Sendang


Mendengar kata Sendang hati terasa sejuk. Air yang jernih tampak indah tatkala kita pandang. Dulu, orang-orang tak segan untuk meminum air sendang secara langsung tanpa dimasak karena mereka lebih memercayai kesejukan air daripada menganggap air itu penuh kuman penyakit. Bahkan tak jarang, ada sendang yang airnya dianggap bertuah sehingga orang berusaha mengeramatkan tempat itu sebagai tempat yang suci dan tidak dirusak. Mereka bahkan menjaganya sedemikian rupa bagaikan altar yang selalu disucikan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), sendang adalah kolam di pegunungan dan sebagainya yang airnya berasal dari mata air, biasanya dipakai untuk mandi dan mencuci.
Melihat air yang sejuk dari perut sendang seolah telah melegakan rasa haus tubuh. Sementara itu, suara yang tenang di sekitar sendang mendukung kita untuk merenung bahwa Allah sungguh luar biasa melalui keindahan ciptaan-Nya itu.

Dalam tradisi Katolik, sendang mempunyai peran yang cukup penting dalam penghayatan iman. Banyak tempat ziarah Katolik yang memiliki sendang, entah alami ataupun buatan. Beberapa di antaranya adalah Gua Maria Sendang Pawitra Sinar Surya Tawangmangu; Gua Maria Sendang Ratu Kenya Wonogiri; Gua Maria Sendang Rosario Wonosari; Gua Maria Sendang Beji  Wangon; Sendang Sriningsih Klaten; Gua Maria Sendangsono Yogyakarta dan Sendang Jatiningsih Sleman.
Hal itu menunjukkan bahwa sendang memang mempunyai arti. Melalui sendang itu, manusia menemukan ketenangan batinnya. Namun, sesungguhnya kekuatan utama sendang berada dalam air yang ditampung perut sendang. Air sejak zaman purba telah menjadi salah satu elemen penopang hidup. Bahkan bukan hanya menjadi penopang hidup karena dikonsumsi makhluk hidup, lebih dari itu, air menjadi sarana penyucian. Sungai Gangga di India sejak dulu hingga sekarang menjadi sarana penyucian umat Hindu. Islam dan Kristen pun memakai air sebagai sarana penyucian. Prosesi baptis dilakukan dengan air. Sebelum sholat, orang Islam menyucikan diri dengan air.
Dalam hal ini, air bukan hanya senyawa yang dibentuk dari unsur hidrogen dan oksigen saja melainkan jauh daripada itu, air menjadi elemen yang menghidupi jasmani maupun rohani manusia. Air sungguh dihormati sedemikian rupa, hal itu terlihat dari penghormatan manusia pada tempat-tempat yang berair, seperti sungai, sendang, maupun laut. Mereka memberikan persembahan untuk menjaga relasi dengan air.
Siddharta, seorang tokoh novel karya Herman Hesse peraih Nobel 1946, dikisahkan sebagai orang yang selalu berpetualang mencari jatidiri dan ketenangan batin. Berbagai cara hidup, ia lakukan. Namun, ia tak mampu meraih kebahagiaan dan ketenangan. Ketika dia, duduk di tepi sungai, kemudian melihat dan mendengar aliran sungai, dia menemukan kedamaian. Ia menemukan kesejatian hidup melalui air sungai.
Santo Fransiskus Asisi sangat terpesona akan air. Air yang merupakan ciptaan Allah dianggapnya sebagai saudari. Justru dalam persekutuan itu, ia menemukan kemuliaan Allah. Dalam karya agungnya, “Gita Sang Surya”, ia menangkap persaudaraan semesta melalui berbagai ciptaan Allah seperti matahari, bulan, bintang, air, angin, api dan ibu pertiwi. Dan ciptaan Allah itu menjadi sarana memuji Allah. “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Air; dia besar faedahnya, selalu merendah dan murni,” tulisnya khusus untuk menunjukan keintimannya pada air.
Air semestinya menjadi ciptaan Allah yang sakral dan bukan menjadi komoditas yang diperjual-belikan dengan motivasi keserakahan kapitalisme. Adanya sendang-sendang sebenarnya menghadirkan keelokan air, entah untuk menghilangkan dahaga tubuh maupun rohani. Namun, sebenarnya jauh daripada itu, sendang itu menjadi kekuatan rohani. Di sanalah kesakralan air ditemukan. Dengan mendatangi sendang, kita memandang air kehidupan. Peziarahan kepada Sang Pencipta dimulai dari perjumpaan itu.
Bukan seperti Narsisius yang memandang air hanya sebagai sarana mengagungkan ketampanannya sendiri sehingga ia jatuh cinta pada dirinya yang akhirnya ia menceburkan diri untuk menggapai bayangan dirinya dan mati.
Air dalam sendang menjadi sarana becermin diri kita akan Allah yang jelas-jelas telah menjadi Air Kehidupan bagi ciptaan-Nya, termasuk kita.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Sendang"