Dalam acara Pertemuan Getsemani tahun 1996, Dalai Lama mengatakan bahwa agama seperti obat yang penting  untuk menyembuhkan penderitaan manusia. Meskipun di dunia ini banyak agama dengan falsafah dan tradisinya yang berbeda-beda, namun menurutnya, tujuan dari masing-masing agama adalah untuk menyembuhkan rasa sakit dan ketidakbahagiaan umat manusia. Ia juga mengatakan bukan agama yang mana yang lebih hebat atau lebih super dibandingkan dengan yang lain. Ia justru mengatakan yang penting terletak pada intinya, yakni agama mana yang bisa memberikan penyembuhan lebih baik terhadap rasa sakit atau ketidakbahagiaan pada orang-orang tertentu.
Dari yang dikatakan Dalai Lama, sepintas dapat ditangkap bahwa ia menghendaki bahwa agama mesti berperan signifikan bagi manusia, bisa membebaskan manusia itu dari penderitaan baik fisik maupun non fisik, raga dan jiwa. Bahkan, agama mesti mampu menjawab semua dimensi hidup manusia yakni kesejahteraan roh, jiwa dan badan.

Sayangnya, saat ini bahkan sudah sejak dulu, agama kadang terjebak justru menyebarkan ketidakbahagiaan. Kapan itu terjadi? Ketika agama menyeru bahwa agama lain sesat secara lebih nyaring daripada membicarakan atau melakukan upaya pembebasan manusia dari kesengsaraan. Alih-alih memberi kebahagiaan pada manusia, agama justru menebarkan teror yang mengerikan bagi manusia. Agama melalui oknum pemeluknya justru melakukan pengadilan meskipun itu bukan haknya. Semakin nyata hal itu terlihat ketika agama satu berusaha membatasi agama yang lainnya dalam mengekspresikan imannya misalnya beribadah, membangun rumah ibadat maupun melakukan pengajaran bahkan melakukan penyerangan.
Kerap kali terjadi karena anggapan sesat terhadap orang lain, korban harta, benda bahkan nyawa pun terjadi akibat kekerasan yang ditimbulkannya. Dalam hal itulah agama yang semestinya menyembuhkan rasa sakit dan ketidakbahagiaan justru melakukan yang sebaliknya. Agama menciptakan ketidakbahagiaan. Hasutan kebencian dan teror ditebarkan. Agama tak lagi memberikan kenyamanan.  
Pemeluk agama sebagaimana yang dikatakan Laurence Freeman, OSB, dalam berteologi lebih cenderung memakai cara pandang kataphatic dari pada aphophatic. Pemeluk agama lebih suka menggunakan kata-kata dan ide-ide, serta berusaha menjalin ide-ide tersebut untuk membentuk sebuah pemahaman realitas yang konseptual termasuk dalam dogma agama dan mengartikan ketuhanan. Jika menemui pemeluk agama atau iman lain, ia akan bersikukuh dengan konsep dogmanya sendiri. Dan kerap kali menukil ayat-ayat kitab sucinya untuk menjustifikasi kebenaran imannya dan menyalahkan pihak lainnya.
Padahal jika antarpemeluk agama memakai cara pandang aphophatic yakni cara  mengetahui dengan jalan tidak mengetahui, pemeluk agama memasuki misteri dengan melepaskan kata-kata, pikiran-pikiran dan gambaran-gambaran. Semua tertuju pada Yang Mahakuasa sebagai Misteri Segala Misteri yang tak pernah bisa terungkapkan secara jelas. Lepaslah perdebatan dogma dan permusuhan antarpemeluk agama jika masing-masing berusaha menuju kepada misteri-Nya. Masing-masing pemeluk agama memandang Tuhan sebagai Misteri Segala Misteri karena memang tak pernah terkuak misterinya. Hanya iman yang bisa menjelaskan. Dan masing-masing memiliki iman tersendiri dalam memandang dan berjumpa dengan Misteri Segala Misteri yang tak pernah bisa diperdebatkan. G. van Schie (2008) mengatakan  Misteri segala Misteri tetap tidak dapat terbuka. Jadi, tidak akan pernah diketahui. Kita hanya dapat percaya atau tidak percaya atau menyangsikan adanya Misteri Segala Misteri itu.  
Berangkat dari misteri yang tak akan pernah terungkap itulah sebenarnya antarpemeluk agama dan keyakinan lainnya berada dalam posisi penafsir. Mereka pun sebenarnya sama-sama tergagap-gagap dan tentu saja masing-masing berbeda dalam menafsir Misteri Segala Misteri. Maka sebenarnya, perbedaan tidak perlu dipertentangkan lebih lanjut karena masing-masing menemukan keyakinannya meski dirangkai dalam “kegagapan”.
Kembali pada yang dikatakan Dalai Lama, bahwa agama mesti bisa menyembuhkan rasa sakit dan ketidakbahagiaan, maka pemeluk agama semestinya juga tidak perlu memperdebatkan temuan imannya. Namun, yang terpenting adalah mewujudkan kegunaan agama baik dalam aspek raga, jiwa, dan roh.
Daripada memperdebatkan “kegagapan”, agama sudah semestinya menyerukan pesan cinta kasih dan perdamaian karena titik temu agama-agama dan keyakinan lainnya adalah Misteri dan Kasih yang melingkupi-Nya.  Selanjutnya, agama tidak hanya menyentuh aspek roh dan jiwa. Namun, aspek “perut” atau tubuh mesti mendapat perhatian. Yesus mengatakan,”Kamu harus memberi mereka makan!” Hal itu dikatakan pada murid-murid-Nya ketika para pengikut-Nya yang ingin mendengar Kabar Gembira-Nya mulai kelaparan. Itu merupakan simbol bahwa agama tidak melulu berurusan dengan dunia roh dan jiwa atau surga. Namun, agama mesti menjangkau aspek badani.
Berbicara aspek badani berarti agama memasuki wilayah kesejahteraan manusia. Di sinilah sebenarnya, agama mencapai kepenuhannya, menyentuh roh, jiwa dan badan. Agama menyembuhkan sakit dan ketidakbahagiaan.

Post a Comment

Kesan/Pesan