Di Indonesia  yang mayoritas penduduknya beragama, korupsi, kekerasan dan perusakan lingkungan hidup kerap terjadi. Pemeluk agama yang semestinya sesuai dengan perintah agamanya menciptakan kebaikan, perdamaian dan kesejahteraan ternyata gagal mengaplikasikan perintah agama. Alih-alih memperbaiki kondisi supaya lebih baik, agama justru sering terlibat dalam berbagai bentuk kekerasan antarmanusia. Agama seolah menjadi tidak signifikan dan relavan dengan konteks hidup pemeluk dan masyarakat yang melingkupinya.
            Acara siraman rohani keagamaan makin marak. Pembangunan fasilitas agama seperti tempat ibadah semakin banyak. Bahkan di lingkup RT pun dapat kita jumpai tempat ibadah. Tayangan acara televisi yang bernuansa religius pun menjejali layar kaca. Namun, semua itu seolah tak memberikan sumbangan nyata dalam memperbaiki kualitas hidup keagamaan seseorang. Korupsi, kekerasan dan perusakan lingkungan masih saja menjadi habitus.

            Fenomena itu mengandaikan bahwa agama tidak mempunyai kekuatan dalam membentuk sistem nilai umatnya supaya peduli pada tatanan hidup di luar dirinya. Agama selama ini hanya berkutat pada masalah kenyamanan perasaan pemeluknya. Agama hanya memberi iming-iming pemeluknya masuk surga tanpa berusaha peduli pada situasi yang terjadi di lingkungannya. Kondisi demikian inilah yang membuat banyak pihak menyangsikan peran agama.
Hal itu semakin diperkuat oleh catatan A. Sudiarja dalam buku Agama (di zaman) yang Berubah yang menuliskan tiga tokoh yang menyangsikan agama. Pertama, Karl Marx (1818-1883) menganggap agama adalah “candu masyarakat” yang mengelabui kesadaran manusia. Menurutnya, manusia seharusnya hidup dan bekerja untuk kebutuhan yang dirasakannya di dunia ini, yakni “kesejahteraan ekonomi”, tetapi agama telah mengalihkan perhatian ini ke tempat lain sehingga manusia justru terasing dari kenyataan yang sesungguhnya.
Kedua, Friedrich Nietzsche (1844-1900) menganggap agama adalah “topeng” yang digunakan manusia untuk menutupi kesadaran yang sejati. Ketiga, Sigmund Freud (1858-1939) menyatakan bahwa agama semula diartikan sebagai semacam obsesi psikosis, yakni kegiatan berulang terus-menerus dijalankan karena dirasakan sebagai kebutuhan tak terelakkan untuk membebaskan dirinya. Hal ini terlihat dalam tindakan liturgi dan upacara-upacara agama yang berulang.
Gejala yang dikemukakan tiga tokoh tersebut memang masih terjadi sampai hari ini. Beragama masih berkutat pada wilayah individu pemeluknya belum menyentuh pada sisi persoalan di luar dirinya yang lebih membebaskan dan lebih realistis menyentuh akar persoalan hidup masyarakat.
            Padahal, agama mempunyai dua sisi yakni sisi interior dan eksterior. Sisi interior akan selalu berkutat dengan spiritualitas seseorang yang diungkapkan dalam ritual ibadah, doa, puji-pujian, serta upacara-upacara keagamaan. Sedangkan sisi eksterior berkutat pada spiritualitas seseorang dalam menyikapi situasi di luar dirinya yakni kondisi obyektif yang ditatapkan dengan idealitas hidup agama. Agama selalu mengidealkan pemeluknya dan situasi masyarakatnya dilingkupi kebaikan, kedamaian maupun kesejahteraan. Dalam sisi eksterior inilah, agama melalui nilai-nilainya memberi pengutusan kepada pemeluknya untuk mencapai hal-hal ideal tersebut.
            Maka dari itu, penulis menyatakan bahwa beragama semestinya berada pada wilayah mistik dan politik. Seorang penganut agama dituntut untuk memiliki kedalaman iman yang menyangkut pokok-pokok iman sampai pada kemampuan membuat keputusan iman yang didasarkan pada ajaran agamanya ketika dihadapkan pada kenyataan yang ada. Ada keseimbangan antara altar dan pasar.
            Dalam wilayah mistik, penganut agama bertatap muka dengan Tuhan melalui doa-doa yang terjadi. Pun ia terlibat dalam mengungkapkan tradisi keagamaannya misalnya tata cara ibadah dan kegiatan yang bernuansa religius lainnya.
            Namun, di sisi politik, penganut agama berdasarkan keputusan imannya, menceburkan diri dalam permasalahan yang terjadi di luar dirinya dan masyarakat serta konteks hidup yang ada. Iman menjadi inspirasi dasar dalam menyelesaikan aneka bentuk persoalan hidup seperti korupsi, kekerasan, kerusakan lingkungan hidup, maupun ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
            Agama semestinya menjadi signifikan dan relevan bagi dirinya maupun konteks hidup yang melingkupinya. Agama yang signifikan berarti mempunyai nilai, harga atau mutu penting sehingga kehadiran agama menjadi sungguh diperhitungkan dalam diri pemeluknya dan masyarakat.
            Agama yang relevan berarti memiliki kesesuaian, kegunaan, peran, pengaruh yang sambung dengan kehidupan konkret warganya maupun masyrakatnya. Agama tidak keluar jalur dari permasalahan masyarakatnya.
            Yang bisa ditempuh untuk mewujudkan semua itu adalah memperbaiki cara beragama pemeluknya yakni selalu menyeimbangkan hidup doa dengan tindakan. Pemimpin agama semestinya mengondisikan umatnya untuk mempunyai metode beragama yang lebih membebaskan. Yakni berdoa atau beragama dalam konteks hidup. Artinya, penganut agama dikondisikan mempunyai habitus doa dengan merefleksikan ajaran-ajaran agamanya yang disambungkan dengan kenyataan persoalan yang sedang terjadi di lingkungan dirinya. Lalu, penganut agama dituntut untuk mampu membuat tindakan-tindakan yang didasarkan pada keputusan imannya. Semoga dengan ini agama semakin signifikan dan relevan!

Post a Comment

Kesan/Pesan