Kampus menjadi terasa panas. Dosen yang mengajar di depan kelas seperti sedang ngomel-ngomel. Ia bukan dosen yang baik. Artikulasinya tidak jelas. Yang jelas hanyalah suaranya yang lantang tanpa nada bicara yang indah. Mengulang mata kuliah memang hal yang membosankan. Dari tahun lalu dan saat mengulang aku bertemu dengan dosen yang sama. Bisa jadi aku terancam tidak lulus lagi.
Ah, dari pada mendengarkan suara ngomel-ngomel sang dosen, lebih baik aku baca novel yang belum tamat. Pikiran pun melayang. Bagaimana ya kalau aku menjadi penulis novel? Ah, impian yang terlalu berani. Sementara, selama ini aku terkenal menjadi orang yang tidak disiplin. Bagaimana disebut disiplin? Kuliahku molor dua tahun. Berarti hampir 7 tahun, aku terpenjara dalam dunia kampus di Purwokerto yang tidak jelas. Ah, lagi pula, kampus seperti tempat kursus biasa. Yang berbeda hanyalah gedung kelasnya yang megah. Dosennya pun walaupun banyak di antaranya yang menjadi profesor tetapi semua itu tidak mengubahku menjadi semakin pandai. Aku justru merasa terasing di kampus ini.
Bagaimana tidak terasing? Yang kulihat selama ini hanyalah peragaan busana para mahasiswi dan mahasiswa yang sok keren dengan pakaian mode terbarunya. Huaek! Mau muntah rasanya. Namun, ada faedahnya juga. Si Hani yang terkenal seksi itu memberikan penghiburan tersendiri melalui lekuk tubuh indahnya. Dia angkatan dua tahun di bawahku.
Perlahan aku kembali ke novel yang kubaca. Saat ini aku sampai pada cerita seorang lelaki yang terbunuh secara misterius akibat cinta segitiganya. Bodoh amat! Spontan komentar itu muncul dalam hatiku. Zaman sudah modern seperti ini masih ada orang yang terjebak dalam cinta segitiga, seperti tidak ada pilihan yang lebih cerdas.
Namun, kata orang cinta itu membuat orang menjadi bodoh. Sepertinya benar juga. Aku ingat seorang teman yang tiba-tiba mengubah penampilannya hanya karena disuruh oleh pacarnya supaya tampil, yang kata pacarnya, lebih modis. Temanku menurut saja. Walhasil, penampilannya, ya ampun, menjadi seperti banci.
Hari semakin panas. Aku gelisah. Ingin segera meninggalkan ruangan kuliah ini. Namun, dosen itu sepertinya dosen yang militan untuk ngomel-ngomel. Dia sedang berbicara tentang marketing yang efektif. Maklum hari ini, jadwal kuliahku yang mengulang adalah manajeman pemasaran. Aku mencoba menoleh ke kanan dan ke kiri. Adik-adik mahasiswa juga terlihat sudah tidak bisa menikmati kuliah siang ini. Hanya Hani yang tampak sumringah. Dia gadis yang paling enjoy. Maklumlah, baju yang dipakainya lumayan semilir. Baju di bagian dadanya terbuka lebih lebar. Dengan demikian angin lalu lalang menghembusi dadanya yang terlihat matang. Sementara itu, dia memakai rok yang lumayan mini. Angin pun dengan leluasa membelai kaki-kakinya dari bawah ke atas. Seger. Sementara di sekitarnya saya melihat wajah-wajah yang lelah, bosan, dan mengantuk. Sang dosen rupanya belum juga menyadari bahwa celotehannya sudah tidak mendapat perhatian.
Lalu, muncullah ide gilaku. Konfrontasi. Dia berbicara tentang marketing. Menurutnya, dalam menjalankan marketing, perusahaan harus membuat konsumen menjadikan produk itu sebagai kebutuhan. Ah, itu tidak selalu benar, menurutku. Lalu, aku saking gusarnya tunjuk tangan.
“Maaf, Bu. Menurut saya marketing model itu adalah kejahatan. Mengapa? Karena marketing itu memungkinkan seseorang yang tadinya tidak butuh menjadi membutuhkan sesuatu. Itu kan kejahatan atau istilah lainnya adalah “mengakali”. Konsumen sebenarnya secara kodrati tidak membutuhkan produk yang ditawarkan pihak manajemen. Namun, karena strategi marketing maka konsumen seolah-olah merasa membutuhkan barang tersebut. Contoh, rokok. Secara kodrati orang tidak membutuhkan rokok. Berbeda dengan makanan, orang selalu membutuhkan makanan. Namun, karena citra yang dibuat perusahaan dengan merokok seolah-olah orang menjadi gagah dan pemberani lalu orang menjadi perokok hanya karena konsumen ingin menjadi gagah dan pemberani. Ini sebenarnya kan budaya semu. Lebih kasarnya palsu. Masa perusahaan menjual kepalsuan. Itu kan kejahatan, menjual sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Ya kalau produk itu murah. Produk itu terbilang mahal. Bagaimana tidak mahal. Orang membeli rokok sebungkus, sama dengan membeli beras sekilo yang bisa dimasak menjadi nasi dan bisa dimakan sekeluarga. Namun karena orang itu tergiur oleh citra palsu yang diciptakan perusahaan lalu konsumen menjadi rela untuk membeli rokok daripada membeli beras. Ini kan juga kejahatan, ia merasakan kenikmatan merokok sementara, keluarganya kelaparan. Bahkan ada orangtua yang tidak membayarkan biaya sekolah anaknya lantaran uangnya habis hanya untuk membeli rokok. Sementara itu, perusahaan menyedot keuntungan yang sangat banyak. Wah, ini kan pembodohan. Jadi marketing model ini adalah jahat dan membodohi.”
Sang Dosen Marketing itu pun mendelik. Kedua matanya hampir lepas. Dengan memandang tajam ke arahku, ia berkata dengan lantang.
“Anda jangan berkata seperti itu, ya! Tidak boleh!” katanya keras.
Hampir semua orang yang ikut kuliah siang ini, turut memandangku. Sebagian bahkan ada yang menertawai penderitaanku dibentak oleh sang dosen. Dalam hatiku, aku terheran. Aneh. Diberi tanggapan kok malah marah. Dosen yang tidak dialektis. Tidak mutu. Otoriter.
Dosen itu pun melanjutkan kata-katanya.
“Ingat, di kelas ini Anda tidak boleh membuat onar tentang materi kuliah yang saya sampaikan. Itu tidak baik. Anda seharusnya cukup mengikuti materi yang saya sampaikan kemudian mencatatnya karena siapa tahu nanti muncul dalam ujian. Bukankah Anda sudah mengulang dua kali. Atau Anda perlu mengulang tiga kali dalam mata kuliah ini? Kuliah ini bukan saatnya berdebat mengenai materi kuliah yang saya sampaikan!”
Aku pun mulai menguap mendengar ocehan sang dosen. Dalam hatiku, aku berontak. Kalau pembicaraannya ingin didengarkan ya harus berikan artikulasi yang jelas. Bicaranya saja tidak jelas, bagaimana mahasiswa bisa mengikuti kuliah dengan baik. Ini adalah trikku untuk mengalihkan kebosanan kuliah. Aku menilai berhasil. Karena adik-adik angkatanku seolah terbangun dari tidurnya. Mereka kelihatan cengegas-cengenges melihat sang dosen memarahiku.
Aku merasa cuek saja. Aku tidak peduli dengan semua yang dikatakan oleh sang dosen. Bagiku, kata-kata yang terlontar dari mulut sang dosen tak perlu didengarkan lagi. Dosen yang tidak dialektis bagaimana mungkin mengajak mahasiswanya untuk mencapai tingkat kebenaran tertentu. Padahal untuk mencapai kebenaran tertentu harus diperoleh melalui dialektika terlebih dahulu karena dari sanalah kita bisa memilah dan memilih berbagai kemungkinan pendapat yang terlontar. Semua pendapat pun mempunyai perspektif yang berbeda-beda. Maka sangat tidak mungkin jika kebenaran bisa dimutlakan apalagi hanyalah menyangkut teori marketing. Jangan-jangan bukan teori tetapi kepentingan yang diformulasikan menjadi teori yang ujung-ujungnya adalah memperoleh keuntungan secara maksimal dan mengabaikan keselamatan para konsumennya.
Dari hal-hal itulah aku merasakan tidak perlu mendengarkan kata-kata sang dosen yang antidialog itu. Akhirnya, aku melanjutkan novel yang aku baca. Konflik di dalamnya menjadi semakin menarik. Sambil duduk di bangku kuliah yang berposisi di pojok belakang sebelah kiri kelas, aku membaca lembar demi lembar novel yang bercerita tentang pembunuhan misterius.
Sementara itu, mataku tertuju pada Hani, adik kelas dua tahun di bawahku. Sesekali kutatap wajahnya dari arah samping. Lalu aku kembali pada lembaran novel. Kalau bosan dengan novel aku kembali lagi ke wajah gadis itu. Wow, indah.
Pada siang hari yang panas dan menjemukan karena dosen yang antidialog seperti ini aku merasakan oase yang menyegarkan dalam ruangan kuliahku. Gadis itu. Terus aku coba fokuskan pandanganku ke arahnya. Kata teman-temanku, dia tidak begitu cantik, namun kategori lumayan, yang jelas tidak jelek. Namun, bagiku lumayan sudah cukup lah daripada menjadi pungguk merindukan bulan.
Kulitnya coklat, tidak putih. Warna itu yang membuatnya menjadi seksi. Rambutnya tidak lurus seperti iklan sampo di televisi. Kalau aku perhatikan rambutnya ikal tetapi tidak keriting. Tubuhnya tinggi, ideal dengan berat badannya. Tiba-tiba, dia menoleh ke arahku. Mungkin dia bisa merasakan kalau sekian menit aku telah menatapnya. Matanya pun menangkap mataku. Sekitar dua detik, aku berdesir. Dia tersenyum. Aku pun gelagapan. Lalu, aku membalas senyumnya dengan disertai memanasnya suhu tubuhku. Padahal jarakku dengan dia sekitar lima meter. Sebagai orang yang dua tingkat di bawahku, dia tergolong perempuan yang berani, tidak malu pada angkatan yang lebih tua.
Aku pun kembali ke lembaran novelku yang bercerita tentang pembunuhan misterius. Namun, cerita itu seolah menjadi tidak begitu menarik. Kalah menarik dengan wajah Hani. Namun, aku coba menyelesaikan bacaan itu karena tinggal lima lembar saja. Tepat pada tanda baca terakhir, dosen mengakhiri kuliahnya. Aku pun tanpa sengaja menoleh ke arah Hani. Tiba-tiba ku berdesir. Tenyata ia sudah menatapku terlebih dahulu. Matanya menjadi semakin indah saja. Lalu, pandangan mataku tidak bisa kualihkan seperti terpaku ke arahnya. Sementara itu sang dosen sudah berjalan ke luar diikuti mahasiswa dan mahasiswi yang lain. Aku mencoba untuk mengendalikan diri dan perlahan aku mengambil kesadaran diriku. Lalu, kami pun saling tersenyum. Kami pun keluar. Dengan sendirinya kami terkondisi untuk berjalan beriringan. Tiba-tiba kami saling menatap dan melempar senyum. Aku pun mengulurkan tanganku mengajaknya bersalaman.
“Trista!” kataku.
“Hani!” katanya tampak malu.
“Aku sudah tahu namamu kok. Kamu kan masuk dalam perbincangan para lelaki di kampus ini.”
“Oya, seberapa hot beritanya? Hehehe bercanda. Eh, tapi bener, apakah yang kamu katakan itu benar?”
“Iya. Benar. Jadi kami para lelaki sudah tahu daftar perempuan yang masuk nominasi. Hehehe!”
Kami pun menjadi semakin akrab. Kami lalu saling bertanya mengenai jatidiri kami masing-masing seperti alamat, hobi, kebiasaan, mata kuliah favorit, sampai ke perbincangan dosen yang paling disukai dan tidak disukai. Kami berjalan menyusuri gang-gang perkampungan menuju tempat kost masing-masing. Tempat kost kami searah. Hanya saja tempat kostku lebih jauh sekitar 500 meter dari tempat kostnya. Beberapa menit kemudian dia menunjukkan tempat kostnya. Aku hanya menjawab kalau aku sudah tahu karena aku sering melihatnya berangkat kuliah dari tempat itu. Tiba-tiba dia menyambung perkataanya dengan terbata-bata.
“Sejujurnya, aku juga sudah tahu lama namamu, Mas Trista!” Matanya tak berani menatapku. Dia menghindari tatapan mataku.
“Maksudnya?”
“Iya, aku sudah tahu namamu. Aku dah tanya ke beberapa teman-temanku. Dan benar namamu, Trista. Aku masuk kostku dulu ya. Mau singgah?”
“Kapan-kapan saja ya. Aku ada urusan lain!”
Lalu, ia berlari dan menghilang di balik pintu kamarnya.
Posting Komentar untuk "Sang Pengelana (1)"
Kesan/Pesan
Posting Komentar