Melalui alam ciptaan di
sekitar, kita bisa menangkap pesan-pesan Tuhan. Di balik kedahsyatan ciptaan
dan fenomena yang terjadi, tersingkap kehebatan Sang Pencipta. Kita kerap
merasa amat kecil di hadapan pantai yang diterjang oleh ombak dahsyat setiap
saat. Suara deburan ombak yang berulang-ulang membuat bulu kuduk kita berdiri. Demikian
pula, kita merasa bukan siapa-siapa ketika berada di sebuah puncak gunung. Mata
kita menatap bentang alam di depan yang luas. Kita disuguhi pemandangan yang
begitu indah yang ditingkahi cahaya matahari yang baru terbit. Kita menangkap
pesona keindahan dan kengerian kekuatan alam yang begitu hebat. Lalu, kita
sadar bahwa di alam raya ini, kita hanyalah makhluk yang kecil.
Meski kita manusia adalah makhluk
yang kecil, namun diberi anugerah oleh Tuhan berupa akal budi dan hati. Dengan
anugerah itu, manusia diberi kepercayaan untuk memelihara alam. Meskipun
demikian, kita memelihara alam bukan untuk memuaskan hasrat manusia kita. Paus
Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’
mengatakan, “Kita bukan Allah. Bumi sudah ada sebelum kita dan telah diberikan
kepada kita. (LS 67). Manusia tinggal memelihara rumah dan taman bersama ini.
Dengan akal budi dan
hatinya, manusia pun menangkap hukum-hukum alam yang pada saatnya dipahami dan
disadari dalam menjalani hidup ini. Manusia pun sadar, manusia hidup mesti
mengikuti hukum-hukum alam yang berjalan. Barangsiapa menentang hukum alam,
maka dia sebenarnya sedang menentang alam yang mahadahsyat.
Akal budi dan hati
diberikan Allah pada manusia sebagai sarana untuk memelihara alam ciptaan.
Dalam hal ini, Allah sendiri ingin berbagi kekuasaan kepada manusia yang adalah
citra-Nya. Menurut Suster Henrika, FSGM, dalam buku Menyapa Bumi, Menyembah Hyang
Ilahi, menjadi citra Allah berarti memiliki hati yang meluapkan kasih dari hati
Allah. Hati Allah adalah hati yang mampu menembus masuk untuk membaca dan
merasa semua yang terhitung sebagai yang diadakan dan dicintai-nya, yakni
seluruh alam semesta serta segenap isinya.
Kekuasaan yang
dibagikan Allah pada manusia itu memiliki tanggung jawab. Maka, kekuasaan itu
tidak bisa dilakukan dengan sewenang-wenang. Dalam hal ini, manusia menjadi
mitra Allah mengusahakan kesejahteraan ciptaan.
Paus Fransiskus menandaskan, tanggung jawab terhadap
bumi milik Allah ini menyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan akal budi,
menghormati hukum alam dan keseimbangan yang lembut di antara makhluk-makhluk
di dunia ini, sebab “Dia memberi perintah, maka semuanya tercipta. Dia
mendirikan semuanya untuk seterusnya dan selamanya, dan memberi ketetapan yang
tidak dapat dilanggar” (Mazmur 148:5b-6) (LS 68).
Di sinilah sebenarnya kekuatan dan kedahsyatan Sang
Pencipta terlihat. Bahwa semua itu diselenggarakan oleh-Nya dengan sedemikian
rupa. Semua itu sungguh penuh pesona.
Manusia tidak akan merusak ciptaan ketika ia
mengalami keterpesonaan terhadap alam ciptaan ini. Dalam situasi itulah Sang
Pencipta dipandang sebagai yang mahaagung. Manusia pun sadar akan kekecilannya ketika melihat ciptaan-ciptaan-Nya
yang mengagumkan. Maka, kita pun digerakkan untuk melindungi ciptaan tersebut
dan hidup bersatu penuh dengan semangat persaudaraan. Sebaliknya, ketika kita
tidak bisa terpesona atau kagum dengan ciptaan-ciptaan, kita bisa-bisa justru
merusak ciptaan itu sedemikian rupa, mengambil sebanyak-banyaknya dan
serakus-rakusnya demi kepuasan kita. Ini seperti yang dikatakan Paus Fransiskus
dalam ensiklik Laudato Si’.
Jika kita memandang alam dan lingkungan tanpa
keterbukaan untuk kagum dan heran, jika kita tidak lagi berbicara dengan bahasa
persaudaraan dan keindahan dalam hubungan kita dengan dunia, kita akan bersikap
seperti tuan, konsumen, pengisap sumber daya, hingga tidak mampu menetapkan
batas-batas kebutuhan yang mendesak. Sebaliknya, jika kita merasa intim bersatu
dengan semua yang ada, maka kesahajaan dan kepedulian akan timbul secara spontan.
(LS 11)
Melalui
pikiran-perasaan, manusia pun memahami, bahwa bumi adalah Ibu. Sebab, bumilah
yang menyediakan segala sesuatu demi kehidupan semua makhluk di dalam dan di
atasnya. Bahkan manusia yang bisa melahirkan anak keturunannya pun hidup dari
bumi. Segala makanan yang dimakan para makhluk pun dihasilkan oleh bumi. Segala
makhluk di muka bumi ini hidup dalam jaminan Ibu bumi.
Bumi
yang selalu memberi itu menjadi inspirasi bahwa kehidupan akan berjalan baik
jika semua makhluk saling memberi atau berbagi. Hanya saja, makhluk yang bisa
memilih untuk tidak berbagi, bahkan lebih memilih untuk mengambil lebih dari
kebutuhannya adalah manusia. Jika hal ini dibiarkan, manusia yang semestinya
menjadi penjaga kehidupan, karena ia memang diberi kepercayaan menjadi mitra
Allah, berubah menjadi manusia perusak kehidupan.
Bumi
yang digambarkan seperti ibu itu bisa menjadi spirit manusia juga dalam
berelasi dengan alam ciptaan ini.
Suster
Henrica dalam buku Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi mengajak supaya manusia yang
secitra dengan Allah memiliki hati ibu dalam berelasi dengan ciptaan. Menurutnya,
menjadi citra Allah berarti menjadi tanda kehadiran Allah yang adalah kasih.
Kasih tanpa syarat digambarkan kasih seorang ibu bagi anaknya.
Maka,
panggilan manusia dalam relasi dengan alam secara keseluruhan adalah sebuah panggilan
untuk berhati ibu, yakni panggilan yang sadar siapa dirinya, peka menangkap
bahasa alam sebagai bahasa yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang berhati
ibu. Untuk dapat memiliki hati ibu, manusia akan sangat dipengaruhi bagaimana
memahami arti menjadi citra-Nya (hal. 122).
Berhati
ibu menjadi cara pandang, cara berelasi, dan cara berperilaku manusia terhadap
bumi dan segala makhluk di dalamnya.
Cara
pandang manusia yang salah tentang dirinya, tentang alam dan relasi antara
manusia dengan alam ataupun tempat manusia dalam keseluruhan alam semesta,
serta perilaku manusia yang salah itu menjadi akar krisis lingkungan.
Berhati
ibu memungkinkan manusia untuk memperbaiki cara hadirnya di muka bumi ini. Cara
hadir ini berkait erat dengan cara pandang dan cara berperilakunya di bumi ini.
Berhati ibu adalah hidup yang berbagi.
Uskup Agung Jakarta Mgr
I. Suharyo melalui Surat Gembala Hari
Bumi 2017 “Merawat Bumi–Menabur Damai Sejahtera” menandaskan makna berbagi. Semangat
berbagi itu bukan hanya berarti bahwa yang kaya membantu yang miskin. Dalam
semangat berbagi, tercermin kesadaran bahwa kita tidak bisa hidup sendiri.
Bahkan lebih dari itu, kita hidup saling tergantung. Yang satu menghidupi yang
lain.
Kesadaran ini tentu mengingatkan kita juga agar dalam
mengelola kekayaan bumi, kita mengingat sesama, termasuk generasi yang akan
datang, serta segala makhluk ciptaan yang ada di atas bumi ini. Dari dunia
biologi, kita belajar bagaimana setiap ciptaan Tuhan mempunyai perannya
masing-masing dan manusia mempunyai peranan yang menentukan. Jika manusia tidak
menjalankan tanggung jawabnya untuk memelihara bumi, pada akhirnya bumi akan
punah.
Memang, kehidupan
terjadi karena masing-masing ciptaan itu saling berbagi sesuai dengan kodrat
semestanya masing-masing. Dalam proses berbagi itu juga ada proses saling
menerima. Itulah kehidupan yang mestinya disadari.
Maka, berhati ibu dalam
mengarungi kehidupan ini menjadi penting dan harus dihidupi demi kesejahteraan
setiap makhluk.
إرسال تعليق for " Menjadi Mitra Sang Pencipta dengan Berhati Ibu"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق