Sungguh memprihatinkan! Banyak pemimpin di negeri ini, namun kondisi negeri ini masih berada dalam keterpurukan. Rupanya salah satu penyebabnya adalah pemimpin di negeri ini masih ada yang belum mempunyai integritas yang utuh. Akibatnya terjadilah perbedaan antara yang ia janjikan (yang dikatakan) dengan yang ia lakukan. Hal itu terjadi karena mereka yang mengaku diri sebagai pemimpin itu masih berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Bentuk-bentuk kepentingan diri sendiri itu tecermin melalui kejahatan yang mewujud dalam budaya korupsi, kekerasan maupun perusakan lingkungan hidup. Semua itu berawal dan bermuara pada upaya mementingkan diri sendiri.

Budaya-budaya koruptif itu pun bisa mewujud dalam perbuatan yang dilakukan secara tidak langsung. Mereka bisa melakukan budaya koruptif melalui peraturan maupun bentuk-bentuk konspirasi yang bertujuan untuk meraup keuntungan semata.

Jika pemimpin di negeri ini masih seperti ini, kita tidak bisa berharap banyak kalau negeri ini akan menjadi semakin sejahtera. Alih-alih menjadi semakin baik, karena contoh buruk para pemimpinnya, negeri ini justru akan diliputi budaya-budaya buruk yang siap merugikan rakyat yang dipimpinnya.

Arti pemimpin

Bagi penulis, seorang pemimpin adalah seorang yang bisa membawa pengaruh positif tertentu pada yang dipimpinnya. Ia pun mempunyai visi tertentu sebagai arah pengabdiannya. Ia seharusnya bisa memberi pengaruh pada yang dipimpinnya untuk bersama-sama mewujudkan visi tersebut. Dengan demikian, pemimpin senantiasa membawa budaya-budaya tertentu ketika mencapai visi tersebut.

Seeorang pemimpin tidak harus berada dalam kedudukan, posisi atau jabatan tertentu dalam politik maupun manajemen. Namun, menurut Lowney (2003), kesempatan menjadi pemimpin ada dalam semua kegiatan hidup. Kita semua adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Hal ini terlihat ketika kita akan membawa diri dalam hidup kita. Visi, pilihan-pilihan, budaya, cara berpikir, ataupun cara bertindak kita tergantung pada pada cara kita memimpin diri sendiri.

Seeorang pemimpin dalam memberikan pengaruhnya tidak pernah memakai paksaan. Para pengikut atau orang yang dipimpinnya akan mengikuti jejak langkahnya yang disebabkan pesona pemimpinnya. Jadi, pengikutnya mendapatkan pengaruh yang tidak diupayakan melalui paksaan pemimpinnya. Pengaruh itu justru dilakukan melalui model dialogis.
Kepemimpinan kristiani

Berbicara tentang kepemimpinan, agama Katolik pun mempunyai figur pemimpin yang banyak dikisahkan dalam Alkitab. Tokoh utama pemimpin utama itu adalah Yesus Kristus. Ia dalam hidup-Nya mempunyai visi penyelamatan umat manusia dari dosa. Manusia diharapkan dapat menikmati kehidupan kekal. Untuk mencapai hal ini maka hukum terutama yang harus ditaati manusia adalah mengasihi Allah dan sesama. "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Lukas 10:27).

Dalam mewujudkan visinya, Yesus tidak bekerja sendiri. Ia mengangkat 12 orang sebagai murid-Nya. Dalam hal ini, Ia pun memimpin 12 orang murid sebagai partner dalam mewujudkan visinya. Sebagai pemimpin, para murid pun dikenalkan dengan visi penyelamatan umat manusia. Bersama para murid, Yesus mengabarkan kabar gembira. Dalam situasi itulah terjadi internalisasi nilai, spiritualitas, budaya dan visi pada para murid-murid-Nya.

Ia tidak hanya memberi pengajaran. Namun, ia justru memberikan teladan. Ia mengajarkan cinta kasih. Dalam hal cinta kasih, ia secara nyata memberikan teladan pengampunan melalui mengampuni seorang perempuan yang berzinah. Model kepemimpinan yang dipakai Yesus Kristus dilakukan sepanjang hidup-Nya bersama para murid-Nya.

Beberapa hal yang bisa dipelajari dari model kepemimpinan yang dilakukan Yesus adalah sebagai berikut, pertama asketis dan bermati raga. Dia dikenal sebagai seorang yang sederhana. Kesederhanaan itu terlihat pada waktu Ia berpuasa selama 40 hari. Waktu itu, Dia sempat digoda Iblis yaitu ketika lapar Ia ditawari untuk mengubah batu-batu menjadi roti. Meskipun Ia bisa melakukannya, namun Ia menolak itu semua. Ia menjelaskan bahwa di samping makanan tubuh, masih ada aspek spiritualitas yang dibutuhkan manusia. Selanjutnya, iblis meminta Dia untuk menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi. Namun Yesus menolak, Ia tidak suka popularitas atau citra yang menunjukkan dirinya hebat. Dengan demikian Yesus adalah pemimpin yang asketis dan sederhana, tidak bergelimangan kejayaan atau kemewahan. Ia jauh dari hasrat membangun citra-citra positif yang manipulatif.

Kedua, Ia berusaha untuk memanfaatkan keheningan dan menghidupkan semangat doa. Maka pada saat-saat tertentu, Dia mundur dari dunia keramaian untuk berdoa. Jadi, kepemimpinannya tidak didasarkan pada perjuangan fisik semata, namun, Ia juga menghidupi spiritualitas-Nya. Hal ini terlihat ketika dia akan mengambil sebuah keputusan yang berhubungan dengan peran-Nya dalam menyelamatkan umat manusia namun berisiko kematian diri-Nya. "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Ia pun tidak mementingkan keselamata dirinya. Visi penyelamatan umat manusia dari dosa tetap dilanjutkan meskipun diri-Nya akan menderita oleh hal itu. Ia menempuh bahaya, tidak mencari keselamatan diri atau kemuliaan diri-Nya.

Ketiga, Yesus memberi keteladan kepada murid-murid yang dipimpin-Nya. Ia tidak hanya memerintahkan para pengikut-Nya untuk melakukan tindakan kasih dan berkorban. Ia menunjukkan keteladanan dengan rela mati dibunuh demi perwujudan keselamatan umat manusia. Hal ini tentu sangat berbeda dengan pemimpin yang hanya memberikan himbauan kepada rakyatnya, sementara habitusnya justru berkebalikan dengan kata-katanya sendiri.

Keempat, Ia tidak menyingkirkan orang-orang yang bermasalah, namun justru membuat perdamaian dengan yang bersangkutan. Ini terlihat ketika Ia mengampuni orang yang berzinah. Ketika orang-orang berusaha merajam dia, Yesus justru melakukan cara-cara antikekerasan. Ia membenci dosa, namun tidak membenci pendosa. Ia jeli bahwa yang dimusuhi bukanlah pendosa, namun dosa-dosanya. Ia berusaha menyadarkan perempuan itu supaya bertobat dan kembali pada Allah. Memang cara ini lebih panjang dan melelahkan karena harus berdialog dulu dengan yang bersangkutan. Akan lebih mudah jika pemimpin langsung menghukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Pemimpin model ini adalah pemimpin yang mencari gampangnya sendiri, tidak mau bersusah-susah menyelami akar masalah. Hal ini masih terlihat dalam keseharian. Misalnya, masih ada pemimpin yang berusaha menertibkan masyarakat miskin dipinggir jalan dengan menggusur mereka. Pemimpin tersebut ternyata lebih suka menggusur warga miskin daripada mencarikan solusi membebaskan mereka dari kemiskinan.

Kelima, Yesus menerapkan model kepemimpinan yang melayani. ”Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.” (Markus 10:43-44). Demikian juga untuk menjadi pemimpin besar dan disegani rakyatnya, seorang pemimpin harus bersedia melayani rakyatnya.
Meneladan kepemimpinan Yohanes Pembabtis

Dalam tradisi kekristenan, selain meneladan model kepemimpinan Yesus, kita juga bisa meneladan model kepemimpinan Yohanes Pembabtis. Sebelum tampil di muka umum, Yohanes tinggal di padang gurun (Luk. 1:80). Dialah yang menyiapkan jalan bagi Yesus sebelum berkarya, "Ada suara yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya. Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan, dan semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan." (Luk 3:4-6).

Yohanes Pembabtis boleh dikatakan sebagai pemimpin yang mengawali visi penyelamatan sebelum Yesus. Ia pun sudah memberikan khotbah kepada segenap umat di sekitar Galilea dengan menjawab pertanyaan orang banyak, "Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?" (Luk. 3:10).

Sebagai pemimpin yang sudah memiliki banyak pengikut, ia tidak menyalahgunakan kepemimpinannya karena ia sadar bahwa tugasnya hanyalah menyiapkan kepemimpinan Yesus, bukan menjadikan dirinya sebagai pemimpin. Maka, ketika ia ditanya oleh beberapa imam dan orang-orang Lewi yang diutus orang Yahudi dari Yerusalem, "Siapakah engkau?" Ia mengaku dan tidak berdusta, katanya, "Aku bukan Mesias." (Yoh. 1:19-20). Ia pun menegaskan lagi, ”Aku bukan Mesias, tetapi aku diutus untuk mendahului-Nya ,” (Yoh. 3 :28).

Padahal bisa saja dengan memiliki pengikut yang banyak ia memproklamirkan diri sebagai Mesias. Tentu, akan ada banyak pengikut yang setia mengikutinya. Ia pun bisa disegani dan mendapatkan keuntungan tertentu dengan status kepemimpinannya. Meskipun demikian ia sadar akan porsi yang diberikan padanya. Ia sadar bahwa dia hanyalah orang yang bertugas untuk menyiapkan visi penyelamatan umat manusia sebelum nantinya visi itu dilakukan sepenuhnya oleh Yesus. Maka ia pun berkata, ”Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” (Yoh. 3:30).

Yohanes pembabtis tampil bersahaja dan sesuai dengan amanat yang diberikan padanya. Ia tidak menyalahgunakan amanatnya untuk mencari obyekan atau mencari keuntungan. Padahal, seperti lazimnya, menjadi pemimpin bisa dijadikan sarana untuk menjadikan dirinya kaya dengan menyalagunakan kepercayaannya.

Sebagai orang yang bertugas menyiapkan jalan untuk melakukan visi penyelamatan, Yohanes Pembabtis tidak oportunis. Yohanes sadar diri bahwa dia hanyalah sarana untuk pemimpin yang lebih tinggi dari-Nya yaitu Yesus. Dalam konteks kepemimpinan di Indonesia tentu menjadi pemimpin bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk rakyat.

Jika semua pemimpin di negeri ini meneladan model kepemimpinan Yesus Kristus dan Yohanes Pembatis, tidak perlu lagi ada rakyat yang dikorbankan hanya karena keserakahan para pemimpinnya. Rakyat pun menjadi sejahtera karena mereka diperhatikan secara sungguh oleh pemimpinnya yang tidak egois.

Post a Comment

Kesan/Pesan