Hagen Berndt (2010) mencatat seorang tokoh perempuan pengusung perdamaian yang sangat penting. Adalah Hildegard Goss-Mayr yang pada usia 12 tahun bersama masyarakat lainnya diperintahkan untuk menyambut kedatangan Hitler ke Wina tahun 1942. Banyak orang menyambut gembira. Namun gadis itu tidak. Seumur hidup ia teringat peristiwa itu, yang baginya merupakan perjumpaan pertama secara sadar dengan kuasa kejahatan, seperti ditulisnya dalam otobiografinya. Peristiwa itu akan memotivasinya untuk terjun dalam karya perdamaian dan untuk mencari daya kekuatan Allah dalam diri orang-orang lemah dan miskin.

Ia pun mendatangi banyak daerah dan negara yang dilanda konflik dan kekerasan seperti Amerika Latin, Asia maupun Afrika untuk menyerukan perdamaian dengan antikekerasan. Terinspirasi tokoh teladannya, Hildegard dari Bingen, seorang mistikus abad pertengahan, dia mengarahkan karyanya untuk keadilan dan pembebasan dengan metode-metode antikekerasan aktif yang didasarkan pada spiritualitas Kristen yang hidup.

Yesus yang tersalib, yang mengalahkan penghancuran dan pengkhianatan bangsa manusia dengan cinta kasih Allah menjadi teladan penting bagi Hildegard Goss-Mayr.

Semangat yang menggabungkan antara mistik dan politis sangat kental mewarnai spiritualitas, pikiran dan tindakan Hildegard Goss-Mayr. Beriman berarti tidak hanya memiliki tanggung jawab interior tetapi juga eksterior. Di samping menjaga relasi pribadi yang intim dengan Allah, orang beriman dipanggil untuk mengejawantahkan imannya dalam ruang-ruang sosial sesama manusia dan lingkungan yang melingkupinya.

Iman tidak hanya berkutat pada pokok-pokok pengakuan iman akan Allah dengan diikuti segenap teologi pendukung, dogma dan ritus yang harus diikutinya, namun iman menuntut tanggung jawab.

Maka, tak heran, jika Hildegard Goss-Mayr pun menyampaikan tuntutan-tuntutan pembaruan batin terhadap Gereja-gereja Eropa yang dirasanya masih jauh dari semangat kemiskinan dan pembebasan waktu itu. Dasar yang dipakainya adalah petikan Sabda Bahagia,”Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga (Matius 5:3).”

Baginya, hal itu berarti membebaskan diri dari kecenderungan dan keinginan manusia untuk menguasai, agar dapat memperoleh kebebasan atau kemerdekaan batin di hadapan klaim-klaim yang tidak adil akan kekuasaan, memberikan kesaksian akan kebenaran tentang ketidakadilan dan ketergantungan, membatasi konsumsi, memilih gaya hidup alternatif, dan memberi kontribusi bagi penegakan keadilan tanpa menggunakan kekerasan.

Pembaruan batin menjadi hal yang sangat penting, karena hal itu akan memandu pembaruan pemikiran dan tindakan umat beriman dalam menjalankan laku hidupnya bahwa mereka mempunyai tanggung jawab iman. Pertemuan antara mistik dan politik melahirkan semangat pembebasan dalam diri sendiri maupun orang lain. Di sanalah lahir tanggung jawab orang beriman.

Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ melalui Surat Gembala Prapaskah 2009 Keuskupan Agung Jakarta “Mari Bertanggung Jawab..!” menyampaikan ajakan pada orang beriman untuk bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab atas perilaku, agar sesuai dengan kehendak Allah. Kedua, bertanggung jawab atas perilaku yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kata lain bertanggung jawab atas dosa-dosa individu..

Kalau kita berdosa, menurut Kardinal, bertanggung jawab berarti melakukan dua hal berikut. Pertama, menyesal, bertobat dan mohon ampun kepada Allah dan selanjutnya tidak mau membuat dosa lagi. Kedua, karena dosa selalu membawa akibat buruk, maka kita juga bertanggung jawab atas akibat buruk dosa kita, dan memperbaikinya.

Maka, dengan sendirinya, orang beriman senantiasa mempunyai tanggung jawab iman. Semestinya pula, hidup beriman atau beragama tidak hanya dihabiskan dalam ruang gereja atau tempat ibadah. Namun, tanggung jawab iman itu diperpanjang dalam hidup harian, melebar ke ruang-ruang sosial dan lingkungan yang kita masuki. Semua itu adalah tanggung jawab iman dalam kondisi normal, manusia beriman yang tak berdosa yang boleh disebut sebagai tuntutan kodrat orang beriman yang berusaha selaras dengan kehendak Allah. Hal itu secara eksplisit dikatakan Yesus,”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Mat 22:37-39)”

Jika tanggung jawab dalam situasi normal (tanpa dosa) saja sudah sedemikian besar, apalagi tanggung jawab manusia beriman yang berdosa yang mempunyai dampak buruk, meski relasi manusia dengan sesamanya dan Allah sudah membaik karena rekonsiliasi. Akibat perilaku dosanya yang membawa keburukan, maka, si pendosa, umat beriman harus bertanggung jawab memulihkannya. Misalnya, orang yang merusak alam yang ujungnya mengakibatkan banjir harus bertanggung jawab menyelamatkan dan memulihkan alam tersebut.

Jangan hanya berhenti pada pemulihan relasi dan bersembunyi di balik pintu rekonsiliasi. Silih harus dijalankan sebagai bentuk tobat dan tanggung jawab. Siapa di antara kita yang tak berdosa? Namun, baiknya tidak perlu berpikir dosa atau tidak, karena walau bagaimana pun beriman mempunyai konsekuensi sosial seperti yang dihayati Hildegard Goss-Mayr. Apalagi, jika, kita berdosa tentu harus lebih bertanggung jawab.

Post a Comment

Kesan/Pesan