Istriku seorang guru. Religiositas adalah bidang studi yang diampunya di sebuah SMP di Klaten. Menilik kesuksesanku saat ini, tentu semua itu tidak bisa dilepaskan dari guru, yaitu guru-guru saya sepanjang hidup saya entah di sekolah formal atau pun yang bukan sekolah sama sekali. Maka dari itulah, tulisan itu saya awali dengan Istriku seorang guru untuk menguatkan bahwa peranan guru tidak bisa dipandang sebelah mata.
Kalau melihat guru, kita tentu mempunyai perasaan yang beragam.Ada yang membanggakan, mengharukan bahkan ada yang membuat kita geregetan.
Yang membanggakan, manakala kita melihat atau mengalami guru yang dengan sepenuh hati memberi pendidikan pada anak didiknya sedemikian rupa dengan berbagai tantangan yang melekatnya. Kita tentu pernah mengalami dan melihat ada guru yang seperti itu. Dia seolah tidak pernah lelah membimbing murid-muridnya supaya menjadi lebih baik. Kata-kata yang penuh dorongan dan semangat dengan mudah terlontar di mulutnya. Tidak ada caci maki. Yang ada adalah motivasi untuk murid-muridnya.
Yang mengharukan, manakala kita melihat guru-guru yang sudah bersusah payah mendidik para muridnya namun tidak memperoleh penghargaan atas jerih payahnya. Untuk menghidupi dirinya saja sudah kepayahan, namun guru itu dengan penuh semangat tetap mendidik murid-muridnya. Bahkan, tak jarang, ia pun harus merogoh kocek di saku bajunya yang sudah usang karena stok pakaiannya sedikit. Bukankah ini mengenaskan? Melihat rumah dan fasilitas hidup yang dimilikinya pun sudah miris. Namun, hebatnya, kekurangan itu tak ia pikirkan. Hartanya adalah panggilan hidupnya dalam mendidik anak-anak supaya bisa menjadi manusia yang bisa memanusiakan dirinya dan sesamanya serta lingkungannya. Yang tak bermartabat diubah menjadi bermartabat.
Yang membuat geregetan (hehehe seperti lagu yang dinyanyikan Sherina), manakala melihat seorang guru yang lari dari tanggung jawabnya mendidik. Bagaimana tidak geregetan, pada waktu jam-jam sekolah, guru tersebut malah ijin tidak mengajar tetapi setelah ditelusur, ia ternyata pergi mengurusi dirinya sendiri, misal ke pasar menyelesaikan urusan bisnisnya, bahkan ada yang berjudi sabung ayam. Yang lebih geregetan lagi adalah dia mengatakan gajinya masih tidak cukup, meskipun sebenarnya sudah digaji sangat cukup. Ini berbeda dengan guru-guru yang honorer. Kalau guru-guru honorer wajarlah kalau ia mengeluh karena honor mengajarnya paling baru bisa untuk beli sabun.
Namun, saya heran masih saja guru-guru PNS masih ada yang mengeluh karena dirinya digaji dengan gaji yang rendah. Standar gaji apa yang dia pakai? Dia tidak pernah berkaca bahwa buruh yang bekerja sehari-hari saja belum tentu memperoleh upah yang layak. Guru-guru model begitu, sebenarnya guru yang tidak bisa bahagia atau bersyukur atas pilihan profesinya.
Mengapa, saya menulis tulisan tentang guru, sebenarnya ini saya dedikasikan yang pertama pada istri saya. Yang kedua, tulisan ini saya dedikasikan kepada kedua adik saya yang juga adalah guru. Bahwa sebenarnya setidaknya ada tiga tipe guru yang ada di dunia setidaknya melalui versi saya.
Bicara tentang profesi guru bagi istri saya, saya sangat bangga mempunyai istri menjadi seorang guru. Pertama, pilihan menjadi guru sebenarnya adalah pilihan minoritas. Jarang orang terpanggil menjadi guru. Kalau pun ia memilih menjadi guru bisa jadi bukan karena panggilan tetapi karena gaji yang diharapkan, terlebih guru PNS.
Saya tahu betapa melelahkannya menjadi guru, namun saya lebih bergembira lagi karena profesi yang melelahkan itu ternyata menawarkan kegembiraan bagi murid-muridnya. Bisa jadi, saat ini murid-muridnya tidak menyadari bahwa gurunya telah memberikan yang terbaik untuk hidupnya. Seperti saya dulu menganggap bahwa pendidikan yang saya alami seolah tidak ada gunanya, peran guru pun terasa tidak signifikan. Namun, hal itu baru terasa setelah saya semakin dewasa dan menjalani berbagai aktivitas dalam berkarya. Banyak hal yang patut disyukuri karena pendidikan yang saya peroleh dari guru-guru saya.
Maka, menjadi guru sebenarnya tak usah berharap mendapatkan ucapan terimakasih dari para muridnya seketika itu. Karena pada dasarnya pendidikan adalah proses yang sangat panjang, beruntun dan sistematis. Pendidikan bukanlah sebuah pabrik yang memproduksi manusia dengan spesifikasi tertentu dalam waktu singkat dan berjumlah banyak. Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia supaya semakin menyadari dirinya bermartabat bisa menghargai martabat orang lain sebagaimana dirinya menghargai martabat dirinya sendiri. Pendidikan jika meminjam bahasa bisnis, adalah investasi jangka panjang.
Terkhusus untuk istriku yang mengajar religiositas, ia sebenarnya sedang menanamkan bibit-bibit persaudaraan sejati pada murid-muridnya. Bahwa agama yang berbeda bukanlah penghalang untuk saling mencintai antarsesama manusia. Manusia adalah ciptaan Allah yang mencerminkan Allah itu sendiri yang harus dihormati. Peranan istri saya dalam mengajar religiositas adalah sangat penting, signifikan dan relevan dengan konteks kekinian ketika, manusia yang berbeda-beda agama dan tafsir keagamaan mengalami krisis persaudaraan. Bagaimana ini terjadi? Orang berbeda agama mendapat perlakuan yang diskriminatif, orang berbeda tafsir keagamaan mendapat penghakiman yang mengerikan bahkan harus meregang nyawa.
Lagi-lagi pendidikan adalah penghidupan. Pendidikan meliputi aktivitas menghidupi kemanusiaan itu sendiri, supaya manusia semakin serupa dengan Sang Penciptanya yang penuh kasih.Maka, guru yang berkecimpung dalam pendidikan adalah makhluk-makhluk yang terhormat, berbudaya, dan berkeadaban yang baik. Pada merekalah kita titipkan keadaban masa depan anak dan cucu kita. Merekalah sebenarnya tentara penjaga peradaban bangsa manusia.
Selamat Hari Guru, hai para Guru dan Istriku yang adalah guru!
Posting Komentar untuk "Guru, Tentara Penjaga Peradaban Bangsa Manusia"
Kesan/Pesan
Posting Komentar