Ketika
serdadu Belanda menganggapnya sebagai Maria-karena mereka lebih familiar dengan
kata Maria dan tak kenal sama sekali kata Mariyem-gadis itu dengan lantang
menolak disebut Maria. Dia bersikukuh kalau dia adalah Mariyem, nama yang
diberikan orang tuanya.
Di
tengah keinginannya meraih cita-cita dirinya menjadi seorang perawat yang baik,
ia dan masyarakat pada waktu itu dilingkupi situasi perang yang mengerikan. Aneka
penderitaan mendera orang-orang pada waktu itu. Dalam situasi itu, ada sebagian
orang yang berusaha merebut kemerdekaan dengan angkat senjata. Konsekuensi
perang adalah pembunuhan dan korban luka.
Di
barak pasien, ia merawat orang-orang korban perang. Saat itu cita-cita dan ambisinya
sebagai perawat sudah diraih. Suatu ketika, ada serdadu Belanda yang hendak
menangkap gerilyawan di tempat itu. Ia mengatakan bahwa tidak ada gerilyawan, yang
ada hanya pasien. Lalu ketika ditanya namanya, dia dengan segera menjawab,
“Saya Maria, ibu dari semua yang ada di sini!” Entah karena terpengaruh kecantikannya
atau karena tak kuat memandang kharisma Bunda Maria, Ibu dari Segala Ibu, Bunda
Yesus, serdadu itu pun diam.
Yang
menarik adalah tokoh Mariyem yang awalnya menolak dikatakan sebagai Maria
akhirnya dengan sendirinya mengakui kalau dirinya adalah Maria, mengambil nama
Ibu Sang Juru Selamat. Bahkan, ia memproklamasikan dirinya ibu dari segala yang
ada di tempat itu (barak pasien).
Peristiwa itu mengingatkanku akan peristiwa
pertobatan Saulus menjadi Paulus dari manusia lama menjadi manusia baru karena
terpesona oleh kebesaran Tuhan. Jika Paulus bertobat karena pengalaman berjumpa
dengan Yesus dengan wujud cahaya
yang memancar dari langit yang mengelilinginya karena Saulus telah menganiaya para pengikut
Yesus, sementara itu Mariyem “bertobat” karena situasi yang menyudutkan dia,
bahwa dia adalah ibu bagi para pasien itu. Hidup mati pasien bergantung pada
kebaikan dan ketrampilan Mariyem-Maria.
Perubahan adalah kata kunci yang
menggambarkan kedua tokoh dalam narasi tersebut. Segala situasi berubah cepat
atau lambat. Kuasa di luar kemampuan manusia ataupun karena kehendak manusia
itulah yang menjadikan perubahan terjadi.
Pertanyaan dasarnya adalah perubahan
itu menuju ke mana, arah yang baik atau yang buruk? Itu adalah model pertanyaan
yang selalu hitam putih dan menumpulkan kreativitas manusia dalam
mengoptimalkan kemanusiaannya sebagai makhluk yang bernalar sekaligus
berbudaya.
Setiap narasi kehidupan manusia
adalah kitab kehidupan. Dari sanalah sebenarnya terkandung ajaran-ajaran. Hanya
saja kita manusia kadang dipersempit oleh pola pemikiran fundamentalistik dan
dualistik benar-salah, baik-buruk, surga-neraka. Bukankah dengan bertanya hal
baik apa saja yang muncul dari narasi atau riwayat seseorang itu, akan
memunculkan kreativitas si penanya maupun yang ditanya untuk mencari keutamaan
hidup daripada terbelenggu dalam pertanyaan dualistik yang sebenarnya juga
kadarnya bersifat relatif?
Tokoh
Siddarta dalam novel berjudul sama dengan tokohnya, karangan Hermann Hesse
melukiskan perjalanan hidup manusia. Hidup adalah perubahan. Karena ketika
manusia disebut hidup pun adalah perubahan dari tak ada menjadi ada.
Siddarta
mengembara mencari keutamaan hidup, mulai dari hidup sebagai selibat dengan
aturan ketat dan sebenarnya sudah dianggap meraih prestasi rohani yang tinggi
bagi orang-orang waktu itu. Gengsi rohani. Namun, ia tidak menemukan keutamaan
itu, ia terus mencari hingga akhirnya dirinya yang hidup selibat itu ingin
belajar hidup bersama pelacur dan akhirnya mempunyai anak.
Betapa
rumit perjalanan hidup manusia. Kalau pertanyaannya adalah model dualistik dan
itu ditujukan pada kisah Siddarta maka jawabannya adalah Siddarta kadang baik
kadang buruk, baik lagi, buruk lagi dan seterusnya. Kalau pertanyaannya adalah
hal baik apa saja yang bisa diambil dari kisah itu tentu kita bisa menemukannya
sangat banyak.
Relevan
dengan perubahan itu, seorang pastor pernah berkata jika engkau sedang bahagia
(baik), ingatlah saat sedih (buruk). Jika engkau sedang sedih (buruk) ingatlah
saat bahagia (baik). Artinya, dalam
menghadapi perubahan tak perlu disikapi secara ekstrem karena bagai gelombang
kadang mengangkat kita, kadang menjatuhkan kita. Dari sanalah nampak jelas,
bahwa manusia tetap membutuhkan Juru Selamat yang siap menyelamatkannya. Aku
tidak tahu, kisah Mariyem yang menjadi Maria selanjutnya, menjadi apakah dia
setelahnya…..
Posting Komentar untuk "Perubahan"
Kesan/Pesan
Posting Komentar