Yo prakanca dolanan nang njaba. . . 
Padang bulan, bulane kaya rina. . . 
Rembulane-ne . . . .sing ngawe awe. . 
Ngelek'ake aja pada turu sore. . . 
Ngelek'ake aja pada turu sore. . . . 

(Mari teman-teman kita bermain di luar. . .  
Terang bulan, bulannya seperti matahari. . . 
Rembulan itu melambai pada kita. . . 
Mengingatkan jangan tidur sore hari  
Mengingatkan jangan tidur sore hari)

Saya ingat betul, pada waktu kecil, ibu mengajari lagu itu. Lagu yang biasanya dinyanyikan pada malam bulan purnama di pelataran rumah. Waktu itu di kampung, kami sering bermain di luar sambil menikmati siraman warna emas sinar rembulan.

Petak umpet biasanya menjadi andalan permainan kami. Atau hanya duduk-duduk saja sambil mendengarkan orangtua bercerita banyak hal, ngalor ngidul. Orang-orang tua bercengkerama saling mengisahkan pekerjaan mereka pada hari-hari yang lalu. Mereka bercerita tentang sawahnya yang subur, tentang harga bahan-bahan pokok yang melambung dan tentang biaya anak sekolah yang masih nunggak. Dan masih banyak kisah lagi yang sering mereka ceritakan. Dan lucunya, cerita-cerita yang sama itu biasanya akan terulang pada malam-malam purnama yang lainnya.

Bulan selalu menarik perhatian orang. Warna emasnya itulah yang penuh pesona. Waktu itu memang jarang terdapat lampu-lampu jalan di desa kami. Ah, banyak tempat-tempat gelap yang menyisakan kisah-kisah misteri seperti adanya penampakan makhluk halus. Hanya rumah milik orang kaya saja yang memasang lampu-lampu di teras rumahnya. Mereka sudah bisa menyalur listrik PLN. 


Sebagian besar masyarakat desa kami belum menyalur listrik PLN. Banyak yang memakai lampu petromaks. Ada juga yang memakai aki sebagai sumber listiknya. Mereka yang mempunyai aki biasanya memiliki tv yang biasa jadi ampiran warga desa menonton tinju. Waktu itu kami biasa berdesak-desakan nonton tinju Elliyas Pical di salah seorang warga yang punya tv.

Malam bulan purnama memang indah. Kadang malam-malam, saya harus buang air kecil di luar rumah di bawah pohon sambil melihat cahaya bulan. Semuanya berwarna keemasan. Tampak bayang-bayang pepohonan maupun diriku yang sedang buang air kecil. Terasa lucu  dan indah. 

Namun, semua itu segera berlalu segera setelah orang tua kami menyalur listik PLN. Rumah terang benderang. Pun dengan teras rumah, terang benderang. Karena lampu yang terang itu, pada malam bulan purnama, saya tidak bisa menikmati cahaya bulan. Orang-orang di desa seiring dengan perubahan gaya hidup, mereka juga mulai menyalur listrik. Kemudian mereka mulai membeli tv. Sejak itu, kami orang-orang desa sudah jarang duduk bersama menikmati cahaya bulan. Orang-orang lebih suka menonton tv.
Sejak itu pula, kami lebih lebih suka asyik dengan menonton tv. Desa yang dulu sering disebut angker karena katanya ada penampakan makhluk halus sekarang sudah mirip dengan kota kecil. Di banyak sudut desa sudah terpasang lampu. Akibatnya, kami tidak bisa menikmati keremangan cahaya bulan karena kalah silau dengan sinar lampu-lampu yang dipasang orang-orang di teras rumah maupun jalan-jalan desa. Malam bulan purnama sudah tidak indah.

Sekarang, orang-orang mulai menambah perangkat elektronik mereka di rumah-rumahnya. Konsumsi listrik terus meningkat. Semua orang melakukan hal yang sama. Semuanya terasa jadi membosankan. Kemajuan teknologi ternyata juga menyingkirkan keindahan. Buktinya, saya sudah terlalu sulit untuk mengamati bulan dan bintang. 

Padahal kedua benda langit itu, selalu terdengar indah kalau diucapkan. Maka tak heran jika banyak sastrawan maupun pencipta syair lagu pun kerap memakai kata-kata itu. Bahkan malam yang adalah gelap pun memberi arti tersendiri pada karya-karya lagu maupun sastra.

Seiring dengan itu, saya mendengar ada Jam Bumi tanggal 26/3/11. Jam Bumi itu diisi dengan pemadaman lampu/listrik sejak pukul 20.30-21.30 WIB. Itu menarik. Saya berharap kalau dengan adanya pemadaman listrik itu, kita bisa berefleksi bahwa kita selama ini terlalu boros memakai cahaya/tenaga listrik. Malam pun sering kita buat seolah menjadi siang. Sepertinya kita tidak ikhlas kalau malam adalah malam, maka malam dengan cara apapun dibuat menyerupai siang dengan memasang lampu di berbagai titik.

Jam Bumi juga bisa menghemat, ya, meskipun kecil tetapi itu tetap signifikan. Maka, konsep Jam Bumi itu baik untuk dilakukan dan didukung banyak pihak.

Ah, mungkin baik, jika pada waktu jam bumi, kita merefleksi diri tentang pemakaina energi atau cahaya yang terlalu berlebih. Saatnya juga kita berpaling pada benda-benda langit yang indah supaya kita pun lebih mensyukuri anugerah itu. Kita merefleksi dan mensyukuri semua karunia cahaya dari Tuhan melalui benda-benda langit itu sehingga dari sana lahir gubahan karya seni yang indah.

Kita merefleksi tentang sikap kita terhadap ibu bumi, saudari air dan saudara udara. Mungkin baik juga untuk semakin mendalami tentang semua itu, baik kalau yang suka menyanyi mungkin memilih lagu-lagu bertema atau berisi kata dalam lirik seperti malam, bintang dan bulan. Ah, romantis bukan?

Post a Comment

Kesan/Pesan