Muhammad Reza Cordova,
peneliti pencemaran laut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2O LIPI), seperti dilansir harian Kompas, 21 Feb 2018, mengatakan, sampah mikroplastik (ukuran kurang
dari 0,5 milimeter) yang dibuat pabrik (biasa dalam sabun scrub) maupun hasil fragmentasi telah menjadi monster mini di laut.
Reza mengatakan, berbagai riset di luar negeri menunjukkan
keberadaan mikroplastik pada organ bagian dalam biota laut, seperti kepiting,
kerang, ikan, bahkan zooplankton. Pada
penelitian lain, di tubuh ikan muncul dugaan mikroplastik menjadi pencetus
munculnya tumor.
Menurutnya pula dalam lansiran berita tersebut, ancaman lain
dari plastik yaitu nanoplastik yang masih minim riset terkait dengan hal itu.
Dengan ukuran sekecil sel darah ini, nanoplastik bisa dengan mudah menggapai
organ-organ vital manusia seperti otak dan pembuluh darah.
Betapa mengerikan fenomena tersebut bagi keselamatan manusia
meski itu semua juga disebabkan oleh manusia pula. Harian Kompas edisi tersebut
juga menginformasikan, UNESCO memproyeksi laut bisa menjadi sumber pangan pada
2030. Ini wajar ketika di daratan area pertanian dan peternakan sudah semakin
menyempit. Laut menjadi alternatif lumbung pangan manusia. Namun, apa jadinya
jika laut yang akan menjadi salah satu lumbung pangan itu mengalami pencemaran
hebat akibat salah satunya karena pembuangan sampah plastik? Bukankah ini
menjadi kabar buruk yang membayang di depan mata jika manusia tak segera
melakukan tindakan penyelamatan dan pertobatan atas dosa-dosa ekologisnya.
Di samping masifnya industri dan perkembangan cara produksi
dan konsumsi baik kalangan produsen dan konsumen tentang banyaknya produk yang
tak ramah lingkungan, budaya membuang pun menjadi penyebab yang memperparah kerusakan
alam.
Sampah berbahan plastik mungkin sampah yang paling mudah
ditemui di berbagai tempat. Namun, banyak sampah dan limbah berbahaya yang
tanpa kita ketahui dan tanpa bisa dikendalikan ada di sekitar kita. Paus
Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ menulis, “bumi, rumah kita, mulai makin
terlihat sebagai sebuah tempat pembuangan sampah besar. Di banyak tempat di
dunia, orang lansia mengeluh bahwa lanskap
yang dulu indah sekali sekarang ditutupi dengan sampah (LS 21).”
Lebih lanjut Paus Fransiskus menyebut fenomena itu sebagai
budaya membuang. Bahkan hal itu tidak hanya menyangkut barang, manusia pun
“dibuang” dalam kehidupan. “Kita belum berhasil mengadopsi model sirkular
produksi, yang mampu melestarikan sumber-sumber daya untuk generasi sekarang
dan mendatang, dengan membatasi sebanyak mungkin penggunaan sumber daya tak
terbarukan, menggunakan secukupnya, memaksimalkan penggunaan yang efisien,
menggunakan kembali dan mendaur ulangnya. Memberi perhatian serius kepada
masalah-masalah ini menjadi salah satu cara menangkal budaya ‘membuang’ yang
pada akhirnya akan mempengaruhi seluruh planet (LS 22)”.
Membuang sampah mungkin kelihatan sederhana. Memindahkan
sampah dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun, dampaknya tak sederhana. Di satu tempat bersih, namun di tempat lain, sampah
menumpuk. Ada yang terbebas dari sampah, namun ada yang tergenangi sampah. Ada
yang bersorak gembira karena tempatnya bersih, ada yang menangis menderita
karena tempatnya menjadi tempat pembuangan sampah atau sisa-sisa kegembiraan
dari sekelompok orang pemuja kesenangan dan egoisme.
Setiap kali kita membuang sampah, terutama sampah yang tak
mudah terurai dengan sembrono, adalah sama dengan melemparkan sampah pada
generasi mendatang. Di antara generasi mendatang itu mungkin ada anak-anak
kita, mungkin ada cucu-cucu kita. Karena ketika kita mati, sampah-sampah itu
belum terurai dan menjadi masalah baru bagi mereka, generasi penerus. Bahkan
bisa jadi, karena masifnya sampah-sampah yang tak mudah terurai itu, tanpa
sadar kita telah menggenangi mereka dengan sampah atau bahkan mewariskan
racun-racun berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka. Sementara mereka berjuang
mempertahankan kehidupannya dengan susah payah, kita sudah mati, setelah kita
meraup semua kenikmatan anugerah alam. Kita sudah mengambil dan menikmati alam ciptaan
sedemikian rupa, sementara anak-cucu dengan kondisi yang diliputi sampah dan
bahayanya, bergulat untuk mempertahankan kehidupan. Mungkin, karena terpaksa, mereka
hanya berprinsip, lebih baik makan makanan yang beracun karena sampah yang
berbahaya daripada tidak makan, seraya mengenang generasi-generasi tua yang sudah
mati dan sudah menikmati alam ciptaan ini. Kira-kira bagaimana perasaan mereka
terhadap generasi pendahulunya?
Dalam hal inilah sebenarnya, solidaritas kita sedang
ditantang. Solidaritas ini mencakup solidaritas segenerasi ataupun solidaritas
lintasgenerasi. Kita akan menghabiskan alam ciptaan ini hanya untuk sendiri,
atau mau berbagi kepada generasi penerus sesudah kita? Kita akan menikmati
anugerah alam sedemikian rupa, lalu membuang sampah-sampah plastik dan lalu
kemudian generasi-generasi berikutnya makan dan minum yang mengandung
mikroplastik atau nanoplastik?
Paus Fransiskus menegaskan dalam ensiklik Laudato Si, “konsep kesejahteraan umum
juga meluas ke generasi mendatang. Krisis ekonomi global telah menunjukkan sangat
jelas kerugian yang diakibatkan bila kita mengabaikan nasib kita bersama yang
juga menyangkut orang-orang yang datang sesudah kita. Kita tidak bisa lagi
berbicara tentang pembangunan berkelanjutan tanpa solidaritas antargenerasi.
(LS 159).”
Saat ini, mungkin kita masih bisa menghabiskan hari-hari kita
bersama anak-anak dan cucu-cucu kita, menghabiskan waktu bersama mereka,
memberikan hal-hal terbaik untuk mereka, namun, kita perlu menyadari, kehidupan
kita akan segera berlalu. Pemilik kehidupan selanjutnya adalah anak-anak dan
cucu-cucu kita. Setelah kita mengalami kebersamaan yang baik dengan anak-anak
dan cucu-cucu kita, apakah kita kemudian akan meninggalkan kesulitan bagi
mereka kelak karena kita memiliki kebiasaan yang buruk terkait relasi kita
dengan alam ciptaan, misal lebih sering membuang sampah plastik secara tak
bertanggung jawab? Tentu kita tak ingin
anak-anak dan cucu-cucu kita mengalami kesulitan dalam kehidupannya.
Namun, itu pilihan kita.
Di sinilah sebenarnya, kita ditantang untuk mewujudkan
keadilan antargenerasi secara konkret. Jika kita saat ini bisa menikmati
anugerah alam dengan sangat baik, tentu kita dipanggil untuk berbuat adil
kepada anak dan cucu kita. Bukan kelak, namun bentuk nyata keadilan itu sudah harus
dilakukan saat ini, ketika kita masih hidup.
Jelas, bahwa saat ini, kita perlu memperhatikan persoalan
sampah secara lebih serius. Memang itu tidak mudah, namun bukan berarti tidak
bisa. Saya kenal beberapa orang yang hidupnya sangat minim dengan sampah.
Mereka mencoba meluangkan waktu sebentar untuk memikirkan cara mengonsumsi. Dan
mereka menjatuhkan pilihan pada produk-produk yang minim sampah. Mereka
menghindari produk-produk yang dibalut dengan kemasan yang pada akhirnya hanya
menjadi sampah-sampah berbahaya ataupun sampah-sampah plastik.
Mereka dianggap aneh. Bahkan ada sebagian orang yang mencibir
dan menganggap tindakannya sebagai sesuatu yang menjijikkan karena tidak mengikuti
tren arus pasar dan konsumsi yang sedang berkembang. Namun, justru mereka
adalah penjaga-penjaga bumi ini dan penjamin kehidupan generasi mendatang.
Kita?
إرسال تعليق for "Sampah: Warisan untuk Generasi Mendatang?"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق