Ketika kita berada di suatu
tempat misalnya hutan, kita kadang terpana akan suasana yang ada di sekitar
kita. Rasa takjub menyergap hati kita terlebih ketika kita sadar bahwa semua
yang ada di seputaran itu berasal dari Pencipta yang sama. Kita takjub, betapa
indahnya makhluk-makhluk itu hadir dengan unik. Mereka dicipta secara berbeda.
Tanpa sadar, bahwa sebenarnya, di antara makhluk-makhluk itu, seperti
pepohonan, hewan, baik besar maupun kecil berada dalam komunitas kehidupan.
Mereka pun berada dalam situasi saling mendukung dalam kehidupan itu.
Kita, para manusia pun
berada dalam komunitas kehidupan. Kita hidup dalam melimpahnya udara yang
membuat kita bernafas. Kita makan dari tumbuhan maupun hewan yang ada di alam
ini. Manusia minum dari air yang tersedia di bumi. Semua sebenarnya berada
dalam situasi mutualis, saling mendukung dalam kehidupan.
Namun, dalam situasi
itu, karena pemikirannya yang makin maju, manusia membuat teknologi yang
mempermudah hidupnya. Dengan teknologi yang makin maju, manusia bisa semakin
mudah mengambil segala sesuatunya dari alam. Dengan alasan perolehan keuntungan
ekonomi tinggi, melalui kemajuan teknologinya, manusia mengambil lebih banyak,
bahkan terlalu banyak. Dulu, ketika teknologi masih sederhana, manusia hanya
bisa mengambil seperlunya saja. Dulu, orang
berburu binatang hanya untuk dimakan hari itu juga. Sekarang dengan
adanya teknologi pengawet makanan, misalnya, orang bisa mengambil ikan-ikan
dilaut dengan sangat banyak. Untuk bidang lain, manusia tampak lebih rakus
lagi. Sekarang manusia membuka tambang dengan mengambil kekayaan alam dari
perut bumi, amat banyak.
Akibat dari itulah
terjadi kerusakan alam. Relasi menjadi
rusak. Yang semula, antar makhluk bisa saling mendukung, akibat kerusakan alam
itu, masing-masing makhluk kehilangan kemampuannya untuk saling mendukung dalam
kehidupan. Bagaimana mungkin bisa saling mendukung antar individu makhluk
ketika salah satu mata rantai kehidupan rusak? Padahal, dalam kehidupannya, di
samping makhluk hidup itu mempertahankan dirinya, bersamaan dengan itu dia juga
menghidupi makhluk yang lainnya, langsung ataupun tidak.
Paus Fransiskus dalam
ensiklik terbarunya LAUDATO SI’ tentang
Kepedulian pada Rumah Bersama menulis situasi yang terjadi pada bumi saat ini
yakni polusi dan perubahan iklim; persoalan
air; hilangnya keanekaragaman hayati; penurunan kualitas kehidupan manusia dan
kerusakan masyarakat; ketimpangan global; respon yang lemah; beragam pendapat
tentang solusi.
Rusaknya alam,
kebanyakan didominasi oleh perilaku manusia yang masih menjadikan dirinya
sebagai pusat kehidupan sehingga makhluk yang lain dianggap hanya untuk
memenuhi kebutuhan manusia (antroposentrisme). Sementara itu, kalau mau rendah
hati, manusia hanyalah bagian dari alam, yang hanya bisa hidup ketika bersama
makhluk yang lain. Dan memang sepertinya takdir makhluk ciptaan Tuhan adalah
selalu bersama dengan makhluk ciptaan yang lain. Menariknya, mereka semua
dibuat saling bergantung dalam melangsungkan kehidupannya.
Hal ini ditegaskan Thomas
Berry dalam Kosmologi Kristen, dunia ciptaan membentuk komunitas tunggal dengan
bumi. Begitu dekatnya manusia dengan setiap makhluk lain di planet, sehingga
kita perlu mengatakan bahwa komunitas manusia dan alam akan menuju masa depan
sebagai satu komunitas tunggal (127).
Manusia selama ini
menjadi subyek perusak relasi antar warga komunitas kehidupan. Pada akhirnya, tak hanya manusia yang menanggung
risiko rusaknya relasi itu. Makhluk-makhluk yang lain pun harus menderita. Rusaknya
satu komponen kehidupan, mengancam rusaknya sebuah komunitas kehidupan.
Yang membutuhkan air
tak hanya manusia, hewan dan tumbuhan pun membutuhkannya. Dengan susahnya hewan
atau tumbuhan mendapat air, dengan sendirinya, manusia pun terancam tidak bisa
mendapatkan makanan dari tumbuhan dan hewan karena kehidupan kedua jenis
makhluk tersebut pun terancam.
Hewan dan tumbuhan
hanya menjalankan instingnya dalam mengkonsumsi alam ini. Berbeda dengan
manusia yang karena keinginannya, pemikirannya, bukan kebutuhannya, mengambil
lebih banyak. Bahkan yang diambilnya
kemudian dikumpulkan dalam tabungan kekayaannya. Tak hanya merusak relasi
manusia dengan alam. Pada gilirannya manusia serakah pun harus merusak relasi
manusia dengan sesama manusia yang lainnya. Maka ada si penguasa dan ada si
lemah. Si penguasa dengan berbagai kekuatan yang dimilikinya bisa merampok
kekayaan alam habis-habisan. Sementara si lemah adalah pihak-pihak yang
menderita karena tempat mereka menggantungkan hidupnya rusak akibat ekspolitasi
si penguasa demi memenihi hasrat kerakusannya.
Saat ini bumi sudah
sedemikian rusak. Pemanasan global meningkat, kerusakan tanah, air dan udara
makin hebat. Dalam situasi itu orang-orang miskin terancam. Orang-orang kaya masih
saja bisa mempertahankan dirinya. Mereka masih bisa memilih tinggal di kawasan
aman. Mereka tidak akan tinggal di kawasan tempat mereka mengeksploitasi alam
yang kemudian rusak. Atau mereka pun tak mungkin bermimpi tinggal di
wilayah-wilayah terdampak kerusakan alam. Mereka sudah berpikir dan mencari
trik aman, bagaimana cara mengambil kekayaan alam meskipun itu merusak, namun,
mereka tidak terkena dampak berbahayanya. Biar orang lain yang terkena dampak
itu. Inilah ketidakadilan. Ketika yang lain mengambil terlalu banyak dari alam.
Yang lain bahkan tak bisa mengambil apapun karena semua sudah rusak. Ketika
yang lain selamat dari bahaya bencana ekologis, yang lain lagi harus menderita
bencana ekologis.
Kerusakan lingkungan
menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Tanah tak lagi subur. Air mengering. Sawah
dan ladang tak bisa produktif. Terjadilah kelangkaan pangan. Orang jatuh pada
kemiskinan. Dalam situasi kemiskinan itu, konflik dan kekerasan mudah terjadi
demi untuk mendapatkan sesuap rejeki. Kerakusan terhadap alam membuahkan
bencana, konflik dan kemiskinan.
Ketika alam rusak
inilah, manusia tak terlambat untuk membenahi diri. Manusia dipanggil untuk
menyadari bahwa dirinya hanyalah bagian dari alam yang bergantung pada alam
untuk mempertahankan kehidupannya. Bencana ekologis mestinya bisa menyadarkan
manusia, bahwa mengambil dengan serakah dari alam hanya akan membuahkan
bencana. Maka dari itu, manusia perlu menyadari diri bahwa dia hanyalah makhluk
ekologis yang sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada alam.
Paus Fransiskus dalam enskiliknya
menawarkan konsep ekologi integral yang di dalamnya bisa menyangkut beberapa
aspek krisis global, penghormatan pada manusia maupun dimensi sosial. “Since everything is closely interrelated,
and today’s problems call for a vision capable of taking into account every
aspect of the global crisis, I suggest that we now consider some elements of
an integral ecology, one which
clearly respects its human and social dimensions (no. 137). Bapa Suci
mengingatkan perlunya keterkaitan ekologi dengan lingkungan,
ekonomi dan sosial; budaya; kehidupan sehari-hari; prinsip kepentingan umum; dan
keadilan antar generasi).
إرسال تعليق for "Dalam Kehidupan, Semua Saling Terkait"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق