Perayaan kemerdekaan RI ke-62 telah usai. Sekarang kita mau apa lagi? Menunggu perayaan kemerdekaan tahun berikutnya? Lalu kita merancang aneka lomba yang tidak jelas ujung pangkalnya? Atau lalu, kita hanya memasang lampu hias yang jelas-jelas itu adalah pemborosan energi?
Mari kita merunut jauh sebelum kemerdekaan. Pada waktu itu yang terjadi adalah politik adu domba yang dijalankan oleh penjajah. Kerajaan satu menyerang kerajaan yang lain. Sesama anak bangsa saling membunuh. Lalu, yang mendapatkan keuntungan sebenarnya penjajah itu sendiri. Beberapa waktu kemudian paham kebangsaan mulai muncul yang menyatukan visi seluruh orang di negeri ini. Mereka membangun tekad bulat yaitu satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang ditandai dengan Sumpah Pemuda. Ini adalah kemajuan yang luar biasa. Perlawanan mereka terhadap penjajah mulai tersistematis. Yang terpenting lagi mereka telah mengatasi perbedaan menjadi kekuatan bersama dalam perbedaan itu sendiri. Tentu, dari antara mereka terdiri dari banyak agama, suku dan bahasa. Namun mereka melakukan aksi bersama untuk merebut kemerdekaan. Dari gejala inilah sebenarnya bibit-bibit multikulturalisme telah tumbuh dengan subur. Bibit itu pun semakin subur ketika Indonesia menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945. Hal ini terlihat ketika ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara dan bukan Piagam Jakarta. Pancasila merupakan representasi religiusitas, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Jadi, nampak di sana, Pancasila menghargai keragamaan. Inilah yang menghidupkan kita sebenarnya.
Sekarang, kondisi bangsa ini mulai dikoyak-koyak lagi. Fundamentalisme muncul ke permukaan mengalahkan isu kebangsaan. Saat ini muncul fundamentalisme baik itu suku/daerah dan agama. Fundamentalisme suku/daerah direpresentasikan dalam gejala pemisahan diri dari NKRI. Fundamentalisme agama menguat dalam kekuatan-kekuatan agama beraliran keras.
Jika kondisi itu tidak disikapi dengan baik bangsa ini akan semakin terkoyak-koyak. Bangsa ini akan semakin terpuruk. Maka, jelas harus ada penyikapan yang jelas mengenai hal ini. Revitalisasi kebangsaan menjadi hal yang mutlak. Kita harus belajar bahwa cara atau model kebangsaan kita masih tertatih-tatih. Kita harus mengubah bahwa merayakan kemerdekaan RI tidak hanya dengan kegiatan lomba dan memasang lampu hias. Itu hanya sarana. Sekiranya tujuan yang lebih penting. Generasi muda tentu banyak yang tidak tertarik mengenai peristiwa heroik para pahlawan revolusi. Hal ini wajar karena mereka hidup dalam konteks yang berbeda. Kita perlu belajar menanamkan kebangsaan pada generasi muda dengan konsep kekinian misalnya, pluralisme, globalisasi dan demokrasi serta keadilan sosial.
Fundamentalisme agama menguat dan terkadang mengubah bentuknya dalam kekuatan politik. Ini harus disikapi secara bijak. Penanaman paham pluralisme perlu ditingkatkan. Dalam konsep ini, masing-masing orang diajak untuk setia menjalani agamanya sekaligus juga menghargai agama atau iman lain. Dalam masing-masing ajarannya, agama dan iman yang lain pun sama-sama memancarkan kebenaran. Jadi yang terpenting adalah ketika masalah dogma tidak bisa dikompromikan, alangkah baiknya menyatukan langkah dalam tindakan nyata misalnya toleransi dan membela yang miskin, lemah, kecil dan tersingkir. Di sinilah agama menjadi pembebas untuk menciptakan kehidupan yang beradab. Dengan cara ini kita berharap bahwa bangsa ini tidak jatuh ke dalam kekerasan bernuansa agama.
Untuk menguatkan kebangsaan dan mengurangi fundamentalisme agama, multikulturalisme bisa menjadi jembatan. Menurut Dr. Haryatmoko dalam ”Etika Komunikasi”, multikulturasi tidak hanya menentang penyeragaman dan mendorong penerimaan perbedaan, namun ada implikasi sosial-politik. Pertama, pemahaman akan kesatuan dalam perbedaan mempunyai implikasi terbentuknya sistem baru representasi, partisipasi dan kewarganegaraan. Kedua, multikulturalisme mengandaikan adanya perjumpaan budaya dan identitas yang berbeda. Ketiga, multikulturalisme mau mengritisi dan mengingatkan bahwa institusi bisa menghasilkan rasisme dan bentuk diskriminasi lain. Institusi itu bisa Negara atau pemerintah daerah.
Maka dari itulah, baik jika multikulturalisme dikembangkan dalam pendidikan formal dengan cara yang terstruktur. Dengan multikulturalisme memungkinkan kita yang berbeda agama, suku dan bahasa bisa hidup bersama dalam perbedaan. Lebih lanjut lagi dan yang terpenting kita bisa membuat dialog-dialog mengenai kekhasan masing-masing sehingga hal ini bisa melunturkan bentuk-bentuk prasangka yang selama ini bercokol di pikiran kita. Lebih penting lagi dalam perbedaan itu kita tidak saling menyerang, namun sebaliknya kita saling bekerja sama membuat karya bersama.
Jadi saat ini, seraya menunggu perayaan kemerdekaan RI tahun berikutnya, kita isi dengan hal-hal tersebut. Sekarang kita sadar, bahwa kita tidak hanya menunggu perayaan kemerdekaan tahun berikutnya, namun mulai saat ini juga kita mengisinya.
Mari kita merunut jauh sebelum kemerdekaan. Pada waktu itu yang terjadi adalah politik adu domba yang dijalankan oleh penjajah. Kerajaan satu menyerang kerajaan yang lain. Sesama anak bangsa saling membunuh. Lalu, yang mendapatkan keuntungan sebenarnya penjajah itu sendiri. Beberapa waktu kemudian paham kebangsaan mulai muncul yang menyatukan visi seluruh orang di negeri ini. Mereka membangun tekad bulat yaitu satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang ditandai dengan Sumpah Pemuda. Ini adalah kemajuan yang luar biasa. Perlawanan mereka terhadap penjajah mulai tersistematis. Yang terpenting lagi mereka telah mengatasi perbedaan menjadi kekuatan bersama dalam perbedaan itu sendiri. Tentu, dari antara mereka terdiri dari banyak agama, suku dan bahasa. Namun mereka melakukan aksi bersama untuk merebut kemerdekaan. Dari gejala inilah sebenarnya bibit-bibit multikulturalisme telah tumbuh dengan subur. Bibit itu pun semakin subur ketika Indonesia menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945. Hal ini terlihat ketika ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara dan bukan Piagam Jakarta. Pancasila merupakan representasi religiusitas, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Jadi, nampak di sana, Pancasila menghargai keragamaan. Inilah yang menghidupkan kita sebenarnya.
Sekarang, kondisi bangsa ini mulai dikoyak-koyak lagi. Fundamentalisme muncul ke permukaan mengalahkan isu kebangsaan. Saat ini muncul fundamentalisme baik itu suku/daerah dan agama. Fundamentalisme suku/daerah direpresentasikan dalam gejala pemisahan diri dari NKRI. Fundamentalisme agama menguat dalam kekuatan-kekuatan agama beraliran keras.
Jika kondisi itu tidak disikapi dengan baik bangsa ini akan semakin terkoyak-koyak. Bangsa ini akan semakin terpuruk. Maka, jelas harus ada penyikapan yang jelas mengenai hal ini. Revitalisasi kebangsaan menjadi hal yang mutlak. Kita harus belajar bahwa cara atau model kebangsaan kita masih tertatih-tatih. Kita harus mengubah bahwa merayakan kemerdekaan RI tidak hanya dengan kegiatan lomba dan memasang lampu hias. Itu hanya sarana. Sekiranya tujuan yang lebih penting. Generasi muda tentu banyak yang tidak tertarik mengenai peristiwa heroik para pahlawan revolusi. Hal ini wajar karena mereka hidup dalam konteks yang berbeda. Kita perlu belajar menanamkan kebangsaan pada generasi muda dengan konsep kekinian misalnya, pluralisme, globalisasi dan demokrasi serta keadilan sosial.
Fundamentalisme agama menguat dan terkadang mengubah bentuknya dalam kekuatan politik. Ini harus disikapi secara bijak. Penanaman paham pluralisme perlu ditingkatkan. Dalam konsep ini, masing-masing orang diajak untuk setia menjalani agamanya sekaligus juga menghargai agama atau iman lain. Dalam masing-masing ajarannya, agama dan iman yang lain pun sama-sama memancarkan kebenaran. Jadi yang terpenting adalah ketika masalah dogma tidak bisa dikompromikan, alangkah baiknya menyatukan langkah dalam tindakan nyata misalnya toleransi dan membela yang miskin, lemah, kecil dan tersingkir. Di sinilah agama menjadi pembebas untuk menciptakan kehidupan yang beradab. Dengan cara ini kita berharap bahwa bangsa ini tidak jatuh ke dalam kekerasan bernuansa agama.
Untuk menguatkan kebangsaan dan mengurangi fundamentalisme agama, multikulturalisme bisa menjadi jembatan. Menurut Dr. Haryatmoko dalam ”Etika Komunikasi”, multikulturasi tidak hanya menentang penyeragaman dan mendorong penerimaan perbedaan, namun ada implikasi sosial-politik. Pertama, pemahaman akan kesatuan dalam perbedaan mempunyai implikasi terbentuknya sistem baru representasi, partisipasi dan kewarganegaraan. Kedua, multikulturalisme mengandaikan adanya perjumpaan budaya dan identitas yang berbeda. Ketiga, multikulturalisme mau mengritisi dan mengingatkan bahwa institusi bisa menghasilkan rasisme dan bentuk diskriminasi lain. Institusi itu bisa Negara atau pemerintah daerah.
Maka dari itulah, baik jika multikulturalisme dikembangkan dalam pendidikan formal dengan cara yang terstruktur. Dengan multikulturalisme memungkinkan kita yang berbeda agama, suku dan bahasa bisa hidup bersama dalam perbedaan. Lebih lanjut lagi dan yang terpenting kita bisa membuat dialog-dialog mengenai kekhasan masing-masing sehingga hal ini bisa melunturkan bentuk-bentuk prasangka yang selama ini bercokol di pikiran kita. Lebih penting lagi dalam perbedaan itu kita tidak saling menyerang, namun sebaliknya kita saling bekerja sama membuat karya bersama.
Jadi saat ini, seraya menunggu perayaan kemerdekaan RI tahun berikutnya, kita isi dengan hal-hal tersebut. Sekarang kita sadar, bahwa kita tidak hanya menunggu perayaan kemerdekaan tahun berikutnya, namun mulai saat ini juga kita mengisinya.
Posting Komentar untuk "Mengisi Kemerdekaan"
Kesan/Pesan
Posting Komentar