MENJADI BAIK
Suatu ketika saya mengirimkan “sms” kepada seorang teman. “Apakah untuk menjadi baik seseorang itu harus ke gereja? Lalu kalau sudah ke gereja apakah seseorang tersebut menjadi baik?” Pertanyaan itu muncul ketika saya mengalami kekecewaan terhadap beberapa orang yang rajin ke gereja (mengikuti misa) namun kelakuannya masih jelek. Di sisi lain, saya menjumpai seorang yang mengaku Kristiani namun tidak pernah ke gereja. Menurut pengamatan dan penilaian saya, hidupnya sangat lurus, boleh dikatakan sebagai orang baik. Dari kedua hal itulah saya merasa sia-sia pergi ke gereja untuk menjumpai Tuhan.
Lalu, teman saya membalas dengan singkat kurang lebih begini, “Bukan baik atau buruknya yang penting, tetapi percaya kepada-Nya itulah yang terpenting!” Sekilas saya merenungi kata-kata itu dan lama saya tidak bisa memahaminya. Lalu muncul pertanyaan lanjutan, “Bagaimana mungkin? Banyak orang yang percaya kepada Tuhan namun hidupnya selalu menyengsarakan orang lain!” Hal ini dapat kita lihat ketika banyak orang menyerukan nama Tuhan namun mereka memperlakukan orang lain seperti binatang, membunuh, membantai atas nama Tuhan. Dari hal itulah saya mempunyai kesimpulan sementara, yang penting menjadi baik bagi orang lain dan tidak perlu ke gereja. Padahal hal ini tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Ajaran Gereja menghendaki kita rajin ke gereja dan menjadi baik.
Lama saya merenungkan pesan singkat tersebut. Tiba-tiba saya mulai mengerti. Dengan percaya kepada Allah yang baik maka kita pun dengan sendirinya akan mengagumi dan menuruti hal-hal yang dikehendaki-Nya. Ke gereja mengikuti misa kudus adalah suatu persekutuan dengan Tuhan. Di sana kita bisa mengecap firman-Nya. Allah adalah baik. Jika kita mempercayai Allah maka kita akan mengagumi kebaikan-Nya dan berusaha untuk menjadi baik.
Di sini persoalan utamanya adalah percaya pada Allah dan menjadi manusia yang baik. Beberapa teman saya yang lain menghindari kegiatan menggereja karena mereka trauma terhadap oknum-oknum yang rajin mengikuti kegiatan tersebut namun hidup imannya tidak menjadi lebih baik. Paling tidak itulah yang tampak dengan mata manusiawi. Memang, kebanyakan manusia hanya memandang dengan mata manusiawi sehingga terkadang terjerumus pada penghakiman terhadap orang lain. Manusia menilai dosa orang lain. Dengan demikian kita tidak lebih dari orang Farisi seperti yang diceritakan dalam Alkitab.
Mempercayai Allah dan mempercayai ajaran-Nya adalah baik karena akan menggiring manusia menjadi makhluk yang baik. Pencarian kebaikan dan kebenaran terkadang melelahkan manusia itu sendiri. Hal serupa dapat kita lihat pada novel Paulo Coelho, Sang Alkemis. Di sana diceritakan seorang gembala yang bermimpi menemukan harta karun di sebuah tempat. Kemudian ia mencarinya sampai jauh ke pelosok negeri namun harta itu tidak dijumpainya. Berbagai petualangan ia alami dengan susah payah sampai membuatnya lelah sehingga ia kembali ke tempat asalnya. Ketika ia tiba di tempat asalnya ia justru menemukan harta itu. Ia menemukan harta setelah ia berkeliling jauh dalam pencariannya. Ternyata, harta itu ada di dekatnya. Di Alkitab diceritakan, seorang anak sulung yang pergi mengembara menghabiskan harta warisan ayahnya berfoya-foya mencari kesenangan hidup. Ia berpetualang dalam pencariannya. Namun, ia pun merasakan kekurangan karena kenikmatan itu habis. Lalu ia pun kembali kepada ayahnya. Ia mengalami suka cita bersama ayahnya yang pernah ditinggalkannya. Kedua cerita tersebut mengajarkan bahwa sering kali manusia asyik masyuk dalam kebenaran, kebaikan, pandangan hidup maupun kesenangannya sendiri. Ia lupa pada sesuatu yang sangat dekat yaitu kesejatian diri.
Manusia terkadang terlalu sombong menyakini pandangan hidupnya sehingga ia tidak bisa menemukan harta karunnya yaitu Allah itu sendiri. Allah yang sangat dekat tidak bisa dicapai. Jawaban pesan singkat, “Bukan baik atau buruknya yang penting, tetapi percaya kepada-Nya itulah yang penting!” akan membawa kita pada penemuan kebaikan dan kebenaran itu sendiri. Dengan meyakini bahwa Allah adalah baik maka kita akan belajar menjadi seperti Allah yang adalah baik.
Kekecewaan pada orang-orang, sudah selayaknya ditanggalkan karena kita menilai mereka hanya dengan kacamata manusia. Yang tampak di luar terkadang berbeda dengan yang di hati. Artinya, kita tidak mempunyai kuasa untuk menilai orang lain. Hanya Allah yang berhak menilai kebaikan manusia. Kita dipanggil Allah untuk percaya kepada-Nya supaya kita pun mengerti kebaikan-Nya dan bisa menyatakan kebaikan itu pada orang lain. Dari sinilah kita belajar untuk tidak mengatakan orang lain munafik ataupun jahat tetapi kita ditantang untuk selalu melihat kebaikan Allah dengan mempercayainya. Selebihnya, dibutuhkan keseimbangan antara pengungkapan iman dan perwujudannya dalam kehidupan nyata. Jadi, ya ke gereja (ungkapan iman), ya berbuat baik (perwujudan iman). Bila antara keduanya tidak seimbang, maka hidup beriman kita pincang! Maka, marilah menjadi baik dalam hidup beriman yang seimbang!
Suatu ketika saya mengirimkan “sms” kepada seorang teman. “Apakah untuk menjadi baik seseorang itu harus ke gereja? Lalu kalau sudah ke gereja apakah seseorang tersebut menjadi baik?” Pertanyaan itu muncul ketika saya mengalami kekecewaan terhadap beberapa orang yang rajin ke gereja (mengikuti misa) namun kelakuannya masih jelek. Di sisi lain, saya menjumpai seorang yang mengaku Kristiani namun tidak pernah ke gereja. Menurut pengamatan dan penilaian saya, hidupnya sangat lurus, boleh dikatakan sebagai orang baik. Dari kedua hal itulah saya merasa sia-sia pergi ke gereja untuk menjumpai Tuhan.
Lalu, teman saya membalas dengan singkat kurang lebih begini, “Bukan baik atau buruknya yang penting, tetapi percaya kepada-Nya itulah yang terpenting!” Sekilas saya merenungi kata-kata itu dan lama saya tidak bisa memahaminya. Lalu muncul pertanyaan lanjutan, “Bagaimana mungkin? Banyak orang yang percaya kepada Tuhan namun hidupnya selalu menyengsarakan orang lain!” Hal ini dapat kita lihat ketika banyak orang menyerukan nama Tuhan namun mereka memperlakukan orang lain seperti binatang, membunuh, membantai atas nama Tuhan. Dari hal itulah saya mempunyai kesimpulan sementara, yang penting menjadi baik bagi orang lain dan tidak perlu ke gereja. Padahal hal ini tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Ajaran Gereja menghendaki kita rajin ke gereja dan menjadi baik.
Lama saya merenungkan pesan singkat tersebut. Tiba-tiba saya mulai mengerti. Dengan percaya kepada Allah yang baik maka kita pun dengan sendirinya akan mengagumi dan menuruti hal-hal yang dikehendaki-Nya. Ke gereja mengikuti misa kudus adalah suatu persekutuan dengan Tuhan. Di sana kita bisa mengecap firman-Nya. Allah adalah baik. Jika kita mempercayai Allah maka kita akan mengagumi kebaikan-Nya dan berusaha untuk menjadi baik.
Di sini persoalan utamanya adalah percaya pada Allah dan menjadi manusia yang baik. Beberapa teman saya yang lain menghindari kegiatan menggereja karena mereka trauma terhadap oknum-oknum yang rajin mengikuti kegiatan tersebut namun hidup imannya tidak menjadi lebih baik. Paling tidak itulah yang tampak dengan mata manusiawi. Memang, kebanyakan manusia hanya memandang dengan mata manusiawi sehingga terkadang terjerumus pada penghakiman terhadap orang lain. Manusia menilai dosa orang lain. Dengan demikian kita tidak lebih dari orang Farisi seperti yang diceritakan dalam Alkitab.
Mempercayai Allah dan mempercayai ajaran-Nya adalah baik karena akan menggiring manusia menjadi makhluk yang baik. Pencarian kebaikan dan kebenaran terkadang melelahkan manusia itu sendiri. Hal serupa dapat kita lihat pada novel Paulo Coelho, Sang Alkemis. Di sana diceritakan seorang gembala yang bermimpi menemukan harta karun di sebuah tempat. Kemudian ia mencarinya sampai jauh ke pelosok negeri namun harta itu tidak dijumpainya. Berbagai petualangan ia alami dengan susah payah sampai membuatnya lelah sehingga ia kembali ke tempat asalnya. Ketika ia tiba di tempat asalnya ia justru menemukan harta itu. Ia menemukan harta setelah ia berkeliling jauh dalam pencariannya. Ternyata, harta itu ada di dekatnya. Di Alkitab diceritakan, seorang anak sulung yang pergi mengembara menghabiskan harta warisan ayahnya berfoya-foya mencari kesenangan hidup. Ia berpetualang dalam pencariannya. Namun, ia pun merasakan kekurangan karena kenikmatan itu habis. Lalu ia pun kembali kepada ayahnya. Ia mengalami suka cita bersama ayahnya yang pernah ditinggalkannya. Kedua cerita tersebut mengajarkan bahwa sering kali manusia asyik masyuk dalam kebenaran, kebaikan, pandangan hidup maupun kesenangannya sendiri. Ia lupa pada sesuatu yang sangat dekat yaitu kesejatian diri.
Manusia terkadang terlalu sombong menyakini pandangan hidupnya sehingga ia tidak bisa menemukan harta karunnya yaitu Allah itu sendiri. Allah yang sangat dekat tidak bisa dicapai. Jawaban pesan singkat, “Bukan baik atau buruknya yang penting, tetapi percaya kepada-Nya itulah yang penting!” akan membawa kita pada penemuan kebaikan dan kebenaran itu sendiri. Dengan meyakini bahwa Allah adalah baik maka kita akan belajar menjadi seperti Allah yang adalah baik.
Kekecewaan pada orang-orang, sudah selayaknya ditanggalkan karena kita menilai mereka hanya dengan kacamata manusia. Yang tampak di luar terkadang berbeda dengan yang di hati. Artinya, kita tidak mempunyai kuasa untuk menilai orang lain. Hanya Allah yang berhak menilai kebaikan manusia. Kita dipanggil Allah untuk percaya kepada-Nya supaya kita pun mengerti kebaikan-Nya dan bisa menyatakan kebaikan itu pada orang lain. Dari sinilah kita belajar untuk tidak mengatakan orang lain munafik ataupun jahat tetapi kita ditantang untuk selalu melihat kebaikan Allah dengan mempercayainya. Selebihnya, dibutuhkan keseimbangan antara pengungkapan iman dan perwujudannya dalam kehidupan nyata. Jadi, ya ke gereja (ungkapan iman), ya berbuat baik (perwujudan iman). Bila antara keduanya tidak seimbang, maka hidup beriman kita pincang! Maka, marilah menjadi baik dalam hidup beriman yang seimbang!
Akhirnya aku tahu bahwa kita adalah sarana bagi yang lain untuk menemukan Allah.
Posting Komentar untuk "Ungkapan syukur atas kehadiran seorang teman"
Kesan/Pesan
Posting Komentar