Satu tokoh yang menarik saya dalam film Soegija adalah seorang gadis cantik hitam manis bernama Mariyem yang diperankan Annisa Hertami. Bukan karena keelokan dan warna kulitnya yang eksotis namun lakon yang ia perankan dengan sangat tulus sebagai Mariyem, gadis lugu yang bercita-cita menjadi seorang perawat.
Ketika serdadu Belanda menganggapnya sebagai Maria-karena mereka lebih familiar dengan kata Maria dan tak kenal sama sekali kata Mariyem-gadis itu dengan lantang menolak disebut Maria. Dia bersikukuh kalau dia adalah Mariyem, nama yang diberikan orang tuanya.
Di tengah keinginannya meraih cita-cita dirinya menjadi seorang perawat yang baik, ia dan masyarakat pada waktu itu dilingkupi situasi perang yang mengerikan. Aneka penderitaan mendera orang-orang pada waktu itu. Dalam situasi itu, ada sebagian orang yang berusaha merebut kemerdekaan dengan angkat senjata. Konsekuensi perang adalah pembunuhan dan korban luka.
Di barak pasien, ia merawat orang-orang korban perang. Saat itu cita-cita dan ambisinya sebagai perawat sudah diraih. Suatu ketika, ada serdadu Belanda yang hendak menangkap gerilyawan di tempat itu. Ia mengatakan bahwa tidak ada gerilyawan, yang ada hanya pasien. Lalu ketika ditanya namanya, dia dengan segera menjawab, “Saya Maria, ibu dari semua yang ada di sini!” Entah karena terpengaruh kecantikannya atau karena tak kuat memandang kharisma Bunda Maria, Ibu dari Segala Ibu, Bunda Yesus, serdadu itu pun diam.
Yang menarik adalah tokoh Mariyem yang awalnya menolak dikatakan sebagai Maria akhirnya dengan sendirinya mengakui kalau dirinya adalah Maria, mengambil nama Ibu Sang Juru Selamat. Bahkan, ia memproklamasikan dirinya ibu dari segala yang ada di tempat itu (barak pasien).
            Peristiwa itu mengingatkanku akan peristiwa pertobatan Saulus menjadi Paulus dari manusia lama menjadi manusia baru karena terpesona oleh kebesaran Tuhan. Jika Paulus bertobat karena pengalaman berjumpa dengan Yesus dengan wujud cahaya yang memancar dari langit yang mengelilinginya karena Saulus telah menganiaya para pengikut Yesus, sementara itu Mariyem “bertobat” karena situasi yang menyudutkan dia, bahwa dia adalah ibu bagi para pasien itu. Hidup mati pasien bergantung pada kebaikan dan ketrampilan Mariyem-Maria.
            Perubahan adalah kata kunci yang menggambarkan kedua tokoh dalam narasi tersebut. Segala situasi berubah cepat atau lambat. Kuasa di luar kemampuan manusia ataupun karena kehendak manusia itulah yang menjadikan perubahan terjadi.
            Pertanyaan dasarnya adalah perubahan itu menuju ke mana, arah yang baik atau yang buruk? Itu adalah model pertanyaan yang selalu hitam putih dan menumpulkan kreativitas manusia dalam mengoptimalkan kemanusiaannya sebagai makhluk yang bernalar sekaligus berbudaya.
            Setiap narasi kehidupan manusia adalah kitab kehidupan. Dari sanalah sebenarnya terkandung ajaran-ajaran. Hanya saja kita manusia kadang dipersempit oleh pola pemikiran fundamentalistik dan dualistik benar-salah, baik-buruk, surga-neraka. Bukankah dengan bertanya hal baik apa saja yang muncul dari narasi atau riwayat seseorang itu, akan memunculkan kreativitas si penanya maupun yang ditanya untuk mencari keutamaan hidup daripada terbelenggu dalam pertanyaan dualistik yang sebenarnya juga kadarnya bersifat relatif?
Tokoh Siddarta dalam novel berjudul sama dengan tokohnya, karangan Hermann Hesse melukiskan perjalanan hidup manusia. Hidup adalah perubahan. Karena ketika manusia disebut hidup pun adalah perubahan dari tak ada menjadi ada.
Siddarta mengembara mencari keutamaan hidup, mulai dari hidup sebagai selibat dengan aturan ketat dan sebenarnya sudah dianggap meraih prestasi rohani yang tinggi bagi orang-orang waktu itu. Gengsi rohani. Namun, ia tidak menemukan keutamaan itu, ia terus mencari hingga akhirnya dirinya yang hidup selibat itu ingin belajar hidup bersama pelacur dan akhirnya mempunyai anak.
Betapa rumit perjalanan hidup manusia. Kalau pertanyaannya adalah model dualistik dan itu ditujukan pada kisah Siddarta maka jawabannya adalah Siddarta kadang baik kadang buruk, baik lagi, buruk lagi dan seterusnya. Kalau pertanyaannya adalah hal baik apa saja yang bisa diambil dari kisah itu tentu kita bisa menemukannya sangat banyak.
Relevan dengan perubahan itu, seorang pastor pernah berkata jika engkau sedang bahagia (baik), ingatlah saat sedih (buruk). Jika engkau sedang sedih (buruk) ingatlah saat  bahagia (baik). Artinya, dalam menghadapi perubahan tak perlu disikapi secara ekstrem karena bagai gelombang kadang mengangkat kita, kadang menjatuhkan kita. Dari sanalah nampak jelas, bahwa manusia tetap membutuhkan Juru Selamat yang siap menyelamatkannya. Aku tidak tahu, kisah Mariyem yang menjadi Maria selanjutnya, menjadi apakah dia setelahnya…..

Post a Comment

Kesan/Pesan