Dalam ibadah keagamaan, baik ibadah yang rutin maupun ibadah hari raya, umat beragama disibukkan dengan macam ragam persiapan dan segala pernak-perniknya. Salah satu contoh yang kerap kita lihat adalah ketika Natal menjelang, umat kristiani sangat sibuk untuk menyambut Natal. Ada yang memasang pohon terang, membuat kue-kue, menyiapkan drama Natal dan lain sebagainya. Hal yang sama pun terjadi pada agama-agama lainnya. Orang-orang disibukkan dengan berbagai hal untuk menyambut hari yang akbar itu.
Sementara itu disela-sela persiapan, tak jarang orang pun terlibat konflik dengan sesama orang-orang yang menyongsong hari besar itu. Suka dan tidak suka terhadap orang lain menguat. Perasaan sombong karena idenya lebih baik ataupun perasaan kecewa karena idenya ditolak saling bertempur dalam ekspresi wajah masing-masing.
Selanjutnya, mereka pun sibuk dengan perasaan masing-masing. Dan mereka mulai mencari bentuk-bentuk kenikmatan perasaannya. Yang menjadi ukuran adalah kenyamanan perasaannya. Jika perasaannya tidak nyaman, ia pun tak segan mundur dari semua itu.

Kesibukan menyiapkan uba rampai, kesibukan mencari kenikmatan perasaan sendiri, menyita perhatian umat pada yang seharusnya mereka prioritaskan. Tuhan yang mestinya menjadi asal dan tujuan dari segala bentuk upacara itu terlupakan mereka. Peristiwa yang semata-mata untuk Tuhan menjadi peristiwa kemanusiaan, sosial dan politis. Sebab, yang terjadi adalah manusia berkutat hanya pada rasa perasaan, kenikmatan yang manusiawi. Pertemuan itu hanya menjadi ajang sosialitas dan ajang untuk memenangkan konsep atau ide atau mencari bentuk kreasi yang memuaskan rasa kemanusiaannya.
Tuhan dilupakan. Mestinya, yang menjadi ciri khas agama dan orang beragama adalah pengakuan adanya Tuhan yang menjadi tujuan dari segala tindakan. Tuhan menjadi inspirasi atau motivasi dari setiap tindakan manusia di dunia ini dengan dirinya, sesamanya dan lingkungannya. “Biarlah Dia semakin besar, dan aku semakin kecil.”
Namun, manusia terjebak dalam hiruk-pikuk penciptaan bentuk-bentuk upacara. Orang berlomba memodifikasi sedemikian rupa tataupacara. Upacara ekaristi yang dianggap tidak menarik dipermak dengan berbagai sisipan supaya lebih menarik dan tidak membuat ngantuk. Masih belum menarik juga, sisipan itu dicopot diganti lagi dengan model yang lain. Ekaristi menjadi ajang uji coba kenyamanan beribadah sampai semua terasa nyaman. Orang tidak lagi berkiblat pada Tuhan tetapi berkiblat pada kenyamanan perasaannya sendiri mirip orang mencoba-coba berbagai restoran untuk menikmati makanan yang paling enak menurutnya.
Dalam hal dogma, orang pun berlomba membuat klaim kebenaran bahwa iman atau agamanya adalah yang paling benar. Tak jarang orang saling memberi cap sesat terhadap agama lain. Akibatnya orang saling menyerang iman atau agama orang lain. Orang disibukkan dengan berbagai pernyataan apologetika. Tak jarang, hal itu berujung pada kekerasan dan pelanggaran kebebasan beragama. Korban nyawa dan harta benda berjatuhan. Perdamaian terkoyak.
Setara Institute pada tahun 2007 mencatat 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dengan 185 jenis tindakan. Tahun 2008 terjadi 265 peristiwa pelanggaran dengan 367 tindakan, dan pada tahun 2009 terjadi 200 peristiwa dengan 291 tindakan. Tahun 2011 ini terjadi 244 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mengandung 299 bentuk tindakan kekerasan. Pendirian rumah ibadah dipersulit bahkan ada rumah ibadah yang dirusak; penganut agama atau aliran agama lain dianggap sesat; peraturan perundang-undangan dan kebijakan dibuat diskriminatif. Bahkan ada yang harus meregang nyawa.
            Manusia mengalami keterpecahan dalam dirinya. Di satu sisi, ia menyembah Tuhan dan semestinya harus menaati perintah-Nya untuk membawakan kasih dan perdamaian, namun di sisi lain, manusia juga membawa kebobrokan atas nama Tuhan.
            Alih-alih menunjukkan bakti pada Tuhan, manusia justru mencoreng-moreng wajah kasih Tuhan. Tuhan dinampakkan menjadi sosok yang mengerikan. Tuhan dibajak. Orang mencoba mencari kenikmatan kebenaran dogma yang dianggapnya paling benar seraya menyalahkan yang tidak diimaninya. Orang berkutat dengan segepok keyakinan dan kebenarannya seolah melebihi Yang Mahabenar. Kejayaan manusia menjadi tujuan. Hasil kreasi, pikiran dan nalar manusia menjadi tuhan baru. Manusia lupa bahwa semestinya semua itu semata-mata demi dan dalam nama Tuhan yang Mahakasih.
            Semestinya pula, manusia bersaksi akan keagungan Tuhan. Menjalin relasi dengan-Nya, bukan berbicara dan berdebat tentang Dia yang berujung pada semacam pertengkaran anak kecil. Beato Yohanes Paulus II dalam sambutannya kepada kaum muda Muslim di Maroko, 19 Agustus 1985, mengajak supaya kita memberi kesaksian akan upaya pencarian tulus kita akan kehendak Allah. “Sebab bukankah Dia yang seharusnya menjadi inspirasi akan tekad kita untuk mengupayakan dunia yang lebih adil dan dunia yang lebih bersatu (Krispurwana Cahyadi, SJ, 2011).

Post a Comment

Kesan/Pesan