Mungkin di antara kita
sudah pernah mendengar, melihat, atau membaca berita tentang kematian banyak ikan
akibat pencemaran minyak yang bocor hasil pengeboran minyak di laut. Mungkin, kita
juga pernah mendengar kematian ikan di sungai akibat pencemaran sungai yang
disebabkan oleh limbah pabrik yang dibuang ke laut. Sebagian di antara kita
juga pernah mendengar padi yang gagal dipanen karena sawahnya tergenang minyak
akibat bocornya saluran minyak. Dan kerusakan itu sengaja dibiarkan karena pihak-pihak
yang semestinya bertanggung jawab merasa tidak terbebani, toh dia merasa tidak
mendapat risiko kerugian dari semua itu.
Sekilas
peristiwa itu terkesan biasa, berdampak kecil. Namun, kalau mau ditelisik lebih
lanjut di balik peristiwa itu tersirat manusia yang gagal menghargai kehidupan
dirinya sendiri. Sengaja saya menulis gagal menghargai kehidupan dirinya
sendiri karena di sana sudah lenyap semangat menghargai kehidupan. Menghargai
kehidupan tidak bisa hanya ditujukan kepada salah satu pihak saja. Sebab,
setiap makhluk sebenarnya terajut dalam relasi kehidupan. Satu makhluk bisa
hidup dengan baik karena ia didukung oleh makhluk yang lainnya.
Boleh dikatakan, kehidupan adalah sebuah proses yang
memerlukan kerja sama banyak pihak. Kehidupan tidak mungkin bisa tunggal.
Sebab, satu kehidupan akan bergantung pada kehidupan lain. Terancamnya satu
kehidupan berarti terbukalah pintu kematian bagi makhluk lainnya. Manusia bisa
hidup karena adanya tumbuhan, hewan, lingkungan yang menyokong kehidupannya
baik berupa makanan, minuman, nutrisi, udara dan lain sebagainya.
Kehidupan boleh dikata juga sebagai persekutuan
yang saling memberi dan menerima. Kehidupan tak mungkin terjadi jika
masing-masing makhluk hanya menerima atau memberi. Kehidupan hanya mungkin
kalau anggota persekutuan itu bisa saling memberi dan menerima. Relasi atau hubungan itu harmonis. Jika ada
satu makhluk terganggu maka, yang lain pun akan terganggu.
Tumpahnya
minyak entah dari pengeboran minyak lepas pantai atau kebocoran dari kapal
tanker di lautan, rusaknya lingkungan hidup dan terancamnya keselamatan manusia
di sekitar kawasan pertambangan ataupun punahnya spesies karena perilaku buruk
manusia menandakan pengingkaran terhadap kehidupan. Inilah yang sebenarnya
disebut sebagai budaya kematian. Budaya ini entah dengan dalih apapun bahkan
demi kesejahteraan manusia pun kalau berujung pada terancamnya kerusakan,
kematian, bahkan kepunahan spesies tertentu, itu semua merupakan budaya
kematian.
Mengingat
kehidupan sebenarnya adalah sebuah persekutuan yang saling mendukung, memberi dan
menerima, maka cara pandang manusia harus berubah. Sudah saatnya menanggalkan pengakuan atau
klaim bahwa manusia adalah pusat kehidupan. Manusia bukanlah pusat kehidupan,
manusia ada di dalam kehidupan bersama makhluk-makhluk lainnya yang terlibat
dalam proses saling mendukung, memberi dan menerima demi keberlansungan
komunitas kehidupan itu sendiri. Maka,
hidup harmonis antara diri manusia, orang lain dan alam lingkungannya sungguh
dibutuhkan dan harus selalu diupayakan.
Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si menjadikan Santo Fransiskus
Asisi sebagai contoh tentang cara hadir dalam kehidupan ini. Dia
adalah mistikus dan peziarah yang hidup dalam kesederhanaan dan dalam harmoni yang indah dengan Allah,
dengan orang lain, dengan alam, dan dengan dirinya sendiri. Dia menunjukkan
kepada kita betapa tak terpisahkan ikatan antara kepedulian terhadap alam,
keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada masyarakat, dan kedamaian batin (LS
10).
Cara hadir yang ramah dan menyapa
semua makhluk kehidupan menihilkan nafsu mengeksploitasi terhadap makhluk lain.
Kehadiran makhluk lain tidak dilihat sebagai obyek ekonomi, tetapi mitra. Santo
Fransiskus malah lebih radikal lagi, menganggap makhluk lain sebagai saudara-saudari
karena berasal dari satu Pencipta yang sama.
Ketika
manusia mengandalkan bahasa parsial seperti bahasa perhitungan matematika dan
ekonomi dalam mengelola alam, Fransiskus Asisi
membantu kita untuk melihat bahwa ekologi yang integral membutuhkan keterbukaan
terhadap kategori-kategori yang melampaui bahasa matematika dan biologi, dan
membawa kita kepada hakikat manusia (LS 11).
Alam
ciptaan bukanlah entitas yang menjadi obyek eskploitasi, namun alam ciptaan
menjadi mitra kehidupan yang setara. Santo Fransiskus Asisi memberikan cara
berelasi yang setara dalam semangat penuh persaudaraan antara dirinya dengan
makhluk-makhluk non manusia. Tanggapannya terhadap
dunia di sekelilingnya jauh melebihi apresiasi intelektual atau perhitungan
ekonomi, karena baginya setiap makhluk adalah saudara-saudari yang bersatu dengannya
oleh ikatan kasih sayang. Itu sebabnya, ia merasa terpanggil untuk melindungi semua
yang ada. (LS 11).
Cara hadir manusia
melalui aktivitas ekonominya tidak lagi mencerminkan cara hadir yang ramah pada
alam ciptaan. Melalui berbagai bentuk kegiatan ekonominya, manusia berusaha
mengeruk kekayaan alam dengan rakus bahkan seraya mengeruk kekayaan alam,
manusia sekaligus mengeksploitasi sesama manusianya untuk membantu mengeruk
kekayaan alamnya. Ujungnya
dampak dari pengerukan alam yang rakus itu juga mengenai manusia. Itu cara
manusia dalam berproduksi, yakni mengambil kekayaan alam untuk diubah menjadi
barang-barang yang memiliki nilai ekonomi.
Demikian
pula pada cara mengonsumsi, manusia entah karena budaya instan atau karena
tidak bisa memaknai cara hadirnya di alam ciptaan ini, manusia dengan
serampangan mengonsumsi barang-barang yang sebenarnya dipicu bukan oleh kebutuhannya
tetapi keinginannya, baik karena manipulasi citra produsen maupun karena ambisi
mengejar kenikmatan.
Manusia
memang butuh cara pandang baru terhadap alam ciptaan. Alam ciptaan tidak lagi
dipandang sebagai instrumen kehidupan manusia. Namun, alam ciptaan adalah sesama
warga kehidupan dengan manusia yang keberadaannya tidak bisa saling meniadakan,
namun saling mendukung kehidupan antarsatu dengan yang lainnya.
Paus
Fransiskus menekankan hal tersebut. “Jika kita
memandang alam dan lingkungan tanpa keterbukaan untuk kagum dan heran, jika
kita tidak lagi berbicara dengan bahasa persaudaraan dan keindahan dalam
hubungan kita dengan dunia, kita akan bersikap seperti tuan, konsumen, pengisap
sumber daya, hingga tidak mampu menetapkan batas-batas kebutuhan yang mendesak.
Sebaliknya, jika kita merasa intim bersatu dengan semua yang ada, maka
kesahajaan dan kepedulian akan timbul secara spontan. Kemiskinan dan
kesederhanaan dari Santo Fransiskus bukanlah asketisme yang hanya lahiriah,
tetapi sesuatu yang jauh lebih radikal: ia menolak mengubah realitas menjadi
obyek yang hanya untuk digunakan dan dikendalikan.” (LS 11).
Cara
pandang yang menganggap di luar diri kita hanyalah instrumen pemuas kebutuhan
berpotensi melahirkan eksploitasi. Tidak
hanya dengan alam ciptaan non manusia, terhadap sesama manusia pun terjadi eksploitasi.
Perdagangan manusia (perempuan dan anak), eksploitasi buruh murah demi mengejar
keuntungan perusahaan, eksploitasi pekerja anak menjadi gambaran bahwa manusia
memiliki cara pandang di luar dirinya-selain dirinya hanya sebagai instrumen
pemuas kebutuhan.
Eksploitasi melahirkan penindasan
dan ketidakadilan. Tidak ada kesetaraan. Ada yang diuntungkan dan ada yang
dirugikan. Ada yang dimuliakan dan ada yang dihancurkan. Manusia semakin kaya,
alam ciptaan semakin hancur. Manusia semakin kaya, manusia lainnya semakin
tidak bermartabat karena dieksploitasi.
Dengan hancurnya relasi manusia
dengan alam ciptaan, sebenarnya pelan atau cepat, itu semua mengarah pada
kehancuran, bahkan tidak hanya individu tapi komunitas kehidupan. Kehancuran
satu individu menjadi kehancuran massal. Kesadaran (penyadaran) bahwa manusia
adalah makhluk yang bergantung kepada makhluk lain menjadi penting sekaligus
mendesak dan menjadi pekerjaan rumah bersama demi terbentuknya persekutuan
kehidupan.
إرسال تعليق for " Persekutuan Kehidupan"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق