Suatu ketika, Bapa Paus Yohanes Paulus II memberikan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan seorang wartawan, Vittorio Messori, yang bertanya mengapa ada begitu banyak agama? Bapa Paus dengan mendasarkan pada dokumen tentang hubungan antara Gereja dengan agama-agama bukan kristiani, Nostra Aetatae (Dalam Zaman Kita) mengatakan bahwa sejak awal, wahyu Kristiani telah melihat sejarah rohani manusia, dalam arti tertentu mencakup juga semua agama. Dengan demikian ditunjukkan kesatuan dari umat manusia dalam hubungannya dengan tujuan abadi dan tujuan terakhir manusia.
Menurutnya, semua mempunyai tujuan akhir yakni Allah sendiri, yang penyelenggaraan-Nya, bukti-bukti kebaikan-Nya dan rencana keselamatannya meliputi semua orang. Manusia berpaling kepada macam-macam agama untuk memecahkan misteri dari keadaanya sebagai manusia, yang dewasa ini seperti juga di masa silam, menyentuh hati manusia secara mendalam. Demikian penjelasan Bapa Paus.
Agama-agama itu pada gilirannya, mempunyai sistem yang khas seperti teologi, narasi, ibadat, dan sistem etika yang menyangkut baik-buruk meskipun sebenarnya adalah sama-sama berusaha menjawab misteri Tuhan sebagai awal dan tujuan akhir hidup manusia.
Sampai di situ, ada kesamaan di antara pelbagai agama dan kepercayaan yang lahir di bumi ini. Namun, sesuatu yang baik itu belum tentu terwujud dalam rupa pergaulan antarpemeluk agama dan kepercayaan di planet ini. Sejarah membuktikan di antara penganut agama dan kepercayaan terlibat peristiwa perang dan saling meniadakan antarumat beragama. Entah manusianya atau sistem kepercayaan yang dihambatnya, semua itu menjadi medan pertempuran untuk membuktikan bahwa masing-masing pemeluk menganggap agama dan kepercayannya adalah yang paling benar, sedangkan yang lain adalah salah.
SETARA Institute mencatat pada tahun 2007 terdapat 185 jenis tindakan dalam 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan; pada tahun 2008 terdapat 367 tindakan dalam 265 peristiwa, dan pada tahun 2009 terdapat 291 tindakan dalam 200 peristiwa. Pada tahun 2010 tercatat 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan.
A. Sudiarja (2006) mensinyalir bahwa agama tidak cukup menyediakan sarana pemahaman mengenai tanggung jawab religius secara pribadi dan terlalu menekankan kebersamaan yang eksklusif dan sering ritualistik. Peristiwa ironis seperti perusakan rumah ibadat, teror bom, dan ancaman lainnya, yang kalau bukan dengan motivasi agama secara langsung setidaknya bernuansa ke sana, gejolak politik yang amat diwarnai dan dikaitkan dengan keagamaan, semua ini memperlihatkan adanya gangguan dalam hidup keagamaan yang dulu pernah mengalami rasa tenang dan damai.
Padahal, menurut Keith Ward (2009), perkembangan agama-agama yang paling dasar berkontribusi pada sikap-sikap sosial, yaitu pengertian tentang yang suci, sesuatu yang sangat baik sehingga pantas dihormati tanpa syarat. Pengertian tentang yang suci ini memanggil orang-orang untuk mengekspresikan kebaikan dalam hidupnya sendiri, dan memberikan hidupnya untuk memperoleh pengetahuan lebih banyak mengenai yang baik.
Jika, masing-masing umat beragama menyadari bahwa mereka semua adalah kesatuan dari umat manusia dalam hubungannya dengan tujuan abadi dan terakhir manusia, pasti sikap saling menyerang dan membenarkan agamanya adalah yang paling benar, tidak terjadi.
Ibaratnya, sebagai umat dari agama dan kepercayaan tertentu pada dasarnya mereka adalah rombongan peziarah yang berduyun-duyun dari asal dan tujuan yang sama yakni Allah itu sendiri. Sebagai sesama peziarah tentu masing-masing membawa perbekalannya masing-masing. Agama dan kepercayaan yang mereka anut bagaikan perbekalan yang siap menguatkan perjalanan mereka.
Agama dan kepercayaan juga merupakan kendaraan yang mereka tumpangi untuk memperlancar perjalanan menuju Sang Sumber Hidup. Tentu bisa saja mereka melalui jalan-jalan yang berbeda satu dengan yang lain. Namun pada intinya mereka menuju arah yang sama.
Alangkah baiknya pula, jika sebagai sesama peziarah yang sama-sama melakukan perjalanan saling menyapa dan berkisah tentang perjalanan iman mereka demi saling meneguhkan bukan saling menjatuhkan apalagi menyerang dan merusak rencana perjalanan eskatologis yang lainnya. Bahkan jikalau perlu, di antara sesama peziarah saling menolong ketika peziarah yang lain mengalami kesusahan di tengah perjalanan iman mereka.
Dialog menjadi sarana yang baik di antara para pemeluk agama dan kepercayaan. Tidak sebatas lip services atau basa-basi saja, namun dialog dilandasi dengan rasa tulus yang mendalam sebagai sesama makhluk ciptaan Allah yang secitra dalam rupa-rupa agama dan kepercayaan.
Maka, dewasa ini dialog menjadi cara baru dalam menjalin relasi antar pemeluk agama dan kepercayaan. Dialog dilakukan dalam bentuk dialog teologi, kehidupan, dialog iman dan dialog karya dalam bentuk aksi nyata yang menyentuh sisi hidup ekonomi dan budaya manusia. Dalam dialog itulah sebenarnya masing-masing pemeluk agama dan kepercayaan berusaha untuk saling memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang.
Posting Komentar untuk "Pantulan Kebenaran"
Kesan/Pesan
Posting Komentar