Tanda

Pada umumnya manusia selalu mencari tanda-tanda di sekitarnya. Hal itu digunakan untuk memuaskan rasa penasaran ataupun untuk mencari petunjuk. Seorang sopir akan selalu memerhatikan rambu-rambu jalan untuk memastikan arah perjalanannya sekaligus untuk meyakinkan kondisi jalan di depannya, tikungan, turunan, ataupun tanjakan. Dengan demikian orang tersebut bisa membayangkan kondisi jalan di depannya dan bisa mengambil keputusan tertentu misalnya mempercepat atau memperlambat kendaraannya.
Tiga orang majus dari timur sebelum menemukan bayi Yesus juga memakai tanda-tanda seperti sopir tadi. Tiga sarjana itu memakai tanda benda langit yaitu bintang. “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.” (Matius 2:2). Memang, bintang itu menjadi tanda tempat bayi Yesus berada. “Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada.” (Matius 2:9).
Kalau kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanda berarti yang menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu; gejala; bukti; pengenal, lambang; dan petunjuk. Dalam bahasa Inggris tanda disebut sign atau signal. Dalam konteks di awal tulisan ini tanda dimaksudkan sebagai petunjuk.
Di samping sebagai petunjuk, tanda ternyata dicari manusia untuk mencari bukti-bukti sebuah kebenaran. Paling tidak dalam dunia ilmu pengetahuan bukti menjadi hal yang sangat penting untuk menunjukkan sebuah kebenaran teori atau hukum. Tanda-tanda itu digunakan untuk menguatkan sebuah kebenaran yang diyakini manusia.
Tidak hanya di dunia ilmu pengetahuan yang bersifat empiris, tanda-tanda ternyata dicari manusia dalam sebuah kebenaran iman. Misalnya tentang keberadaan Tuhan. Hal ini dibuktikan melalui pendapat dari Thomas Aquinas dengan titik tolaknya adalah keyakinan bahwa Allah tidak terbukti atau nyata dengan sendirinya kepada manusia. Itu menuntut bukti. Maka ia berusaha membuktikan keberadaan Allah dengan teorinya yang pertama adalah penyebab atau penggerak pertama itu adalah Allah. Baginya, setiap gerak di alam selalu memiliki sebab. Segala sesuatu yang bergerak pasti harus digerakkan oleh sesuatu yang lain. Allah adalah penyebab yang pertama. Kedua, Allah adalah sebab berdayaguna yang pertama. Ia sangat yakin bahwa semua sebab yang berdayaguna menghasilkan sesuatu yang lain. Allah-lah yang bisa melakukannya. Ketiga, Allah adalah keniscayaan segala sesuatu di dunia ini. Bagi Thomas Aquinas, segala sesuatu yang ada di dunia ini dapat saja tidak ada. Namun, sesuatu yang awalnya tidak ada hanya dapat mulai berada jika diadakan oleh sesuatu yang telah ada. Keempat, Allah dibuktikan dari derajat-derajat dalam perwujudan nilai. Menurut Thomas Aquinas, derajat kebaikan atau keadilan diukur dengan memakai yang terbaik, yang paling adil, sebagai ukurannya. Jadi, adanya yang terbaik diharuskan oleh karena adanya yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik. Oleh karena itu harus ada sesuatu yang menjadi sebab dari segala yang baik, adil, benar, mulia, dst. Yang menyebabkan semua itu adalah Allah. Kelima, Allah adalah bukti dari finalitas. Segala sesuatu yang tak berakal itu tidak mungkin bergerak menuju akhirnya jika tidak diarahkan oleh suatu tokoh yang berakal, berpengetahuan. Inilah Allah.
Itu adalah kegelisahan yang dijawab oleh Thomas Aquinas. Namun, di luar itu semua, pada umumnya orang akan berusaha memuaskan rasa penasarannya melaui tanda-tanda atau bukti yang bisa diindra. Hal ini juga terjadi pada Thomas setelah kebangkitan Yesus. Awalnya, ia tidak percaya. “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.” (Yoh 20:25). Thomas telah melihat dan menyentuh tanda atau bekas luka-luka Kristus. Lalu ia percaya.
Kadang, di antara kita pun mempertanyakan tanda bahwa Allah mengasihi kita. Kita pun sering bertanya-tanya bahkan sangsi pada Allah. Terlebih jika kehendak kita bukanlah kehendak-Nya. Tentu, hal ini menjadi hal yang baik untuk kita renungkan bahwa kebaikan Allah tidak bergantung pada terkabul atau tidaknya kehendak kita. Jadi terkabul atau tidaknya kehendak kita bukanlah tanda kebaikan Allah yang mengasihi karena dalam keadaan apapun Allah adalah kasih, Deus Caritas Est.
Yang lebih penting adalah upaya kita sebagai umat beriman dan beragama untuk menjadi tanda kasih Allah kepada sesama. Dalam zaman yang dilanda oleh kekerasan, korupsi dan kerusakan lingkungan hidup, kita diajak untuk menjadi tanda Allah yang mengasihi. Dalam kesulitan itu, kita diharapkan bisa menjadi tanda dan sarana bahwa Allah mencintai kita dan sesama. Tentu tanda itu tidak cukup hanya dengan berpakaian agamis dan memakai asesoris agamis. Namun, tanda itu terlihat ketika kita bisa memancarkan wajah Allah dalam situasi yang serba sulit. Sehingga dengan demikian, harapan tetap memancar dari wajah-wajah yang mendamba hadirnya Kerajaan Allah di bumi ini. Tandanya adalah manusia mencintai Allah, mencintai sesama dan memelihara keutuhan ciptaan.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

إرسال تعليق for "Tanda"