Seringkali kita mendengar jerih payah para katekis. Mereka dengan setia mengenalkan ajaran Katolik pada orang-orang yang belum dibabtis. Berbagai tantangan mereka lalui. Bahkan beberapa di antaranya ada yang harus menembus daerah terpencil, masuk ke pelosok desa. Mereka tak takut menghadapi badai, medan yang ganas maupun keadaan yang serba tidak pasti. Dengan keadaan yang bisa membuat nyali surut itu mereka tetap bertahan demi memperkenalkan ajaran Kristus. Itulah hidup mereka, hidup para katekis.
Mereka adalah katekis yang sering disebut orang pada umumnya. Namun, apakah kita sadar kalau sejak kita lahir kita sudah diajari oleh katekis selama 24 jam sehari. Mereka dengan penuh pengorbanan mendidik kita sekalian. Mereka tidak meminta balasan karena jasa didikannya. Katekis itu adalah orangtua kita.
Tentu kita akan bertanya orangtua kita adalah katekis macam apa?
Romo Heliarko dalam sebuah acara bedah buku mengatakan bahwa dirinya mendapatkan pendidikan iman dari orangtuanya. Pendidikan itu membuat imannya menjadi lebih berkembang. Baginya seminari hanya melengkapi dan menambahkan saja dalam jumlah kecil dibanding ketika dia mendapatkan pendidikan iman dari orangtuanya pada masa kecil. Jadi, pendidikan iman dari keluarga merupakan pondasi utama dalam perkembangan iman di masa dewasa.
Mendengar pengalaman Romo Heliarko, saya menjadi teringat dengan orangtua saya, terutama ibu. Masih saya ingat dengan jelas, waktu itu saya masih anak-anak, ibu selalu membangunkanku pada hari Minggu untuk mandi pagi dan pergi mengikuti misa. Untuk pergi ke tempat misa, kami harus berjalan kaki kurang lebih setengah jam dari rumah menuju jalan raya (aspal). Perjalanan yang tadinya ditempuh dengan jalan kaki lalu dilanjutkan dengan menaiki angkutan umum. Sekitar duapuluh menit kemudian kami tiba di sebuah rumah tinggal umat yang kami anggap sebagai gereja. Maklum, kami belum mempunyai gedung gereja karena tidak diijinkan masyarakat. Ruang tamu rumah tinggal itu di tata menjadi tempat misa. Di dalamnya sudah tertata altar untuk misa kudus. Kami bersama umat yang lain merayakan misa di rumah itu.
Waktu itu saya sebenarnya enggan untuk mengikuti ajakan ibu. Namun, ibu pada waktu itu “memaksa” saya untuk pergi. Ia “memaksa” kami, saya dan adik, bahwa ke gereja adalah kewajiban umat Katolik. Namun, sungguh luar biasa. Ibu dan bapak memaksa kami dengan sangat baik. Mereka memaksa kami ikut ke gereja (rumah umat) dengan iming-iming setelah ke gereja kami semua makan bakso bersama di dekat sebuah terminal bus.
Tidak hanya itu saja. Ibu dengan kesabarannya selalu mengantarkan kami untuk mengikuti sekolah Minggu. Mungkin ibu mempunyai ketakutan kami bisa murtad karena keluarga kami adalah kaum minoritas di desa. Sehingga ibu beranggapan bahwa sekolah Minggu bisa menyelamatkan iman kami yang masih berupa tunas kecil. Menjelang Natal, kami anak-anak sekolah Minggu dilibatkan untuk bermain drama Natal. Dengan semangat ibu selalu mengantar saya untuk mengikuti latihan meskipun tempat latihan dengan rumah berjarak cukup jauh.
Sebagai orang desa ibu dan bapak adalah orang yang sangat awam dengan agama Katolik. Saya tidak yakin sepenuhnya kalau mereka mempunyai pengetahuan iman Katolik yang sempurna. Sejauh saya tinggal bersamanya, mereka tidak pernah menjelaskan hal-ikhwal iman Katolik seperti sakramen, hierarki Gereja ataupun isi Alkitab.
Namun kami tahu, sikap ibu kalau ada tamu datang ke rumah. Ia akan memberikan sambutan dengan menghidangkan minimal teh manis. Ibu selalu mengingatkanku untuk tidak nakal atau berkelahi dengan teman-teman di sekolah. Ibu mengajarkan aku untuk menghindari perkelahian dengan mengalah. Ibu mengajariku untuk tidak membalas dendam jika ada teman saya yang usil. Ketika ada makanan di rumah, ibu mengajariku untuk berbagi makanan dengan teman-teman yang di rumah. Ibu juga selalu mengingatkanku untuk tidak bermain di tempat-tempat berbahaya seperti sungai, atau waduk di tempat kami. Kami tidak boleh hujan-hujanan di halaman. Meskipun demikian, kami tetap melanggarnya dengan diam-diam hingga akhirnya kami pun jatuh sakit. Namun ia merawat kami meskipun kami telah membohonginya.
Saat-saat itu, peristiwa yang saya alami hanyalah peristiwa biasa. Tak berkesan! Namun mulai sekarang ini, saya menyadari bahwa ibu ternyata telah mengajari banyak hal. Jika semua itu ditarik dalam iman Katolik, kita bisa menemukan titik temu di sana. Ibu dengan ketidaktahuannya ternyata telah memberikan fundamen-fundamen iman pada anaknya. Meskipun demikian, saya merasa masih menjadi orang yang belum suci atau berdosa. Terlepas dengan itu, Ssya hanya terkesan dengan upaya ibu yang dengan ketidaktahuannya ternyata telah membumikan ajaran-ajaran Katolik menjadi bentuk-bentuk praktis dan aplikatif. Ibu telah menggeser orthodoksi menjadi orthopraksis.
Tentu ibuku tidak perlu membaca-baca buku katekis seperti yang dilakukan banyak katekis lainnya sebelum mengajar katekumen. Namun, ia cukup mengajariku dengan yang ia punya yaitu dengan keteladanan. Hal-hal praktis yang diajarkannya ternyata sangat mengesan sampai hari ini. Terima kasih ibu! Terima kasih katekisku!
Mereka adalah katekis yang sering disebut orang pada umumnya. Namun, apakah kita sadar kalau sejak kita lahir kita sudah diajari oleh katekis selama 24 jam sehari. Mereka dengan penuh pengorbanan mendidik kita sekalian. Mereka tidak meminta balasan karena jasa didikannya. Katekis itu adalah orangtua kita.
Tentu kita akan bertanya orangtua kita adalah katekis macam apa?
Romo Heliarko dalam sebuah acara bedah buku mengatakan bahwa dirinya mendapatkan pendidikan iman dari orangtuanya. Pendidikan itu membuat imannya menjadi lebih berkembang. Baginya seminari hanya melengkapi dan menambahkan saja dalam jumlah kecil dibanding ketika dia mendapatkan pendidikan iman dari orangtuanya pada masa kecil. Jadi, pendidikan iman dari keluarga merupakan pondasi utama dalam perkembangan iman di masa dewasa.
Mendengar pengalaman Romo Heliarko, saya menjadi teringat dengan orangtua saya, terutama ibu. Masih saya ingat dengan jelas, waktu itu saya masih anak-anak, ibu selalu membangunkanku pada hari Minggu untuk mandi pagi dan pergi mengikuti misa. Untuk pergi ke tempat misa, kami harus berjalan kaki kurang lebih setengah jam dari rumah menuju jalan raya (aspal). Perjalanan yang tadinya ditempuh dengan jalan kaki lalu dilanjutkan dengan menaiki angkutan umum. Sekitar duapuluh menit kemudian kami tiba di sebuah rumah tinggal umat yang kami anggap sebagai gereja. Maklum, kami belum mempunyai gedung gereja karena tidak diijinkan masyarakat. Ruang tamu rumah tinggal itu di tata menjadi tempat misa. Di dalamnya sudah tertata altar untuk misa kudus. Kami bersama umat yang lain merayakan misa di rumah itu.
Waktu itu saya sebenarnya enggan untuk mengikuti ajakan ibu. Namun, ibu pada waktu itu “memaksa” saya untuk pergi. Ia “memaksa” kami, saya dan adik, bahwa ke gereja adalah kewajiban umat Katolik. Namun, sungguh luar biasa. Ibu dan bapak memaksa kami dengan sangat baik. Mereka memaksa kami ikut ke gereja (rumah umat) dengan iming-iming setelah ke gereja kami semua makan bakso bersama di dekat sebuah terminal bus.
Tidak hanya itu saja. Ibu dengan kesabarannya selalu mengantarkan kami untuk mengikuti sekolah Minggu. Mungkin ibu mempunyai ketakutan kami bisa murtad karena keluarga kami adalah kaum minoritas di desa. Sehingga ibu beranggapan bahwa sekolah Minggu bisa menyelamatkan iman kami yang masih berupa tunas kecil. Menjelang Natal, kami anak-anak sekolah Minggu dilibatkan untuk bermain drama Natal. Dengan semangat ibu selalu mengantar saya untuk mengikuti latihan meskipun tempat latihan dengan rumah berjarak cukup jauh.
Sebagai orang desa ibu dan bapak adalah orang yang sangat awam dengan agama Katolik. Saya tidak yakin sepenuhnya kalau mereka mempunyai pengetahuan iman Katolik yang sempurna. Sejauh saya tinggal bersamanya, mereka tidak pernah menjelaskan hal-ikhwal iman Katolik seperti sakramen, hierarki Gereja ataupun isi Alkitab.
Namun kami tahu, sikap ibu kalau ada tamu datang ke rumah. Ia akan memberikan sambutan dengan menghidangkan minimal teh manis. Ibu selalu mengingatkanku untuk tidak nakal atau berkelahi dengan teman-teman di sekolah. Ibu mengajarkan aku untuk menghindari perkelahian dengan mengalah. Ibu mengajariku untuk tidak membalas dendam jika ada teman saya yang usil. Ketika ada makanan di rumah, ibu mengajariku untuk berbagi makanan dengan teman-teman yang di rumah. Ibu juga selalu mengingatkanku untuk tidak bermain di tempat-tempat berbahaya seperti sungai, atau waduk di tempat kami. Kami tidak boleh hujan-hujanan di halaman. Meskipun demikian, kami tetap melanggarnya dengan diam-diam hingga akhirnya kami pun jatuh sakit. Namun ia merawat kami meskipun kami telah membohonginya.
Saat-saat itu, peristiwa yang saya alami hanyalah peristiwa biasa. Tak berkesan! Namun mulai sekarang ini, saya menyadari bahwa ibu ternyata telah mengajari banyak hal. Jika semua itu ditarik dalam iman Katolik, kita bisa menemukan titik temu di sana. Ibu dengan ketidaktahuannya ternyata telah memberikan fundamen-fundamen iman pada anaknya. Meskipun demikian, saya merasa masih menjadi orang yang belum suci atau berdosa. Terlepas dengan itu, Ssya hanya terkesan dengan upaya ibu yang dengan ketidaktahuannya ternyata telah membumikan ajaran-ajaran Katolik menjadi bentuk-bentuk praktis dan aplikatif. Ibu telah menggeser orthodoksi menjadi orthopraksis.
Tentu ibuku tidak perlu membaca-baca buku katekis seperti yang dilakukan banyak katekis lainnya sebelum mengajar katekumen. Namun, ia cukup mengajariku dengan yang ia punya yaitu dengan keteladanan. Hal-hal praktis yang diajarkannya ternyata sangat mengesan sampai hari ini. Terima kasih ibu! Terima kasih katekisku!
إرسال تعليق for ""Katekis""
Kesan/Pesan
إرسال تعليق