Pada suatu hari Minggu, saya mengikuti ekaristi kudus. Waktu itu, rupanya saya tidak sempat sarapan pagi. Namun, dengan tekad bulat saya tetap mengikuti upacara itu. Masalah mulai datang pada pertengahan misa. Tiba-tiba perut saya terasa lapar. Badan mulai terasa lemas. Lebih menjengkelkan lagi, meskipun seharusnya tidak boleh berperasaan demikian, mata saya mulai berkunang-kunang ketika saya harus berdiri dari posisi duduk atau berlutut. Hal itu membuat saya tidak khusuk mengikuti upacara ekaristi kudus. Baru tidak sempat sarapan akibatnya sudah sedemikian rupa. Lalu bagaimana jika saya tidak makan selama beberapa hari? Mungkin, saya hanya protes dan protes pada Tuhan, bukannya berdoa.
Jika rasa lapar dialami oleh banyak orang dan dialami dalam jangka waktu yang cukup lama karena kemiskinan, bencana, perang, gagal panen apakah mereka juga mengalami peristiwa seperti saya? Ketika mereka beribadah, mereka tidak bisa berkonsentrasi. Bahkan mereka pun sudah tidak kuat lagi berjalan ke gereja, masjid, vihara, pura atau kelenteng. Prosesi sembahyang atau berdoa tidak bisa berlangsung sebagaimana mestinya. Saya pun tidak yakin, ketika mereka tidak kuat berjalan ke tempat ibadah, mereka bisa berdoa dengan baik di tempat ia berada. Bisa jadi, ketika mereka berdoa, mereka terkaget-kaget dengan bunyi keroncongan dalam perutnya atau harus menahan rasa sakit karena sudah lama tidak makan. Bayangkan jika yang berdoa adalah mereka yang menderita busung lapar atau orang-orang yang kurus kering di suatu negara akibat peperangan dan bencana!
Rupanya ada hubungan antara makan, memakan, makanan dengan berdoa. Orang yang cukup menerima makanan bisa berdoa dengan baik. Bahkan orang yang berpuasa sekalipun, dia tetap memakan makanan pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Artinya, ia tetap memakan makanan pada waktu puasa. Makan sangat penting untuk prosesi ibadah. Hal itu dapat saya jumpai pada pengalaman seorang imam. Suatu ketika seorang imam Katolik datang ke sebuah acara arisan. Sebelum arisan dimulai, acara diawali dengan ekaristi kudus. Karena belum sempat memakan apapun, sang imam merasa lemas dan gemetar. Demi berlangsungnya ekaristi, sang imam meminta makanan pada panitia terlebih dahulu untuk mengisi perut dan mendapatkan tenaga. Beberapa saat kemudian, tenaganya pulih dan ia bisa menyelenggarakan ekaristi kudus. Bahkan di akhir ekaristi, sang imam menyanyikan beberapa lagu yang indah. Ini bukti bahwa makan sangat mendukung kehidupan doa.
Saya berpikir kemudian. Sangat wajar jika pada suatu negara atau daerah ketika mereka, rakyatnya, tidak bisa makan dengan cukup atau ketika mereka menderita kelaparan, mereka begitu mudah marah dan membuat kekacauan. Alasannya sederhana. Makan adalah kebutuhan pokok. Dari aktivitas ini, segala kegiatan, karya bahkan yang bersifat rohani sekalipun dapat terselenggara dengan baik.
Menurut Masao Tenaka, dalam God is Rice (Tuhan adalah Nasi), pangan adalah sorga. Kalau tidak berbagi makanan dengan sesama, maka tidak ada damai, tidak ada sorga, tidak ada harmoni. Kalau mulut setiap orang di dunia mendapat makanan, maka hidup kita dalam damai. Jadi makanan adalah sorga, syalom, harmoni (Panita HPS KWI).
Dalam situasi yang menunjukkan bahwa belum semua orang bisa makan dengan cukup, lalu apa yang seharusnya dilakukan oleh kita sebagai orang beragama? Tentu kita tidak cukup menghibur mereka dengan kata-kata sabar dan percayalah Tuhan sungguh baik bagi kita! Di daerah yang miskin dan dilanda kelaparan mereka mudah melakukan kerusuhan gara-gara keinginan mendapatkan makanan atau rebutan makanan. Tentu kita juga tidak hanya berdoa bagi mereka supaya Tuhan mengirimkan makanan pada orang-orang yang kelaparan. Zaman ini bukan seperti zaman ketika orang-orang Israel bisa mendapatkan mana (makanan) turun di sebuah gurun dalam Perjanjian Lama. Meski kondisi alam tidak memungkinkan untuk memproduksi makanan, mereka tetap bisa makan.
Sekarang, kitalah yang menjadi mana. Orang yang beragama siap menjadi “makanan” bagi orang lain. Artinya, kedirian kita harus siap dibagi-bagikan dengan orang lain yang membutuhkan. Rahmat dan anugrah yang telah diterima harus siap diberikan pada orang lain. Orang beragama adalah saluran rahmat Tuhan kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Orang beragama bukan hanya orang yang piawai mengajarkan orang lain berdoa. Namun, ia juga bersedia dan tulus memberi makanan supaya orang tersebut kuat berdoa dan tidak menahan rasa lapar pada waktu berdoa. Di sinilah, agama tidak hanya memberi mimpi sorga, namun memberikan kenyataan bahwa dunia sungguh menjadi sorga. Agama bertindak dalam kenyataan. Jadi agama tidak hanya mengajak orang untuk beribadah, namun memberi “makanan” supaya mereka bisa beribadah.
Jika rasa lapar dialami oleh banyak orang dan dialami dalam jangka waktu yang cukup lama karena kemiskinan, bencana, perang, gagal panen apakah mereka juga mengalami peristiwa seperti saya? Ketika mereka beribadah, mereka tidak bisa berkonsentrasi. Bahkan mereka pun sudah tidak kuat lagi berjalan ke gereja, masjid, vihara, pura atau kelenteng. Prosesi sembahyang atau berdoa tidak bisa berlangsung sebagaimana mestinya. Saya pun tidak yakin, ketika mereka tidak kuat berjalan ke tempat ibadah, mereka bisa berdoa dengan baik di tempat ia berada. Bisa jadi, ketika mereka berdoa, mereka terkaget-kaget dengan bunyi keroncongan dalam perutnya atau harus menahan rasa sakit karena sudah lama tidak makan. Bayangkan jika yang berdoa adalah mereka yang menderita busung lapar atau orang-orang yang kurus kering di suatu negara akibat peperangan dan bencana!
Rupanya ada hubungan antara makan, memakan, makanan dengan berdoa. Orang yang cukup menerima makanan bisa berdoa dengan baik. Bahkan orang yang berpuasa sekalipun, dia tetap memakan makanan pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Artinya, ia tetap memakan makanan pada waktu puasa. Makan sangat penting untuk prosesi ibadah. Hal itu dapat saya jumpai pada pengalaman seorang imam. Suatu ketika seorang imam Katolik datang ke sebuah acara arisan. Sebelum arisan dimulai, acara diawali dengan ekaristi kudus. Karena belum sempat memakan apapun, sang imam merasa lemas dan gemetar. Demi berlangsungnya ekaristi, sang imam meminta makanan pada panitia terlebih dahulu untuk mengisi perut dan mendapatkan tenaga. Beberapa saat kemudian, tenaganya pulih dan ia bisa menyelenggarakan ekaristi kudus. Bahkan di akhir ekaristi, sang imam menyanyikan beberapa lagu yang indah. Ini bukti bahwa makan sangat mendukung kehidupan doa.
Saya berpikir kemudian. Sangat wajar jika pada suatu negara atau daerah ketika mereka, rakyatnya, tidak bisa makan dengan cukup atau ketika mereka menderita kelaparan, mereka begitu mudah marah dan membuat kekacauan. Alasannya sederhana. Makan adalah kebutuhan pokok. Dari aktivitas ini, segala kegiatan, karya bahkan yang bersifat rohani sekalipun dapat terselenggara dengan baik.
Menurut Masao Tenaka, dalam God is Rice (Tuhan adalah Nasi), pangan adalah sorga. Kalau tidak berbagi makanan dengan sesama, maka tidak ada damai, tidak ada sorga, tidak ada harmoni. Kalau mulut setiap orang di dunia mendapat makanan, maka hidup kita dalam damai. Jadi makanan adalah sorga, syalom, harmoni (Panita HPS KWI).
Dalam situasi yang menunjukkan bahwa belum semua orang bisa makan dengan cukup, lalu apa yang seharusnya dilakukan oleh kita sebagai orang beragama? Tentu kita tidak cukup menghibur mereka dengan kata-kata sabar dan percayalah Tuhan sungguh baik bagi kita! Di daerah yang miskin dan dilanda kelaparan mereka mudah melakukan kerusuhan gara-gara keinginan mendapatkan makanan atau rebutan makanan. Tentu kita juga tidak hanya berdoa bagi mereka supaya Tuhan mengirimkan makanan pada orang-orang yang kelaparan. Zaman ini bukan seperti zaman ketika orang-orang Israel bisa mendapatkan mana (makanan) turun di sebuah gurun dalam Perjanjian Lama. Meski kondisi alam tidak memungkinkan untuk memproduksi makanan, mereka tetap bisa makan.
Sekarang, kitalah yang menjadi mana. Orang yang beragama siap menjadi “makanan” bagi orang lain. Artinya, kedirian kita harus siap dibagi-bagikan dengan orang lain yang membutuhkan. Rahmat dan anugrah yang telah diterima harus siap diberikan pada orang lain. Orang beragama adalah saluran rahmat Tuhan kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Orang beragama bukan hanya orang yang piawai mengajarkan orang lain berdoa. Namun, ia juga bersedia dan tulus memberi makanan supaya orang tersebut kuat berdoa dan tidak menahan rasa lapar pada waktu berdoa. Di sinilah, agama tidak hanya memberi mimpi sorga, namun memberikan kenyataan bahwa dunia sungguh menjadi sorga. Agama bertindak dalam kenyataan. Jadi agama tidak hanya mengajak orang untuk beribadah, namun memberi “makanan” supaya mereka bisa beribadah.
Posting Komentar untuk "Berdoa, Makan lalu Berdoa"
Kesan/Pesan
Posting Komentar