PAHLAWAN


“Selamat ya sudah menjadi sarjana. Moga-moga ilmumu menjadi berguna bagi
keluarga dan masyarakat!” kata Pak Amat dengan senyum sahajanya.
”Terima kasih, Pak Amat!” kata Iwan dengan wajah yang berbinar-binar tak bisa menahan kegembiraan.
Hampir semua orang di desanya berdatangan untuk menonton sarjana perdana di desa yang permai itu. Dengan diwisudanya Iwan menjadi sarjana, desa itu seolah menjadi bergairah. Ada seorang anak udik yang berhasil meraih pendidikan tinggi. Padahal di desanya, yang pernah sekolah hanya beberapa gelintir orang. Itu pun paling hanya tamat SMA atau SMP. Selebihnya paling hanya lulus sampai SD. Walau sudah bersekolah, umumnya anak-anak desa yang mulai beranjak dewasa itu hanya duduk-duduk bergerombol saja alias menganggur. Mengerjakan sawah ladang jelas tidak mungkin bisa menghidupi karena kebanyakan orang di desanya hanya mempunyai sawah ladang yang sempit. Jadi, wajar jika anak-anak muda di desa itu hanya menganggur. Tak jarang pula mereka malah terlibat dalam tindakan kriminal. Ayam-ayam yang ada di desa tetangga dicuri pada malam hari hanya untuk mendapatkan sejumlah uang. Tak jarang pula mereka tak segan-segan untuk mencuri hasil sawah ladang untuk dijual di pasar.
Siang itu, serombongan warga desa datang dengan menyewa truk terbuka untuk menghadiri acara wisuda seorang sarjana yang dibangga-banggakan. Sarjana itu juga hasil pembiayaan gotong-royong para warga. Masing-masing mempunyai andil dalam membantu pendidikan orang yang dibangga-banggakan. Hari itu adalah hari yang bersejarah.
Urusan sawah ladang telah diselesaikan sebelum waktunya demi menghadiri ritual penyematan gelar sarjana. Pak Amat yang mantan pejuang 45 itu selalu berharap bahwa di desanya muncul seorang sarjana yang akan membantu membangun desanya. Semua itu menjadi doa-doanya. Pak Amat beranggapan bahwa jika ada orang pintar di desa itu, maka akan ada kemajuan. Ia berharap bahwa kaum intelektual desa akan menjadi penggerak pembangunan. Maka dengan segala upaya Pak Amat berusaha mewujudkan mimpinya tersebut.
“Pak Timin, saya sangat bangga anak Bapak mau belajar sampai di universitas!” katanya pada suatu sore di rumah ayah sang mahasiswa fakultas hukum.
“Ah, Pak Amat, terlalu memuji. Bapak kan tahu sendiri kalau saya tertatih-tatih membiayai anak saya. Sebentar lagi mau semesteran, saya belum menyiapkan uang untuk biaya kuliah anak saya!”
Kata-katanya lirih tertelan kicauan burung sore itu. Angin pun seakan melara mendengar keluhan itu. Sejenak mereka terdiam. Masing-masing menyelami kedalaman hati yang prihatin itu. Berkali-kali kicauan burung itu tertangkap gendang telinga mereka berdua. Ada nuansa kontradiktif yaitu keceriaan burung-burung yang bernyanyi dengan keprihatinan yang dialami dua orang itu.
“Begini saja Pak Timin, saya kan tidak punya anak istri, uang santunan negara sebagai veteran sebagian saya sisihkan untuk membantu kuliah Iwan. Bagaimana? Saya berharap padanya kelak akan muncul seorang cerdik pandai dan bisa memimpin desa ini menjadi lebih baik. Saya berharap ada reinkarnasi Bung Karno yang termasyur itu! Kita butuh pemimpin yang bisa membimbing warga menuju arah yang lebih baik. Yang penting Iwan jangan sampai tahu kalau saya juga membantu kuliahnya!”
Keduanya pun langsung terlempar ke masa lalu. Masa itu adalah retakan kisah di penghujung proklamasi kemerdekaan. Mereka mengenang perjuangan merebut kemerdekaan RI bersama laskar rakyat. Keduanya asyik bernostalgia. Pak Amat sebagai mantan komandan laskar rakyat langsung bersemangat menunjukkan idelismenya tentang kemerdekaan dan pembangunan bangsa ini. Namun, Pak Timin yang adalah rekan seperjuangan itu nampak tidak begitu antusias. Kegairahan itu surut ketika harus membiayai Iwan beserta dua anak yang lainnya. Apalagi saat itu Pak Timin mulai sakit-sakitan. Pembicaraannya tidak seidealis dulu.
Masa pun berjalan sampai hari wisuda Iwan. Orang-orang di desa itu menggelar selamatan bersama. Mereka mensyukuri Iwan yang telah berhasil menjadi sarjana.
“Mas Iwan, apa rencanamu untuk desa ini?” tanya Pak Amat dengan antusias.
“Ah, Pak Amat ini. Tenang Pak Amat. Sebentar lagi saya mau ke kota. Ada kantor pengacara yang memanggil saya untuk bekerja di sana. Saya kan masuk sarjana terbaik di kampus.” kata Iwan dengan bangganya.
“Jadi, Mas Iwan, hendak pergi ke kota? tanya Pak Amat dengan gusar.
“Iya, Pak. Masa saya sudah kuliah tinggi begini masih tinggal di desa. Sayangkan? Lagi pula di desa apa yang bisa saya lakukan. Pekerjaan tidak ada. Masa saya harus makan makanan desa melulu?” kata Iwan dengan meninggalkan tanda tanya yang dalam.
“Tapi, Mas Iwan desa sangat membutuhkanmu. Terus terang kami menunggu sepak terjangmu. Kami semua berharap ada seorang intelektual muda seperti Bung Karno yang akan merintis pembangunan di desa ini.”
“Sayang sekali saya bukan Bung Karno. Saya hanyalah orang yang sudah bosan hidup miskin. Sudah terlalu lama saya hidup miskin dan nista. Di kampus saya agak minder bergaul dengan mereka yang kaya raya. Maka dari itu, Pak Amat, saya sudah bertekad untuk memperbaiki nasib saya ini!” kata Iwan dengan geram.
“Baiklah kalau hal itu sudah menjadi pilihanmu. Bapak hanya berharap kamu hati-hati di tempat kerjamu. Banyak godaan yang akan menantimu di sana. Saya ucapkan selamat jalan!” kata Pak Amat dengan terbata-bata.
Laki-laki yang merindukan sosok Bung Karno berreinkarnasi itu hanya menangis. Matanya berkaca-kaca. Di pojok desa itu dia menangis sesenggukan seorang diri. Dia masih ingat di sanalah dia menggalang kekuatan dengan massa rakyat yang lain. Masing-masing orang dengan senjata seadanya berkumpul untuk menyongsong kemerdekaan. Secara aklamasi pula dia terpilih menjadi komandan laskar rakyat desa itu. Padahal dia tidak menyanggupi permintaan rakyat itu. Dia merasa tidak mampu. Namun apa daya kepercayaanlah yang telah menguatkannya untuk menjadi komandan laskar rakyat dengan taruhan nyawa teman sendiri tentunya.
Angin semilir melemparkan Pak Amat kepada realita kekinian. Setelah sekian waktu tenggelam dalam buaian nostalgia, dia teringat bahwa bara perjuangan yang menyala di dada tidak akan pernah padam hanya karena sosok seorang pemuda yang tidak mau berjuang memperbaiki desanya. Dia berpikir bahwa hal itu terlalu tidak realistis di zaman sekarang. Era ini sangat wajar jika masing-masing orang berlomba mengubah peruntungan hidupnya, entah dengan berbagai cara.
Malam mulai menebarkan selimut hitamnya. Desa yang damai itu terlelap dalam mimpinya. Mimpi tentang perubahan nasib. Memang negara sudah merdeka. Namun aura kemerdekaan tidak juga sampai menyentuh ke sendi-sendi hidup di desa. Dari dulu rakyat tetap melarat. Mereka malah hidup dalam ilusi perubahan nasib yang menyesatkan. Tak terasa waktu bergulir tiga tahun sejak hari wisuda seorang anak desa.
***
Pagi selalu membawa harapan baru. Pak Amat selalu menanti pagi. Karena dari pagi itulah dia bisa mewujudkan mimpi. Masih teringat pada masa revolusi, dia bersama massa rakyat menyerang basis pertahanan Belanda. Pagi-pagi buta penyerangan dimulai dengan asumsi pagi itu para bule penjajah masih tertidur lelap. Pagi itu pula yang telah melemparkannya pada kekinian untuk selalu tetap setia menggarap tanah sumber hidupnya. Menggarap tanah adalah perjuangan mewujudkan mimpi. Tanah keras dilunakkannya dengan cucuran keringatnya. Hidup seorang diri ternyata tetap memudahkannya untuk menjadi petani. Walau dirinya pernah tergabung dalam satuan pasukan tentara nasional, karena dia adalah bekas komandan laskar rakyat, namun jiwanya adalah petani. Jiwa yang selalu bertekad untuk menghidupkan. Bukan jiwa yang selalu ingin membunuh. Hanya karena keadaanlah yang membuatnya menjadi pembunuh. Namun, ketika revolusi usai Pak Amat bertekad menjadi orang yang selalu ingin menghidupkan. Buktinya semua hasil panennya tidak dimakan sendiri, namun ia membagikannya kepada para tetangga yang gagal panen atau yang terkena musibah. Uang pensiunan pun ia gunakan untuk membiayai pendidikan Iwan sampai menjadi sarjana. Namun pagi itu, dia dikejutkan oleh adanya rencana pembuatan pabrik dalam skala besar oleh investor dari kota. Rencana pembangunan pabrik itu melingkupi semua tanahnya yang tidak begitu luas ditambah dengan tanah puluhan tetangganya dengan jumlah total sekitar sepuluh hektar. Dalam waktu dekat akan diadakan pembebasan tanah.
Hari pembebasan tanah pun tiba. Seluruh pemilik tanah dikumpulkan di balai desa. Mereka mendapat pengarahan dari beberapa orang termasuk dari pihak pemilik proyek tersebut. Pak Amat dan beberapa warga terkejut karena tampak di depan ada seorang yang mereka kenali. Iwan dengan pakaian yang bagus kelas eksekutif duduk turut memberi pengarahan. Tampak juga orang tua Iwan yang terkejut melihat anaknya yang sudah hidup enak.
Pengarahan tetap berjalan hingga tiba pada giliran Iwan, sang sarjana, berbicara. Sebagai seorang pengacara dia berbicara atas nama hukum. Dalam pembicaraannya dia menyatakan bahwa kliennya hanya akan membebaskan tanah pada yang bersertifikat saja. Selebihnya yang tidak berertifikat, dengan sendirinya disita karena, menurutnya, tanah itu masuk dalam wilayah tanah perkebunan pemerintah. Jadi yang tidak mempunyai sertifikat, tanahnya langsung disita. Mendengar hal itu seluruh warga yang hadir terkejut dan protes. Hampir semua warga tidak mempunyai sertifikat tanah.
“Kami sudah puluhan tahun menggarap tanah itu. Tanah itu sudah menjadi tubuh kami sendiri. Kami makan dan minum dari tanah ini!” kata Pak Amat.
“Semua tanah kecuali tanah Pak Timin tidak bersertifikat. Jadi pembebasan tanah diadakan tanpa ganti rugi. Mulai seminggu ke depan, Anda sekalian harus pergi dari tanah tersebut!” kata Iwan.
“Tidak anakku. Kamu sudah berubah kamu tega membela mereka yang berbuat tidak adil pada warga yang juga adalah saudaramu sendiri. Kamu mengkhianati kami semua. Kami menyesal membantumu sekolah tinggi.” teriak Pak Timin.
Suasana sontak menjadi tak terkendali. Warga mengamuk. Mereka merusak bangunan balai desa. Pak Timin limbung rupanya terkena serangan jantung. Baru akan dilarikan ke rumah sakit dia sudah tidak tertolong. Warga yang mengamuk ditangkap aparat keamanan. Pak Amat dengan refleksnya berkata,”Keadilan macam apa ini? Kalian adalah penjajah kaummu sendiri. Kalian akan berdiri di atas bangkai mayat kawan sendiri. Merdeka! Serang! Hancurkan para penjajah. Merdeka!” Warga pun dengan kesadaran penuh menyerang orang-orang kota tersebut.
Pertempuran hebat terjadi di depan balai desa itu. Namun tiba-tiba Pak Amat tergeletak setelah bunyi pistol meletus. Tubuhnya bersimbah darah. Nafasnya tersengal-sengal seolah ingin dengan segera membebaskan rohnya dari tubuhnya yang renta.
“Kamu telah mengkhianati negeri ini!”
Beberapa saat kemudian Pak Amat terdiam. Mati. Sementara warga yang lain ditangkapi dibawa ke markas keamanan. Tampak Iwan dengan puas menyaksikan semua itu.
“Terima kasih Saudara Iwan, Anda akan mendapat uang jasa dari kami!”
“........”
Suasana pun mencekam.

Semarang, September 2006
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "PAHLAWAN"