Seorang teman bercerita tentang keputusannya pindah agama. Keputusan tersebut terjadi karena guru agama di sekolahnya yang memberikan kesan negatif. Dia bercerita mengenai guru agama di sekolahnya yang galak. Kalau dia membuat kesalahan, gurunya memberikan hukuman. Dia merasa tersiksa dan tidak nyaman terhadap guru agamanya. Bagaimana mungkin seorang guru agama yang seharusnya memberikan dan menyampaikan nilai-nilai agamanya namun justru membuat hal yang menyakitkan? Maka, dia memutuskan untuk pindah agama. Setelah itu, dia menemukan figur yang menarik baginya dari agama baru yang dia anut.
Gejala yang ditampakkan pada pengalaman teman saya menunjukkan adanya jurang antara yang diajarkan agama dengan yang dilakukan guru tersebut. Pengalaman serupa kerap saya dengar dari beberapa orang. Mereka beranggapan tidak penting agamanya namun orang yang beragama tersebut, yang memancarkan nilai-nilai kebaikanlah, yang lebih penting.
Celakanya perilaku satu oknum umat beragama tersebut terkadang dianggap menjadi cerminan agama orang tersebut. Sehingga yang terjadi kemudian adalah munculnya rasa alergi terhadap agama-agama tertentu. Maka, begitu orang mendengar agama tertentu, ia akan teringat oknum yang baginya dinilai tidak baik. Atau sebaliknya, jika teringat oknum pemeluk agama tertentu, ia akan teringat ketidakbaikan agama yang dianut oknum tersebut.
Gejala guru agama pada awal tulisan ini sebenarnya memperlihatkan kemunafikan. Kemunafikan ini seperti pepatah Jawa yang mengatakan esuk dele, sore tempe (pagi kedelai, sore tempe), yang artinya tidak konsisten. Apa yang diyakini dengan yang dilakukan berbeda. Inilah yang sebenarnya melukai orang-orang yang menganut agama tersebut meskipun sebenarnya kesimpulan yang mengatakan kelakukan satu orang penganut agama berarti merepresentasikan agama tersebut adalah salah.
Penganut agama semestinya menata diri supaya bisa sehati, sepikir dan setindakan dengan ajaran agama yang dianut dan dihayatinya. Dengan penghayatan model ini, maka tidak akan ada jarak antara ajaran agama dengan tindakannya. Penganut agama memiliki integritas iman.
Sementara itu, pernyataan masyarakat yang bernada kebalikan dari pengalaman teman saya tertangkap dengan kalimat berikut ini, “Dia memang orang yang baik dan saleh karena ucapan dan tindakannya sesuai dengan yang diajarkan agamanya!” Belajar dari pengalaman teman saya dan pernyataan sebaliknya tersebut, sebenarnya umat sudah bisa melakukan pembedaan dengan amat baik. Dari buahnya tampak pohonnya. Pohon yang baik menghasilkan buah yang baik.
Belajar mengenai kesatuan antara ajaran agama dengan tindakan, kita bisa berkiblat pada Mother Teresa. Ia dikenal orang yang saleh. Di samping sebagai biarawati yang saleh, ia dikenal sebagai pembela kaum miskin. Melayani yang termiskin di antara yang miskin. Ia secara disiplin berdoa dan melakukan adorasi. Ketekunan doanya tidak pernah tercerabut dari aktivitasnya dalam membela orang-orang miskin. Ada garis sambung antara ajaran agama dan doa dengan tindakannya sehari-hari. Ia pun dikenal sebagai penganut agama yang baik melalui kesaksian dirinya sendiri.
Penganut agama sebenarnya adalah saksi dari agama yang dianutnya. Setiap luncuran kata, cara berpikir, cara merasa dan cara bertindaknya menjadi saksi atas agamanya. Nasib agama sebenarnya tergantung pada para pemeluknya yang menghisap inti ajaran agamanya tersebut. Maka, misi agama sebenarnya tidak perlu dilakukan dengan rekayasa sedemikian rupa karena agama sebenarnya sudah ter-promosikan melalui kehadiran dan tindakan para penganutnya.
Penganut agama semestinya menghasilkan buah-buah iman atas agama yang dianutnya. Jika hanya kata-kata saja tanpa diikuti tindakan yang satu dan selaras dengan ajaran agama yang dianutnya, penganut agama tersebut hanya akan menjadi penipu agama. Tipuan ini sangat menyakitkan.
Paulus menuliskan, “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” Ini memperlihatkan bahwa setiap tubuh sebenarnya menjadi sarana berdoa yang nyata dalam tindakan. Doa diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya di ruang-ruang ibadah. Kehadiran Tuhan dalam tubuh semestinya juga membuahkan buah-buah iman. Dengan demikian penganut agama tidak menjadi penipu agama karena ia telah mewujudkan iman yang dihayatinya menjadi tindakan nyata.
Posting Komentar untuk "Penipu"
Kesan/Pesan
Posting Komentar