Mandul

Apa yang bisa dibuat agamawan? Itulah pertanyaan yang selalu mengusik saya. Dalam hal ini saya mengartikan agamawan bukan hanya sebagai pemuka agama atau ulama tetapi kita/mereka yang beragama. Dengan kita beragama, hal apa yang membedakan kita dengan orang yang tidak beragama? Hal ini menjadi penting untuk menunjukkan keberbedaan agamawan yang dipenuhi dengan nilai-nilai moral agamanya dengan yang bukan agamawan.
Sudah sekian lama, agama memasuki masyarakat. Selama itu pula, masyarakat mengenal agama dan menjadikannya sebagai anutan mereka. Namun dari proses itu adalah ritus keagamaan dan aturan formal yang paling tampak menonjol di samping target mencari jumlah pengikut agama menjadi tujuan utama. Nuansa ekspansi menambah pengikut agama baru semakin kental bahkan dilakukan dengan menghambat laju perkembangan agama lain. Di sanalah diajarkan teologi, aturan formal mengenai kewajiban dan larangan penganut agama.
Dari hal itulah muncul penganut agama yang hanya paham akan aturan formal dan ritual keagamaan. Bahkan kedua hal itu menjadi semacam standar keagamaan seseorang. Maka, muncul anggapan bahwa orang dikatakan saleh jika melakukan aturan formal dan ritus keagamaanya saja. Akibatnya, orang hanya beragama di sekitar aturan formal dan ritus. Selanjutnya, orang hanya terkungkung dalam hidup keagamaanya yang sempit.
Sementara itu, aspek sosial kemasyarakatan terlupakan. Kesalehan dipenjara hanya pada kesalehan domestik agama saja, bukan pada kesalehan sosial. Akibatnya adalah penganut agama mengambil jarak antara ritus keagamaan yang dihidupi dengan realitas kehidupan. Hidup keagamaan hanya berkembang sepanjang ritus dan seluas ruang tempat ibadah.
Kalau kita melihat lebih jauh lagi, kenyataan yang terjadi dalam masyarakat adalah banyak orang yang masih dililit kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, dan kerusakan lingkungan hidup yang sangat parah. Kondisi itu memperlihatkan bahwa masyarakat dalam keadaan terpuruk. Ketika masyarakat dalam kondisi yang terpuruk seperti hal tersebut, agamawan masih hidup mengawang-awang dalam kenikmatan ritus dan kenikmatan superhero memperjuangkan aturan formal. Teologi yang dikembangkan bukannya teologi ke luar tetapi justru teologi ke dalam. Titik berangkat inilah yang akan mempengaruhi cara hidup penganut agama supaya hanya lebih condong mengurusi urusan internal agama.
Dari hal itu wajar jika ada pihak-pihak yang menggugat peran dan kegunaan agamawan atau bahkan agama itu sendiri. Mereka menilai kehadiran agama dalam masyarakat dan bertambahnya jumlah pengikut agama tidak pernah berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat. Yang paling mudah dipakai sebagai ukuran adalah semakin banyak tempat ibadah yang tersebar di berbagai tempat dan terlihat mewah di lingkungan masyarakat yang miskin. Dari hal itu terlihat bahwa sumbangsih agama tidak jelas dalam menyelesaikan kerumitan masalah sosial itu. Teologi yang dikembangkan dalam agama tak berkutik dalam fenomena itu.
Jikalau penjelasan teologi berlebihan, bersifat dogmatik, otoriter, atau spekulatif, tidak tenggang rasa, jauh dari kenyataan budaya dan sosialitas manusia, maka teologi hanya akan menjadi corong suara yang meskipun berbicara tetapi mandul dan mati, atau hanya mengedepankan dalih-dalih kesucian dan memekakkan telinga yang justru mengganggu kehidupan nyata (A. Sudiarja, 2006).
Lebih mengerikan lagi, adalah ketika masyarakat belum sejahtera, hasrat untuk membangun tempat ibadah justru semakin dipicu sebagai ekspresi kesalehan penganut agama. Ini adalah kesalahan, bahwa agamawan tidak menjawab persoalan. Bagaimana mungkin tempat ibadah dibangun di atas penderitaan masyarakat? Ketika masyarakat masih miskin dan secara umum hidup tidak sejahtera, agama justru menawarkan mimpi surga pada penganutnya.
Yang perlu dilakukan agamawan dalam konteks masyarakat miskin semestinya adalah memperluas peran agama supaya tidak hanya sakti pada urusan intern tetapi juga berdaya pada masyarakat yang masih miskin. Jadi, tanpa meninggalkan teologi yang bersifat internal dan khas, agama dan agamawan mengubah wajahnya supaya menjadi semakin sosial dan peka terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Terlebih, saat ini dunia dilanda arus pragmatisme, orang hanya mengejar sesuatu yang bermanfaat dan menguntungkan bagi dirinya. Termasuk agama, jika orang merasakan agama tidak ada gunanya, maka, agama hanyalah akan menjadi alat usang yang ditinggal begitu saja. Hal ini sangat mungkin terjadi karena banyak orang yang tak beragama pun bisa bermoral seperti selayaknya orang beragama. Jika demikian yang terjadi, apa lebihnya agama dan agamawan dengan orang tak beragama ketika berhadapan dengan permasalahan umat manusia?
Justru dalam situasi ini, agama dan agamawan seharusnya bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa dirinya masih berdaya dalam memperbaiki keadaban masyarakat saat ini. Sehingga menjadi jelas, agama dan agamawan berperan dalam membebaskan penderitaan umat manusia dan alam ciptaan. Dengan demikian agama tidak mandul tetapi menyuburkan kesejahteraan umat manusia.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Mandul"