Semangat pantang menyerah! Itulah yang bisa saya simpulkan dari pengalaman saya bolak-balik melintas Bumiayu-Semarang. 

Demikian cerita saya waktu itu. Tahun 2004-an, saya bolak-balik dari Bumiayu ke kota-kota lain hanya untuk memenuhi tes kerja. Maklum waktu itu, saya baru lulus kuliah. Hasrat untuk bekerja dengan memperoleh penghasilan sangat menggebu. Jadi, berbagai surat lamaran saya layangkan ke berbagai perusahaan. Akibatnya, panggilan tes kerja datang silih berganti. Waktu itu, saya lebih sering ke kota Semarang karena banyak perusahaan beralamat di Semarang yang saya kirimi surat.

Untuk menuju tempat test, saya harus naik bus antar kota dalam provinsi dengan memakan waktu 7-9 jam, tergantung kondisi di jalan, ada masalah atau tidak. Biasanya saya berangkat tengah malam sehingga saya sampai Semarang tepat pagi hari dan lansung mengikuti tes kerja.

Namun, ada satu pengalaman menarik ketika saya berangkat dari rumah di Bumiayu subuh. Hari masih gelap, saya mencoba menyibak keheningan pagi dan dinginnya pagi yang gelap dan kadang berkabut. Ketika bus yang saya tumpangi melewati daerah Purbalingga, hari sudah makin terang. Samar-samar saya bisa melihat pemandangan di balik kaca jendela bus yang kutumpangi. Di daerah Purbalingga itulah saya tercengang tak terkira. 

Saya melihat para petani sudah bekerja keras menggemburkan tanahnya. Cangkul di tangannya diayunkan sedemikian rupa untuk menggemburkan dan membalikkan tanah supaya bisa ditanami dengan baik. Saya pun merenung, pagi-pagi yang dingin oleh embun dan kabut yang masih menggerayang itu, mereka sudah memeras keringat. Hal itu berkebalikan dengan kebiasaanku sehari-hari yang biasanya bangun siang ketika matahari sudah meninggi. Banyak hal terlewat jika dibanding dengan pengalaman petani tadi.

Saya merasa petani tadi adalah sosok yang berjiwa pantang menyerah. Mungkin jika ada pilihan lain, ia akan bekerja agak siang. Namun, ia harus memilih jika bekerja siang, matahari sudah terlalu menyengat. Demikian juga dengan bekerja lebih pagi, petani tersebut bisa menambah jam kerja sehingga banyak waktu tidak terbuang sia-sia. Setiap waktu adalah kesempatan bekerja bagi petani itu karena ia harus segera menanam tanaman yang bisa menghidupi dirinya dan keluarganya.

Beberapa tahun kemudian, ketika saya sudah bekerja di sebuah tempat, saya mencoba membandingkan kinerja saya dengan kinerja petani itu. Dengan rendah hati saya mengakui bahwa saya memilki semangat jauh  lebih rendah daripada petani bersahaja itu. 

Di sebuah kantor yang nyaman saya bekerja. Kalori yang saya keluarkan pun tidak sebesar kalori petani itu. Lalu, kadang saya berpikir lebih signifikan mana, cara bekerja saya atau bekerja petani itu? Menjadi petani jelas pekerjaan yang sangat mulia, karena petanilah yang menyediakan sumber pangan bagi masyarakat kita. 

Sedangkan saya, ah tidak jelas.....saya tak berani menceritakan pekerjaan saya....malu jika dibanding petani itu. Apalagi bicara semangat kerja, saya lebih malu lagi. Saya juga semakin yakin bahwa saya bekerja lebih nyaman dari petani itu. Petani itu harus menembus dinginnya udara pagi dan menahan sengatan panas. Tubuhnya bermandikan keringat. Sementara itu, banyak masyarakat menganggap pekerjaan petani hanyalah pekerjaan kelas nomor dua. 

Sedangkan saya, dengan bekerja sedikit kalori saja sudah dapat bayaran yang besar. Saya kira tidak setara dengan upah petani itu karena petani itu bekerja lebih keras daripada saya untuk mendapatkan penghasilan yang sama dengan saya.

Saya malu, ketika petani itu bekerja dengan penuh semangat, saya masih bekerja dengan penuh rasa malas. Ketika tanaman petani itu terkena hama dan petani itu kesulitan mencari penghasilan, saya masih bisa bertahan karena bayaran saya relatif sama meski tempat bekerja sedang gonjang-ganjing misalnya. Ah, saya masih bisa santai ketika tempat kerja saya masih gonjang-ganjing. Sangat berbeda dengan petani itu yang pontang-panting mencoba bertahan hidup.

Dan ketika panenannya melimpah, jerih payahnya dihargai sangat murah. Sementara itu, banyak pupuk yang digelapkan orang-orang tak bertanggung jawab. Petani banyak dibodohi dan yang membodohi  adalah orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan seperti saya.

Ah, saya sungguh merasa saya bukan apa-apa jika dibanding petani.

Saya malu padamu, wahai Petani. Ajari saya semangat untuk bersemangat seperti dirimu! Karena engkaulah contoh nyata yang paling memberi arti dalam hidup ini, apalagi jika dibanding saya. Saya bukanlah apa-apa, selain pemalas yang dibayar mahal.....

Semoga semangatmu menular padaku...!

Post a Comment

Kesan/Pesan