Hanya debulah aku/Di alas kaki-Mu, Tuhan//Hauskan titik embun//Sabda penuh ampun//Ampun seribu ampun/Hapuskan dosa-dosaku//Segunung sesal ini/Kuhunjuk pada-Mu//Tak layak aku tengadah/Menatap wajah-Mu//Namun tetap ku percaya/Maharahim Engkau//
Lirik lagu itu biasa kita nyanyikan pada masa Prapaskah yang menandakan masa pertobatan umat Katolik. Kita yang berasal dari debu akan kembali ke debu. Kita tak ada apa-apanya jika dibanding kuasa Tuhan. Kita adalah makhluk, sedangkan Dia adalah Sang Khalik, Pencipta. Abu yang kita terima pada Rabu Abu telah mengingatkan kita bahwa kita adalah debu yang akan kembali ke debu dan meskipun debu, kita tetap dikasihi. Artinya adalah kita diangkat sedemikian rupa sehingga menjadi ciptaan yang berharga. Tegas, bahwa kita hanyalah debu yang dikasihi Allah.
Kitab Kejadian menjelaskan kisah penciptaan manusia itu. TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kej 2:7). Selanjutnya, dalam kisah itu manusia membuat dosa karena ingin menjadi seperti Allah. Maka, manusia itu pun diusir dari Taman Eden karena telah membuat dosa.
Debu yang menjadi manusia itu pun menyebar, memenuhi penjuru bumi. Dalam perkembangannya, manusia mulai terlibat dengan nafsu-nafsunya. Manusia bangga akan kepandaiannya, kekuatannya dan kekuasaannya. Bahkan lebih lanjut manusia itu pun lupa bahwa dirinya hanyalah sesama debu jika dibandingkan dengan manusia lain.
Manusia membuat pembedaan antarmanusia satu dengan lainnya. Kelas-kelas sosial diciptakan sehingga manusia-manusia terbagi ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang menguasai dan ada yang dikuasai. Bahkan lebih mengerikan lagi, meski masih sama-sama debu, manusia saling membenci hanya karena berbeda agama, etnis maupun ras.
Tentu kita masih merinding ketika teringat dan membayangkan beberapa kasus seperti pembantaian suku-suku tertentu, kerusuhan medio Mei 1998, kasus Ambon, Poso, Cikeusik dan banyak kasus lainnya yang menciderai wajah kemanusiaan kita. Banyak orang mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi karena adanya muatan politis. Benar atau tidaknya, saya tidak peduli. Namun, sebenarnya semua itu tak perlu terjadi, jika sesama manusia menyadari bahwa mereka tak lebih dari debu yang dicipta secitra Allah.
Manusia lupa meski hanya debu, namun di dalam diri mereka telah dihembuskan Roh Allah. Justru di sanalah bukti bahwa manusia dicintai karena yang tadinya debu, dengan hembusan Roh-Nya, manusia menjadi mulia karena serupa dengan-Nya.
Alih-alih memandang manusia yang adalah berasal dari debu dan sudah dimuliakan dengan Roh-Nya, manusia justru menganggap manusia lain sebagai seonggok daging. Daging bagi orang-orang tertentu adalah komoditas konsumsi. Banyak hewan ternak disembelih untuk dikonsumsi (dimakan) dagingnya. Demikian juga, manusia “disembelih” untuk dikonsumsi. Manusia mengonsumsi nafsunya, keserakahannya sehingga terpuaskanlah hasratnya, yakni hasrat menjadi paling berkuasa, paling kaya dan paling pandai serta paling benar.
Atas nama agama, manusia satu menganggap manusia lain sebagai yang tersesat dan pantas untuk dimusnahkan kalau tidak mengikuti jalan yang ia tawarkan. Manusia yang sebenarnya sama, dibeda-bedakan oleh mereka sendiri. Ujungnya, karena perbedaan itu, ada yang merasa dirinya superior dan yang lain dianggap inferior. Tentu, itu semua mengingkari kedebuan manusia. Bahwa manusia kalau tidak diangkat derajatnya, dia hanyalah debu. Maka, manusia semestinya menyadari asalnya yang adalah debu.
Sindhunata dalam novel “Putri Cina” menghadirkan syair kuno Tao Yuan Ming yang mencoba menjawab keberadaan manusia di dunia ini.
“Tak berakarlah hidup manusia ini, seperti debu jalanan, kita beterbangan, dibawa angin, dan diterbarkan ke mana-mana, terlalu lemah tubuh kita untuk melawan. Karena kelahiran kita di dunia, kita dipersaudarakan, mengapa masih juga kita bertanya, siapa yang termasuk keluarga kita?”
Bukankah kita hanya debu yang sebenarnya ditakdirkan untuk bersaudara?

Post a Comment

Kesan/Pesan