Mau ke mana kita hidup di dunia ini? Sebagai orang beriman tentu menjawab, kita akan kembali kepada Yang menciptakan kita. Kita kembali menuju tiitk berangkat terdahulu. Yang menjadi pertanyaan berat bukan itu sebenarnya. Aku sering menanyakan hal itu dan kujawab sendiri dan jawabannya sama, "Kembali kembali menuju tiitk berangkat terdahulu, titik asal kita".

Yang terkadang sulit untuk dipahami adalah masa antara berangkat dan pulang, antara hidup dan mati. Terkadang banyak hal yang sulit untuk dimengerti. Peristiwa yang terjadi pun kadang sulit untuk diterima terlebih jika kita sudah mempunyai harapan tertentu, sementara kenyataan yang terjadi adalah jauh dari harapan yang kita gantungkan. Kecewa bukan kepalang menghantui segenap perasaan kita.


Apakah salah jika kita mempunyai harapan tertentu pada hidup ini? Tentu saja jawabannya adalah tidak salah. Namun, salahkah juga jika yang terjadi adalah tidak sesuai dengan harapan kita? Tentu juga tidak. Ibarat anak timbangan betapa sulitnya membuat semuanya pas, antara harapan dengan kenyataan.

Kerap kali ketika ada perbedaan antara harapan dan kenyataan, kita tidak mau terima.Tuhan disalahkan. Sementara kita seolah menjadi korban pilihan Tuhan yang ternyata pilihan-Nya tidak sejalan dengan harapan kita.

Ekspresi kekecewaan pun beragam terjadi. Makian dan umpatan terlontar dengan ringan dari mulut kita. Sementara itu ekspresi itu dilengkapi dengan tindakan meninggalkan Tuhan karena Dia dianggap sebagai pelaku "kejahatan" atas hidup kita.

Jika itu yang terjadi, masa hidup kita diisi dengan kekecewaan. Tentu di samping peristiwa yang membahagiakan tentu kita akan mengalami hal-hal yang disebut dengan kesedihan jika kita menganggapnya sebagai kesedihan saja. Namun, jika kita menanggapinya dalam perspektif yang lain, bahwa ada kehendak yang berbeda dengan kehendak kita dan itu dikehendaki Tuhan, sebagai orang beriman kita tentu wajib memaknainya sebagai peristiwa iman.

Kita tidak perlu terlalu kecewa bahkan terpuruk ketika mengalami bahwa kehendak kita tidak terjadi. Sebaliknya, kita pun tidak perlu terlalu bahagia ketika harapan kita tergenapi. Seorang pastor mengatakan bahwa ketika kita mengalami kesedihan kita ingat peristiwa yang membahagiakan. Begitu pula ketika kita bahagia, kita mengingat peristiwa sedih. Maka, semuanya itu tidak menjadi berlebihan baik kesedihannya maupun kebahagiaannya.

Yang lebih penting, semestinya setiap peristiwa diyakini sebagai peristiwa iman yang makin meneguhkan bahwa Tuhanlah sumber kegembiraan dalam setiap peristiwa, pun ketika peristiwa itu membuat kita sedih.

Kita meyakini bahwa semuanya adalah baik. Dengan demikian, hidup menjadi lebih tulus, ringan dan penuh makna. Ada mutiara dalam setiap peristiwa. Tinggal kita mau atau tidak menemukan kilauannya yang penuh pesona.








Post a Comment

Kesan/Pesan