Zaman sekarang dilanda paradoks kehidupan. Di satu sisi, manusia berusaha memenuhi kebutuhannya sedemikian rupa bahkan dengan berbagai cara. Semua itu dilakukan semata-semata demi pemuasan diri. Di sisi lain, manusia berusaha memperlakukan hidupnya berdasar pada konteks hidup yang ada. Muaranya dirinya adalah untuk orang lain. 

Yang pertama, sangat kentara dapat kita lihat ketika manusia berusaha memperkaya dirinya sekaya-kayanya tanpa peduli dengan nasib orang-orang lain ataupun lingkungan di sekitarnya. Bahwa hidupnya mesti bisa diukur dengan keberhasilannya mengumpulkan materi sebanyak mungkin. Maka tak jarang, jika banyak manusia berorientasi hidup dan melakukan hal tersebut, yang terjadi adalah persaingan. Manusia berlomba-lomba untuk menjadi yang terhebat (terkaya, tercantik, termashur). Atau bisa juga manusia membentuk asosiasi untuk memenangkan keinginannya demi menguntungkan kelompoknya saja. Hal ini terlihat ketika ada beberapa orang dengan sistem mafianya bisa menguasai suatu daerah atau bisnis tertentu.
Lagi-lagi, hal itu menghadirkan penguasa, entah perorangan atau sekelompok orang.

Yang kedua, manusia memikirkan di luar dirinya. Bahkan terlalu ekstirm, ia hanya memandang di luar dirinya. Ia berkeyakinan bahwa apa yang ia pikirkan, ia rasakan dan pada akhirnya ia lakukan akan berdampak pada lingkungan di sekitarnya. Ia akan memperngaruhi kosmos hidupnya. Maka, yang dilakukannya adalah berusaha selaras dan memperbaiki situasi supaya lingkungan di luar dirinya menjadi semakin baik.

Dua tipe ini sebenarnya berada di dua kutub yang berlawanan. Dan inilah yang sebenarnya menjadi perseteruan abadi manusia di bumi ini. Egoisme melawan altruisme. Kedirian melawan kebersamaan (kemasyarakatan). 

Tentu dua hal itu tidak bisa dipaksakan menjadi satu kutub. Manusia pada dasarnya makhluk individu dan sosial. Keduanya saling mempengaruhi dan menajamkan pilihan-pilihan hidupnya. Maka, keseimbangan itu harus dijaga sedemikian rupa. Indikatornya adalah tidak ada atau semakin sedikit pihak-pihak yang dikorbankan.

Di sinilah manusia diajak untuk memiliki seni dalam menyeimbangkan dirinya. Ketika, bangsa Indonesia dilanda korupsi atas pajak rakyat dan itu sangat menggiurkan karena bisa menimbulkan kekayaan yang luar biasa, orang bisa saja tergiur untuk melakukan korupsi.Itu adalah pilihan orang egois karena hanya mementingkan kesenangannya.

Sebaliknya, jika seseorang juga memikirkan bahwa yang membutuhkan kesejahteraan tidak hanya dirinya, dan pajak misalnya adalah sesuatu yang nantinya dikembalikan pada rakyat demi kepentingan orang banyak maka, ia semestinya tidak melakukajn korupsi.  Bahwa pilihan dirinya juga menentukan nasib orang banyak. Pilihan untuk tidak korupsi telah menyelamatkan dan memberi jalur hak rakyat.

Yang perlu diperhatikan adalah ada hak dasar yang sama antara kita dengan orang lain sebagai manusia dan juga sebagai warga sebuah negara. Maka, piliha antara egoisme maupun altuistik mestinya memperhatikan aspek kesejahteraan orang banyak, bukan dirinya sendiri.



Post a Comment

Kesan/Pesan