KESAKSIAN BANGKU

Aku hanyalah sebuah bangku. Aku dibuat oleh seorang tukang batu. Aku terbuat dari beton campuran semen, pasir, dan kapur. Rupaku dibuat sedemikian rupa banyak orang yang ingin duduk di atasku. Aku dibuat ditaman Perpustakaan sebuah Universitas negeri, yang kata orang-orang cukup favorit dan berprestasi. Ya, boleh dibilang terbaik di belahan bumi manapun. Posisiku dibuat menghadap ke sebuah kolam besar dengan ikan-ikan yang berenang-renang disertai dengan tumbuhan air yang begitu cantik. Belakangku adalah perpustakaan, disamping kiriku adalah pohon yang cukup besar dan rindang, kemudian di samping kananku adalah jalan bebatuan yang akhirnya akan bertemu dengan jalan besar universitas.
Sebenarnya di taman Perpustakaan banyak sekali teman-teman sesama bangku. Tapi mungkin akulah bangku yang tercantik di antara bangku yang lain. Sebagai bukti, banyak sekali mahasiswa ataupun dosen yang sering mendudukiku. Kadang mereka kentut dan baunya macam-macam. Lain orang lain baunya. Begitu juga keringat ada yang kecut ada pula yang sengak. Habis bagaimana lagi aku telah ditakdirkan hanya menjadi sebuah bangku. Sebuah bangku yang tidak punya pilihan atas sikap hidup. Sebuah bangku yang hanya menerima keadaan yang seadanya. Aku tidak bisa memilih keindahan dunia. Aku tidak dapat bersikap. Yang jelas aku hanya bisa diduduki oleh empat orang. Cukup panjang.
Pada suatu hari kira-kira hari Selasa Kliwon ada dua orang laki-laki dan perempuan. Salah satu dari mereka menunjukku sepertinya memilih aku. Tak berapa lama kemudian mereka menghampiriku dan mendudukiku. Wah, mereka baunya wangi-wangi. Sepertinya habis mandi. Rambut mereka juga kelihatan bersih sepertinya habis keramas. Laki-laki itu berambut gondrong diikat, kemudian perempuannya berambut pendek, katanya sih rambut Demi More. Sepertinya mereka saling mempersiapkan penampilannya masing-masing. Bibir perempuan itu merah menggoda dan cantik. Banyak lelaki yang kebetulan lewat selalu ingin melihat, walaupun sudah ada laki-laki di sampingnya. Demikian juga yang laki-laki, banyak sekali perempuan yang ingin melihatnya berlama-lama. Mereka pura-pura bolak-balik perpustakaan padahal sih, supaya bisa melihat laki-laki itu. Pokoknya mereka dua sejoli yang pas. Romeo dan Juliet.
“Mas, kita kan sudah pacaran satu tahun tapi kok Mas baru nyium aku dua kali. Itu aja aku yang minta. Mas, cinta nggak sih sama saya” tanya perempuan itu.
“Aduh, tentu saja aku cinta dong. Sayang banget. Kamu kan cantik banget. Masa aku nggak sayang. Mau dicium lagi ?”
“Ia, Mas!”
Tanpa basa-basi mereka saling memagutkan bibirnya lama sekali sekitar 36 detik. Dan terdengar nafas mereka tersengal. Ngos-ngosan.
“Ah, malu cari tempat lain aja yuk!” ajak si laki-laki.
Kemudian mereka meninggalkanku sendirian. Aku sendirian tanpa siapa-siapa hanya angin sejuk yang berhembus di sekelilingku. Yah, rupa-rupanya sekarang jam lima sore. Sepertinya para mahasisawa sedang berada di rumah atau tempat kost. Mandi sore. Dan aku sendirian hanya kadang-kadang kami saling bertegur sapa dengan bangku di dekat kolam sebelah pojok.
Satu jam kemudian dari arah jam enam ada serombongan laki-laki sebanyak lima orang. Tampang mereka tampak sangat liar. Mata mereka tajam. Beberapa detik kemudian kelima orang itu duduk bersamaan. Pegal sekali tubuhku diduduki lima orang, apalagi ada dua orang mahasiswa di antara mereka yang badannya lumayan gendut.
“Bagaimana, kawan-kawan apakah kita sudah siap untuk melakukan serangan?” tanya seorang mahasiswa yang rupa-rupanya adalah ketua mereka.
“Dari seksi logistik sudah siap. Bahan peledak sudah dipasangkan dengan alat pemicu ledakan. Tinggal tunggu tanggal main!” jawab seorang yang gendut.
“Dari seksi remote control sudah siap. Transmiter dan receiver sudah siap!” jawab seorang yang tingi kurus.
“Baiklah, karena kita sudah siap maka tinggal kita atur peledakan besok. Jadi, besok kita sudah memasuki hari H dan menjelang jam H. Sesuai rencana awal jam delapan pagi Presiden akan menghadiri sebuah pertemuan dengan tamu dari luar negeri. Bom itu sudah terpasang dekat gerbang. Kita tinggal ledakkan pada waktu Presiden dan tamu luar negeri itu masuk ke gedung pertemuan. Siap kawan-kawan!”
“Interupsi, ada sekelompok intelijen di depan sana, sebaiknya kita mengungsi dari sini!” dengan nada tegas seorang yang bertubuh gendut memeberitahu rekan-rekan mereka. Kemudian mereka segera saja meninggalkan aku. Aku sendirian hanya beberapa batang puntung rokok yang mereka tinggalkan masih menyala di depanku.
Beberapa menit kemudian ketika aku merasa kesal karena aku sendirian tiba-tiba saja ada seorang perempuan muda, cantik mendatangiku. Hari telah petang. Dengan diiringi desahan nafas penuh beban, perempuan itu menduduki tubuhku. Beberapa detik kemudian perempuan itu mengambil telepon seluler dari dalam tasnya, kemudian memencet beberapa angka dan simbol yang ada pada telepon tersebut. Kemudian dia berbicara melalui alat tersebut.
“Mas, kamu harus ke perpustakaan aku tunggu di bangku depan perpustakaan!”
Setelah berbicara melalui telepon seluler, perempuan itu terdiam selama beberapa menit, hanya nafasnya yang sepertinya gelisah dan menderu-deru seperti angin di padang ilalang. Perempuan itu cukup cantik. Bau parfumnya aduhai, lain dari yang pernah duduk di tubuhku. Beberapa menit kemudian terdengar langkah kaki dari arah samping mendekati kami berdua. Seorang pemuda berambut keriting kriwil, berkulit hitam dan gaya yang sangat angkuh menghampiri kami berdua.
“Ada apa sih kau mengganggu acaraku saja?” laki-laki itu bertanya dengan tidak senang.
“Mas aku hamil, kita harus menikah!” jawab perempuan itu.
“Apa-apaan ini kamu hamil kan sudah saya bilang dari dulu cegah tuh bunting, dasar bodoh!”laki-laki itu marah.
“Mas kamu harus ikut bertanggungjawab jangan hanya aku yang menanggung semua itu!” perempuan itu membentak.
Wajah perempuan itu tampak mengerikan dengan sinar lampu yang temaram apalagi ditambahi dengan kemarahannya.
“Enak saja kita melakukan semua kan karena suka sama suka, jadi masing-masing sudah siap dengan risikonya masing-masing. Dan jangan harap aku akan menikahimu. Aku belum mendapat semua yang aku impikan. Lebih baik aku meninggalkanmu dan cari perempuan yang lebih smart dari pada kamu, bunting. Sudah ini pesan saya yang terakhir gugurkan saja anak itu. Maka kamu bisa hidup lebih enak tanpa aku. Karena sebentar lagi aku akan lulus dan pergi ke tempat yang jauh untuk mengejar ambisiku selama ini. Jangan kau halangi aku dengan peristiwa sepele ini!” Setelah berkata beberapa lama laki-laki itu pergi meninggalkan perempuan cantik itu sendirian.
Wajah perempuan itu semakin sedih dan dari dalam mulutnya yang mungil terdengar untaian kata doa dan penyesalan. Dan setelah terdiam beberapa lama perempuan itu menjawab tanpa ada pertanyaan,”Aku akan menghadapinya walaupun aku sendiri tapi aku akan bersama anakku!”
Kemudian mata perempuan itu tertutup dan dari sudut matanya yang indah meleleh air bening. Peristiwa seperti ini sudah sangat sering terjadi. Dan aku sudah berkali-kali menyaksikan peristiwa seperti ini. Aku sudah menyaksikan sekitar lima kasus dalam setahun ini. Padahal setahun yang lalu hanya satu kasus. Dari kasus-kasus yang aku saksikan baru kali ini si laki-laki pergi meninggalkan perempuan sendiri menghadapinya. Sedangkan kasus yang dulu kebanyakan mereka terus menikah walaupun mereka tidak punya sesuatu untuk membuat mereka bertahan. Tapi bagi mereka dulu, yang penting mereka bisa tetap saling mengasihi. Urusan rejeki rumah tangga itu hanya urusan nanti. Semua ada rejekinya. Perempuan itu perlahan meninggalkanku. Perempuan itu melangkah pelan dengan pandangan lurus ke depan kemudian berbalik dan berkata ke arahku.
“Hai bangku, kamu sudah menyaksikan kisahku. Dari pertama kau kenal dengan laki-laki yang telah meninggalkanku sampai kamu menemani aku waktu aku sedih dan putus asa. Kamu bangku yang paling setia. Selamat malam!”
Kemudian perempuan itu pergi dengan langkah cepat. Malam semakin gelap padahal baru jam delapan malam. Taman perpustakaan ini semakin sepi saja.
Keesokan harinya hari sangat cerah dan mahasiswa sudah mulai berdatangan untuk belajar. Seperti biasa mereka saling menyapa jika bertemu dengan teman mereka. Jika tidak kenal paling ya acuh tak acuh. Paling-paling mahasiswa baru yang masih mau menegur seniornya dan mereka masih simpatik. Belum ada mahasiswa yang menduduki aku. Kira-kira jam delapan lewat tiga puluh menit, ada seorang laki-laki yang cukup tua. Dia membawa martil besar. Di jarinya tergenggam sebatang rokok kretek. Rokok itu mengepulkan asap yang sangat tebal sehingga serangga yang terbang ke wilayah asap tersebut berpikir dua kali. Tiba-tiba saja martil yang ada digenggaman laki-laki itu menghantam tubuhku.
“Duk-duk!!”
“Aduh sakit!” aku mengerang saat itu juga.
Rasanya aku nggak punya salah apa-apa dalam hidup ini. Aku bahkan tidak bisa berdosa, aku bahkan tidak pernah menyakiti siapa pun. Tapi justru orang-orang yang pernah duduk di badankulah yang telah bedosa. Mereka telah menyakiti teman mereka, mereka telah mengkhianati kekasih mereka, mereka telah melakukan aborsi, mereka telah merencanakan pembunuhan yang paling kejam, mereka telah menipu mahasiswa baru dengan ideologi mereka!”
“Hai hentikan perbuatanmu, jangan sakiti aku. Aku hanyalah bangku. Akulah saksi dari kezaliman manusia. Aku bersedia menunjukkan teroris itu. Aku bersedia memberitahu siapa mahasiswa aktivis kemanusiaan yang telah menghamili pacarnya dan meningalkannya. Aku berani bersaksi bahwa mahasiswa aktivis sekarang ini hanyalah tak lebih dari wanita tuna susila dan pria hidung belang. Hai manusia akan kutunjukkan siapa orang yang tidak bertanggungjawab, ngacir pergi meninggalkan kekasihnya ke luar pulau.!”
“Seharusnya kalianlah yang harus dimusnahkan karena kalian sudah mengkhianati di antara kalian sendiri. Dan yang jelas kalian adalah munafik!”
Kurasakan tubuhku hancur lebur berhamburan entah ke mana. Ketika aku mau menghembuskan nafas terakhirku ada orang yang berkata.
“Lumayan, mudah-mudahan proyek penggantian bangku di taman bisa memberi penghasilan yang tinggi!”

Paguyangan, 2003

Post a Comment

Kesan/Pesan