Beberapa waktu lalu, kita sering mendengar anak melakukan bunuh diri hanya karena
soal yang sebenarnya sepele. Beberapa diantaranya adalah anak yang tidak bisa
memperoleh buku gambar, anak yang belum membayar uang sekolah bahkan ada anak
yang melakukan bunuh diri hanya karena diejek oleh teman-temannya yang mengatakan
bahwa orang tuanya adalah tukang bubur. Tentunya kita sangat prihatin dengan keadaan
ini. Anak yang di mata kita adalah makhluk yang masih polos dan belum menanggung
beban hidup ternyata sama frustasinya dengan orang dewasa.


Dalam ketiga kasus di atas jelas si anak tidak mampu memperoleh apa yang ia
inginkan. Tidak akan menjadi persoalan jika si anak hanya menangis atau merengut
selama beberapa hari. Yang menjadi persoalan adalah, ketika si anak tidak bisa
memperoleh yang diinginkannya ia memilih melakukan bunuh diri. Tampak bahwa si
anak tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Ia menjadi sedemikian frustasi.
Hal ini wajar terjadi ketika lingkungan yang ada sudah mengajarnya untuk
mencapai hal-hal yang lebih. Misalnya ketika temannya bisa membayar uang sekolah
sedang ia belum membayar sendiri, ia akan menjadi anak yang dengan sendirinya tidak
sama dengan yang lain. Ia berada dalam kondisi minor dan terasing. Anak pada
umumnya akan melakukan atau menyukai hal-hal yang biasa dilakukan teman-teman
yang lainnya. Yang menjadi permasalahan orang tuanya yang dalam hal ini adalah orang
bisa semestinya membantu mewujudkan keinginan anaknya tidak berdaya untuk memenuhi tuntutan
sang anak. Ketidakberdayaan ini kebanyakan dipicu oleh ketidakmampuan ekonomi
orang tua, orang tua yang tidak punya visi pendidikan anak dan tren gaya hidup baru
bahwa anak adalah wajah orang tua untuk menunjukkan kemampuannya. Si anak hanya
menjadi obyek pameran atau simbol bahwa orang tuanya adalah orang kaya.

Tawaran media
Bagi orang tua yang miskin tentu sebuah buku gambar akan sulit didapat. Dengan
demikian si anak ketakutan akan tersingkir dari pergulannya dengan teman
sepermainannya. Tak jarang pula media menawarkan aneka barang yang sangat
menggiurkan anak. Berbagai pernak-pernik diciptakan untuk permainan anak. Tertanam
dalam benak si anak bahwa ia juga harus memiliki barang itu karena anak di rumah
tetangga, di sekolah dan yang ada dalam tayangan sinetron atau iklan juga memilikinya.
Si anak diajak untuk menjadi orang yang konsumtif. Ia akan sama dengan orang
dewasa yang frustasi manakala barang yang diimpi-impikannya tidak didapatkannya.
Yang terjadi berikutnya adalah rasa kecewa yang mendalam. Ia menyesali dirinya dan
kondisi yang ada. Hal ini terjadi karena adanya jurang antara harapan dengan
kenyataannya. Ketika ketikdakmampuan itu tidak teratasi, penyelesaian yang dipilih
adalah bunuh diri. Sifat konsumtif juga diajarkan di berbagai lingkungan yang ada baik
itu lembaga pendidikan anak maupun lingkungan pergaulan si anak. Yang tidak
mengikuti tren maka ia terkucil. Keterkucilan itu dapat dilihat ketika si anak berhadapan
dengan temannya yang semuanya memiliki buku gambar sedang dirinya tidak. Atau si
anak yang melihat orang tua teman-temannya adalah pegawai sedangkan orang tuanya sendiri
adalah tukang bubur. Rupanya si anak mengalami rasa tidak percaya diri dengan
lingkungannya. Dunia saat ini telah melambungkan si anak dalam kepalsuan hidup.

Negara, masyarakat dan keluarga bertanggung jawab
Rasa tidak percaya diri dipicu oleh tayangan sinetron yang kontras dengan
nuansa kehidupan kesehariannya. Anak orang miskin menonton sinetron dengan tokoh di
teve yang adalah anak orang kaya dengan segala fasilitas yang menggiurkan.
Sementara itu ada tiga pilar penting dalam pergaulan individu yang ada dalam suatu
negara yaitu pemerintah, masyarakat pasar dan masyarakat warga. Pemerintah dalam
hal ini telah mengeluarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dan
peraturan itu telah mengajak ketiga pihak tadi untuk bersama-sama memberikan
perlindungan. Dalam pasal 20 dikatakan, “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak”. Tetapi pada kenyataanya anak hanya menjadi sasaran empuk para
pengelola sekolah. Mereka menawarkan pendidikan anak dengan promosi untuk
memajukan petensi anak misalnya IQ, EQ dan SQ. Sayangnya niat yang kelihatannya
baik itu ternyata meminta biaya sangat mahal. Bagaimana mungkin si anak bisa
sekolah, biayanya saja sangat mahal? Orangtuanya tidak mampu membiayainya.
Akibatnya sekolah itu hanya dinikmati oleh mereka (anak-anak) yang mempunyai orang tua yang
mampu. Bagi yang tidak mampu, si anak hanya mengisap jempol. Kondisi ini
menciptakan perbedaan.

Di sisi lain, si anak akan tertekan menghadapi kondisi
lingkungan yang berbeda dengan dirinya. Si anak menjadi terasing dengan
lingkungannya. Maka yang dialami adalah kesendirian yang menyiksa. Si anak
menjadi korban pengelola pendidikan mahal. Dalam hal ini negara seharusnya ikut
bertanggung jawab untuk melindungi anak dari ketidakadilan peluang mendapatkan pendidikan.

Kecenderungan yang terjadi di masyarakat adalah sekolah di play group
menjadi suatu gaya hidup baru ketika kedua orang tua saat ini sibuk mencari uang.
Rupanya hal inilah yang menjadi celah pasar para pengelola bisnis play group dalam
hal ini adalah masyarakat pasar dengan promosinya masing-masing. Mereka
berorientasi untuk mencari keuntungan dan keluaraga tidak menyadarinya.
Sebenarnya keluarga juga turut bertanggung jawab dalam hal ini. Ia
mempunyai kewajiban secara moral mengasuh anak-anaknya. Oleh karena itu sudah
saatnya negara, masyarakat dan keluarga menyadari bahwa anak adalah tunas bangsa
yang akan meneruskan sejarah hidup ini menuju dunia yang berkeadaban. Oleh karena
itu si anak perlu memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu sekaligus terjangkau.
Si anak diharapkan menjadi manusia yang penuh pengharapan. Ia tidak menjadi
manusia yang mudah putus asa dan frustasi manakala kesulitan menerjangnya.
Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam UU no 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak diarahkan pada pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian
anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang
optimal; pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;
pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilainilainya
sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak
berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;
persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan pengembangan rasa
hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

Pendidikan di komunitas
Sudah saatnya masyarakat membentuk lembaga pendidikan sendiri
di lingkungannya sendiri misalnya dalam satu wilayah dusun mendirikan lembaga atau
tempat bermain anak yang dikelola sendiri dengan biaya ditanggung bersama.
Tentunya biaya akan lebih murah karena bebas dari pajak penghasilan. Pendidik bisa
didatangkan atau bekerjasama dengan pusat-pusat kajian anak atau lembaga nirlaba
yang mempunyai perhatian pada anak. Dengan demikian si anak siap menjadi tunas
dan pada suatu saat akan semakin dewasa mempunyai buah-buah yang baik untuk
masyarakat.

1 Komentar

Kesan/Pesan

noveni hartadi mengatakan…
Keluarga adalah lembaga pendidikan no1,gereja no2,no 3 adalah sekolah....pertanyaan retorik saya adalah apakah orang2 yang memutuskan utk berkeluarga dan mempunyai anak sudah menyiapkan diri mengambil peran untuk membekali anaknya untuk menghadapi dunia luar yang konsumtif,penuh tekanan dll?