum, ia pun menghasilkan sampah baik berwujud urine, tinja ataupun keringat. Maka, sejak manusia dilahirkan, manusia adalah makhluk bersampah, sama seperti hewan yang juga menghasilkan sampah melalui proses pengolahan makanan dalam tubuhnya.
Makin besar manusia, makin banyak pula sampah yang dihasilkannya. Hal itu terjadi seturut dengan makin banyaknya jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi dalam tubuhnya.
Sebagai makhluk yang berbudaya, manusia memproduksi berbagai perkakas. Banyak di antara perkakas itu yang pula mengeluarkan sampah. Bahkan, semakin banyak perkakas yang dibuat, semakin banyak pula sampah yang dikeluarkannya. Manusia modern mencipta barang-barang yang mempermudah kehidupannya. Barang-barang tersebut misalnya alat-alat transportasi (kereta api, mobil, pesawat terbang), alat-alat komunikasi (televisi, radio, telepon) maupun perkakas lain yang bisa mempermudah kehidupan manusia.

Ironisnya, baik langsung dari dirinya maupun melalui perkakasnya, sampah yang keluar dianggap sebagai sesuatu yang menjijikkan, bahkan manusia menjauhinya. Meskipun sebelumnya, sampah itu menyatu dengan dirinya ataupun dengan peralatannya karena sampah itu adalah sisa proses produksi.
Bahkan perilakunya pun makin menjadi, misalnya membuang sampah-sampah tersebut di kebun orang lain, di sungai, di tempat-tempat umum, di laut. Namun yang pasti bukan di lingkungan rumahnya. Prinsipnya, bukan dirinya yang menghadapi sampah tersebut, namun orang atau tempat lain saja.  Fenomena dibangunnya tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dan menggunungnya sampah di Bandung beberapa waktu lalu membuktikan bahwa manusia tidak ingin kalau sampah berada di lingkup hidupnya.
Manusia sadar atau tidak sadar, dirinya adalah produsen sampah yang tak mau menjadi konsumen sampah tersebut. Dalam hal ini, manusia menjadi “dermawan” sampah untuk orang lain bukan karena ingin berbuat baik atau berlaku cinta pada orang lain. Namun, itu dilakukan karena dirinya sedemikian cinta diri tanpa mempertimbangkan keselamatan orang lain.
 Manusia ingin lari dari tanggung jawabnya atas produksi sampahnya. Biar orang lain yang menanggung sampah tersebut, yang penting bukan dirinya. Biar dirinya yang merasakan hidup nyaman, sementara itu biarlah orang lain yang menanggung ketidaknyamanan itu.
Sangat terlihat bahwa manusia itu tidak bertanggung jawab atas apa yang dihasilkannya. Tidak hanya dalam hal sampah, banyak perbuatan yang dilakukan untuk membuat nyaman, kuat dan berkuasa untuk dirinya dengan merugikan orang lain.
Semestinya, manusia sadar bahwa dirinya tanpa memproduksi sesuatu dengan alat-alat ciptaannya, manusia sudah menghasilkan sampah melalui proses alami. Apalagi dengan proses produksi yang dipicu oleh kemampuan menciptanya, makin banyak sampah yang sengaja atau tak sengaja dihasilkan.
Sehingga, manusia sadar bahwa sampah yang dikeluarkan dari tubuhnya pun dikelola dengan baik dan bijak tanpa harus melempar tanggungjawabnya pada orang lain. Dengan menyadari bahwa dirinya adalah makhluk bersampah, manusia menempatkan sampahnya secara bijak supaya bisa menjadi berkat bagi keselamatannya.
Bukan melemparkan dampak buruk pada orang lain, tetapi justru menciptakan kesejahteraan bersama dengan sampah yang dikelola dengan baik. Sadar tak sadar, ada sampah yang memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan demi kesejahteraan manusia itu sendiri sendiri. Kotoran manusia pun bisa dijadikan bahan untuk membuat biogas melalui instalasi tertentu. Tuhan begitu luar biasa, membuat sampah atau kotoran itu menjadi berkat yang luar biasa. Yang dianggap menjijikkan itu dianggap menjanjikan bagi kebajikan manusia.
Sadar bahwa dirinya adalah makhluk bersampah, maka manusia mestinya menyadari, ada sampah yang berpotensi baik untuk diolah, namun ada yang sama sekali tak bisa diolah untuk kesejahteraan. Sampah berpotensi baik, bisa diolah sedemikian rupa menjadi sesuatu yang berguna. Sedangkan sampah yang tak berguna bahkan berbahaya jangan diproduksi lagi.
Butuh kemauan dan kecerdasan untuk menyikapi sampah. Kalau manusia adalah makhluk bersampah mengapa tak mau belajar menyikapi sampah yang mutlak terus menerus diproduksi setiap waktu baik melalui mekanisme alamiah maupun rekayasa manusia? Sementara manusia adalah salah satu makhluk ciptaan yang selain memproduksi sampah juga hidup bersama makhluk ciptaan lain.

Post a Comment

Kesan/Pesan