Memperteguh Kembali Semangat Kebangsaan Lewat Indahnya Perbedaan


Sejarah lahirnya Indonesia tak pernah bisa dilepaskan dari kiprah orang-orang muda pada waktu itu. Dimulai dengan kebangkitan nasional pada tahun 1908, sumpah pemuda 1928, kemerdekaan Republik Indonesia 1945, penggulingan orde lama 1966, sampai penggulingan orde baru 1998, tak terhitung jumlah orang muda yang terlibat di dalamnya. Artinya, sejarah negeri ini, tanpa mengesampingkan peran orang tua, merupakan sejarah orang muda yang rindu akan pembebasan.
            Menurut Nota Pastoral Orang Muda Menggugah Dunia yang diterbitkan Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang (KAS) 2009, dari segi usia orang muda adalah mereka yang berusia di antara 13-35 tahun dan belum menikah. Rentang usia yang panjang ini merupakan masa yang menentukan perkembangan manusia untuk meraih kedewasaan fisik, moral, emosional, dan spiritual[1].
            Dalam nota pastoral yang sama, terdapat sepuluh item dunia orang muda. Pertama, masa pencarian. Masa muda adalah masa pembentukan jatidiri. Pada masa ini orang muda akan menegaskan identitas, kepribadian dan keunikannya.

            Kedua, orang muda suka berkelompok. Hal ini bisa dilihat pada komunitas-komunitas orang muda yang ada diberbagai tempat dengan berbagai macam bentuknya seperti kelompok sepeda onthel, geng motor, penggemar binatang, olah raga, musik, teater, kelompok diskusi ataupun kelompok pecinta lingkungan.
            Ketiga, masa muda adalah masa aktualisasi diri. Serupa tempat air yang sudah penuh, orang muda ingin membagikan kepada semua apa yang dimilikinya. Sebaliknya, serupa juga dengan tempat yang kosong, orang muda selalu mencari pemenuhan diri.
            Keempat, orang muda gelisah dengan kemapanan. Dalam diri para orang muda tersimpan segala energi untuk mengubah tatanan dunia menuju suatu idealisme demi kebaikan semua orang. Kemapanan semu menggelisahkan orang muda dan memunculkan keprihatinan yang kemudian melahirkan keterlibatan.
            Kelima, orang muda kaya dengan ide-ide segar dan inspiratif, sekalipun sering mengagetkan.
            Keenam, orang muda spontan dan tanggap terhadap situasi. Begitu bom dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki tanggal 6 dan 8 Agustus 1945 oleh pasukan Amerika, para pejuang muda dan anggota tentara PETA secara spontan menangkap peristiwa itu sebagai peluang untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Chaerul Saleh, Shodanco Singgih dan pemuda lainnya membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Di sana, lahirlah teks proklamasi.
            Ketujuh, kokoh dalam prinsip. Orang muda seringkali dipandang bersikap keras kepala. Namun, jika dilihat secara positif, hal itu dipandang sebagai keteguhan orang muda dalam berprinsip dan ketekunannya dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi kesejahteraan semua orang.
            Kedelapan, orang muda dinamis dan kreatif. Dunia orang muda adalah dunia yang selalu bergerak untuk menemukan tempat yang sesuai. Maka, mereka akan selalu bergerak dari tempat satu ke tempat lain, dari situasi satu ke situasi yang lain sampai ditemukan tempat yang lebih nyaman dan menyejukan hati.
            Kesembilan, orang muda berhasrat akan nilai-nilai ideal. Banyak yang mengatakan kalau orang muda selalu bersikap idealis. Namun, tak jarang pula, banyak yang mengritik  kalau orang muda hanya berhenti pada tataran ide, namun gagal dalam aksi atau realita. Namun, justru idealisme inilah yang membuat orang muda berani bermimpi atau bercita-cita. Tak jarang sebuah penemuan dan pergerakan yang membawa perubahan diawali oleh mimpi.
            Kesepuluh, masa muda adalah masa pembelajaran, masa yang paling baik untuk mendapatkan dan menyerap aneka macam pendidikan. Dalam masa ini, orang muda belajar merasakan, melihat, mengalami dan melakukan sesuatu sehingga nalar, gerak hidup dan hati mereka bertumbuh dengan baik.

Apa kekuatan orang muda?
            Mendengar kata orang muda, satu kata yang mewakilinya adalah perubahan. Tanpa orang muda tak ada perubahan. Mereka memiliki idealisme yang kuat dalam membangun negeri ini. Maka, idealisme itu mengalahkan cinta dirinya. Wani nggetih adalah istilah tepat untuk menunjukkan militansi orang muda dalam hal membuat perubahan. Sejarah telah mencatat kegigihan mereka.


Tantangan-tantangan orang muda
            Meskipun demikian, orang muda selalu dihadapkan dengan tantangan-tantangan seperti konsumtivisme, globalisasi, kemajuan teknologi informasi, perubahan budaya dan gaya hidup, dan dunia yang sekular.
            Seiring dengan perkembangan industri baik produk dan jasa, masyarakat dikondisikan untuk menjadi konsumen termasuk di dalamnya adalah orang muda. Bagi dunia industri (baca: pemilik modal), tingginya tingkat konsumtivisme merupakan keuntungan bagi industri atau produsen. Maka, dengan beraneka cara, industri berusaha “membujuk” masyarakat untuk memakai produknya, bahkan tidak cukup itu, pihak produsen akan berusaha mengajak konsumen untuk mengonsumsi secara berlebih. Di sinilah sebenarnya orang muda ditantang untuk bisa memilah dan memilih dengan bijak mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi keinginan.
            Globalisasi dengan berbagai dampaknya menjadi tantangan tersendiri. Orang muda dengan begitu cepatnya mendapat informasi dari luar negeri karena dunia ini bagaikan sebuah kampung kecil di mana penyebaran informasi baik positif maupun negatif begitu cepat tersebar. Dalam situasi ini, orang muda ditantang bisa menyaring serangan informasi dan menggunakan informasi dengan baik.
            Kemajuan teknologi informasi menantang orang muda supaya bisa memakai teknologi tersebut demi untuk memuliakan Tuhan dan sesama. Namun, ada bahaya, kemajuan teknologi membuat orang muda tergiur untuk memasuki hal-hal yang bisa membahayakan jiwanya seperti pornografi dan kekerasan bahkan ada media yang digunakan untuk agitasi fanatisme.
            Perubahan budaya dan gaya hidup juga memengaruhi hidup orang muda. Bisa jadi orang muda tergelincir pada budaya dan gaya hidup yang negatif seperti budaya instan dan kekerasan. Budaya instan menumpulkan daya kreativitas orang muda. Sementara itu kekerasan melukai rasa kemanusiaan. Namun budaya dan gaya hidup negatif  bisa saja menjangkiti orang muda melalui perjumpaan langsung maupun melalui media yang mereka akses.
            Dunia yang makin sekular juga menjadi tantangan bagi orang muda. Nilai-nilai religius tidak menjadi perhatian utama. Bahkan orang muda makin jatuh pada hal-hal yang bersifat material bukan hal yang rohani. Akibatnya, orang muda tidak mempunyai pengalaman akan Allah yang intim.
Itu semua mengancam orang muda pada umumnya, tak terkecuali orang muda Katolik pada khususnya.

Penyakit fanatisme dan ketidakrukunan orang muda
            Sementara itu, tak sedikit pula orang muda yang terkontaminasi fanatisme sempit. Kalau kita cermati baik-baik, teroris yang tertangkap banyak yang masih muda berusia sekitar belasan sampai dua puluhan tahun. Dan kalau kita saksikan di media, insiden Monas (1 Juni 2008) banyak pelakunya adalah orang muda. Penyerangan terhadap komunitas agama tertentu juga banyak dilakukan orang muda.
            Ini adalah kondisi yang sangat membahayakan. Ada kekuatan-kekuatan yang mencoba menghasut orang muda untuk fanatis dan memusuhi umat beragama lain. Orang muda dimanfaatkan hanya untuk tujuan politik tertentu. Orang-orang itu tahu betul memanfaatkan gelora orang muda seperti idealisme yang tinggi, militansi yang tinggi dan keberanian wani nggetih orang muda. Namun, energi positif itu dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak benar.
             Berkali-kali isu-isu konflik agama mengancam persaudaraan warga bangsa Indonesia. Ulah provokasi segelintir orang hanya untuk tujuan politik ternyata begitu mudah memengaruhi orang muda. Maka, tak sedikit hanya dengan provokasi, orang muda bisa diterjunkan menjadi orang-orang fanatis.
Setara Institute pada tahun 2007 mencatat 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dengan 185 jenis tindakan. Tahun 2008 terjadi 265 peristiwa pelanggaran dengan 367 tindakan, dan pada tahun 2009 terjadi 200 peristiwa dengan 291 tindakan. Tahun 2011 ini terjadi 244 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mengandung 299 bentuk tindakan kekerasan. Ini menunjukkan bahwa tingkat kekerasan berbasis agama masih tinggi di Indonesia.

Orang muda berdialog
            Seringkali ketidakrukunan antarpemeluk agama bahkan sampai menjurus kepada kekerasan karena dipicu adanya sikap fanatisme bahwa agamanya adalah yang paling benar dan agama orang lain adalah sesat. Dari hal inilah dan karena ulah pihak tertentu yang mempunyai agenda politik tertentu hal tersebut menjadi bahan untuk konflik yang lebih hebat.
            Menyikapi kondisi tersebut, almarhum Romo Y.B. Mangunwijaya, Pr mengajak orang-orang jenis tersebut supaya belajar pada para ilmuwan. Menurutnya, kebenaran agama adalah relatif. Kebenaran agama tertentu menjadi benar hanya bagi pemeluknya, tidak pada pemeluk agama lain. Sementara itu, para ilmuwan berdebat mengenai kebenaran teorinya dengan dukungan data-data. Mereka terbuka untuk berdebat dan berdialog sampai ada teori ilmuwan lain yang paling benar menggantikan teori sebelumnya. Menariknya, para ilmuwan itu tidak memaksakan teori kebenarannya apalagi sampai melakukan kekerasan. Maka memaksakan orang lain dengan ancaman maupun kekerasan untuk masuk ke agama kita bukanlah hal yang pantas.
Menurut Franz Magnis-Suseno (1999), memilih agama adalah masalah kebebasan suara hati. Manusia bebas menentukan agama berdasarkan suara hatinya. Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia tidak dihormati dalam martabatnya apabila ia dipaksa untuk mengakui sesuatu sebagai benar yang dianggapnya tidak benar atau untuk tidak mengakui sesuatu yang disadarinya sebagai benar.[2]
Kita pun harus menghormati pilihannya karena memaksa seseorang menganut agama yang tidak diyakininya adalah perbuatan mendorong ke dalam kemunafikan dan akan mencemarkan agama itu sendiri.
Menyatukan semua orang untuk beragama sama, jelas tidak mungkin karena masing-masing memiliki pilihan imannya dan tidak bisa dipaksakan. Beragama A atau B bahkan tidak beragama adalah hak asasi manusia yang tak bisa diganggu. Hidup dalam perbedaan agama dan keyakinan adalah yang paling mungkin. Dialog menjadi jalan atau cara dalam situasi tersebut.

Membangun dialog
Markus Solo dalam Kompas (26/2/2008) menulis bahwa kesadaran dialog sebagai sebuah kebutuhan hidup dan bukan sekadar strategi untuk bertahan memunculkan kesadaran baru, bahwa ketertutupan atau arogansi sudah tidak zamannya lagi.
Sementara itu, Mgr. Ignatius Suharyo melalui Surat Gembala Prapaskah 2005, mengatakan bahwa sejarah hubungan antar umat beragama bukanlah sejarah yang hanya baik dan mulus. Sejarah ini menyimpan berbagai macam konflik yang mengakibatkan luka-luka batin. Sejarah dan akibat-akibatnya ini perlu kita akui dan terima dengan hati yang tulus. Kita perlu menyembuhkan luka-luka sejarah itu. Kalau luka-luka itu dapat disembuhkan, hubungan-hubungan kita pun akan diperbaharui (no. 4)[3].
Dialog adalah sarana penyembuhan luka batin itu. Karena melalui dialog manusia benar-benar berjumpa bukan karena label yang menempel pada dirinya seperti agama, status sosial lainnya, dan sejenisnya, namun karena dirinya adalah manusia, makhluk ciptaan yang adalah citra Tuhan itu sendiri (Imagio Dei). Manusia dengan segala martabatnya dihargai melalui dialog itu sendiri.
Selanjutnya, Mgr. Ignatius Suharyo menulis dalam sejarah peradaban manusia, cara orang tidak-beradab berperilaku dan berkomunikasi adalah dengan paksaan dan kekerasan. Sedangkan cara orang beradab berperilaku dan berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda adalah dengan berdiskusi dan berdialog. Dialog antar umat beragama persis merupakan cara orang beradab yang saling berbeda keyakinan agamanya untuk berkomunikasi mencari cara hidup bersama.[4]
Tantangan dalam berdialog adalah kecurigaan (prasangka) dan ketakutan. Kecurigaan membuat kita mempunyai pandangan yang tidak senyatanya terhadap orang lain. Akibatnya distorsi muncul. Kita memperoleh gambaran yang tidak benar. Sementara itu ketakutan hanya akan membuat orang menutup diri dan bertahan dalam tempurung kepicikannya. Sikap curiga dan ketakutan meluluhkan dialog karena pada dasarnya dialog membutuhkan ketulusan dan keterbukaan hati bukan strategi politik untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam dialog toleransi dibutuhkan. Namun, menurut sebuah sumber, toleransi itu sendiri tidak cukup untuk mewujudkan persaudaraan sejati. Sebab toleransi yang berasal dari bahasa Latin, tolerare berarti menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang memiliki pendapat berbeda. Sikap toleran tidak berarti membenarkan pandangan yang dibiarkan itu, tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya.
Maka, selain sikap toleransi, dialog juga semestinya bisa mencapai kesadaran dan pengalaman bersama bahwa Tuhan mengasihi semua manusia apapun agamanya. Tuhan mahakasih dan Ia selalu menyatukan manusia meskipun manusia itu tercerai berai dalam beraneka ragam identitasnya, membangun sikap saling mencintai dan saling menghormati untuk membangun kemanusiaan.
Hans Kűng seorang teolog dari Jerman pernah mengatakan bahwa tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama. Maka perdamaian umat beragama menjadi kebutuhan mutlak kalau kita benar-benar ingin membangun keadaban di Indonesia ini.
Dr. Th. Sumartana menulis di satu pihak, kita melihat bahwa perdamaian antaragama menjadi prasyarat bagi perdamaian dunia. Namun, di pihak lain, pernyataan itu juga bisa diartikan bahwa perdamaian dunia tersebut sekaligus merupakan lingkungan yang kondusif bagi perdamaian antaragama.[5]
Dialog lagi-lagi menjadi sarana untuk mewujudkan gambaran tersebut. Menurut Mgr Ignatius Suharyo (2009), ada berbagai upaya dialog.[6] Pertama, dialog kehidupan. Dialog kehidupan ini mencakup segala bentuk pergaulan dan hubungan sosial antara penganut-penganut agama yang berbeda. Dialog seperti itu dapat terjadi dalam keluarga, masyarakat, dan dalam berbagai bidang kerja, seperti pendidikan, kesenian, ekonomi maupun politik.
Kedua, dialog karya. Dialog ini berupa kerja sama dengan orang yang berkeyakinan iman lain untuk tujuan kemanusiaan, sosial, ekonomi, atau politik yang ditujukan untuk pembebasan atau kemajuan masyarakat.
Ketiga,  dialog pakar. Dialog ini dilakukan pada tataran keahlian, baik untuk memperdalam dan memperkaya warisan religius masing-masing maupun untuk menerapkan keahlian masing-masing pada masalah-masalah yang harus dihadapi umat manusia sepanjang sejarah.
Keempat, dialog pengalaman religius. Pada taraf yang lebih mendalam orang-orang yang berakar dalam tradisi keagamaan masing-masing dapat berbagi pengalaman mereka dalam doa, kontemplasi, iman dan kewajiban, dan juga ungkapan serta jalan mencari Yang Mutlak.

Sekadar usulan
            Mengingat orang muda adalah pilar peradaban pada masa depan, maka mereka perlu dipersiapkan dengan baik dalam hal hidup bersama dengan umat yang berbeda agama. Maka, pendidikan dialog lintas agama semestinya menjadi prioritas komunitas-komunitas beragama dan sekolah-sekolah formal yang ada di Indonesia sebab beragama di Indonesia adalah beragama bersama masyarakat Indonesia yang berbeda agama. Mereka perlu disadarkan bahwa orang lain yang berbeda agama adalah mitra dialog dan partner dalam membangun keadaban publik.
            Agenda dialog yang bisa dilakukan adalah mencoba mencermati masalah yang dihadapi semua rakyat Indonesia. Pertama, setidaknya ada tiga masalah akut yang menjangkiti Indonesia yakni korupsi, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup. Ketiga hal itu bisa menjadi pintu dialog karya. Sekadar usulan, orang muda lintas agama bersatu padu memperbaiki lingkungan hidup seperti gotong royong, adalah contoh yang sangat bisa dilakukan seperti dilakukan para pemuda di Cirebon beberapa waktu lalu. Pada waktu bulan puasa Ramadhan, kelompok orang muda lintas agama di Semarang melakukan aksi bagi-bagi nasi bungkus dan tajil untuk buka puasa, itu merupakan contoh dialog yang konkret.
Kedua, mengajak orang muda untuk memanfaatkan media jejaring sosial yang sudah sangat akrab dengan keseharian mereka misalnya facebook, blog atau twitter. Ketika sarana itu dipakai oleh kaum fundamentalis untuk menebarkan kebencian berbasis agama, maka orang muda cinta damai juga memanfaatkan sarana tersebut untuk mengampanyekan dialog dan persaudaraan sejati.
                Ketiga, agenda dialog pemuda lintas agama juga bisa menyelaras dengan tujuan nasional Indonesia yang ada pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial.
            Yang menjadi catatan penting adalah dialog bukan hanya membangun wacana namun juga membuat gerakan nyata sehingga manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat.


[1] Nota Pastoral Orang Muda Menggugah Dunia yang diterbitkan Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang (KAS) 2009
[2] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, 1999 hal. 151.
[3] Surat Gembala Prapaskah 21-22 Februari 2009

[4] Mgr. Ignatius Suharyo, The Catholic Way-Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita, 2009, hal. 84.
[5] Hans Kung dan Karl Josef Kuschel, Etik Global, 1999.
[6] Mgr. Ignatius Suharyo, The Catholic Way-Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita, 2009, hal. 83-84.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Memperteguh Kembali Semangat Kebangsaan Lewat Indahnya Perbedaan"