Banyak orang berseru tentang
bahaya narkoba bagi kehidupan manusia. Namun sebenarnya, bukan hanya narkoba, ancaman
terhadap kehidupan manusia begitu dekat dan terjadi sehari-hari, bahkan saat
makan. Mengapa? Sebab, makanan yang dimakan manusia itu tak semuanya aman bagi
kehidupan manusia. Jangankan bicara bernutrisi atau tidak, aman atau berbahaya
pun, itu semua masih tanda tanya. Sedangkan untuk narkoba, hanya orang-orang
tertentu yang mengonsumsinya. Namun, penulis sepakat, keduanya, baik narkoba
maupun makanan tak sehat sama-sama berbahaya bagi hidup manusia.
Mengapa bicara makanan
sehat itu penting? Karena setiap manusia pasti membutuhkan makanan untuk
menyelenggarakan hidupnya. Supaya hidupnya lebih baik, maka ia harus makan
makanan sehat. Bahkan pecandu narkoba pun masih membutuhkan makanan. Tentu
menjadi hal yang amat menyedihkan, jika pengguna narkoba hidupnya lebih
terancam lagi mengingat kebiasaan mengonsumsi narkoba yang jelas-jelas
mengancam hidupnya ditambah dengan makanan yang tak sehat. Risiko bahayanya
menjadi berlipat. Jangan sampai makanan yang untuk memperpanjang kehidupan
justru mendekatkan manusia pada kematian.
Makanan tak sehat
adalah makanan yang dibuat dari bahan-bahan yang jelas-jelas berbahaya bagi
kehidupan manusia, atau dibuat dengan cara yang berbahaya atau bahkan diambil
atau dipanen dari pertanian atau peternakan yang berbahaya bagi kehidupan.
Perlu kita sadari,
bahwa makanan yang kita makan berpotensi bahaya jika kita tak hati-hati dalam
memilah, memilih, dan mengolahnya. Banyak perusahaan yang mencampur bahan-bahan
sintetis ke dalam makanan-makanan olahan yang belum tentu aman bagi tubuh
misalnya perasa atau pewarna. Demikian pula, produk-produk pertanian pun tak
semuanya dikelola dengan bahan-bahan yang aman bagi tubuh. Itu semuanya
sebenarnya bisa menjadi ancaman.
Pemerintah pun belum
tentu mampu melindungi rakyatnya dari ancaman bahaya-bahaya itu. Maka, baik kalau
kita semua cerdas dalam mengonsumsi produk-produk makanan. Salah memilih dan
mengonsumsi produk tersebut, ancaman kehidupan berada di depan mata.
Meminjam istilah yang
pernah dilontarkan Santo Yohanes Paulus II tentang budaya kematian, sebenarnya
masyarakat dan dunia kita sedang dirundung budaya kematian itu. Budaya kematian
itu tak hanya muncul dalam pembunuhan, kekerasan, perdagangan senjata, trafficking, bahaya narkotika/obat bius,
namun juga muncul dalam kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup
bisa berimbas pada makanan yang kita santap sehari-hari.
Budaya kematian, sejak dari
cara hingga tujuannya bermuara pada kematian. Kehidupan sebagai anugerah Tuhan
yang mestinya dijaga dan dihormati tak mendapat tempat dalam budaya kematian. Di
balik budaya kematian tersembunyi hasrat manusia yang egois dan sibuk
memperkaya diri, bahkan karena ideologi tertentu, orang berani hidup dalam
budaya kematian. Budaya kematian pun tak terkecuali merambah pada aspek makanan
yang dikonsumsi manusia.
Perkara makanan, di
pasaran beredar makanan yang tak sehat dan berbahaya bagi tubuh manusia. Industrialisasi
olahan makanan yang bernafaskan nafsu mencari keuntungan membuka celah untuk
ini. Maka, produsen makanan tak sedikit yang menyuguhkan “racun” bagi manusia. Demikian
pula, tak sedikit produk pertanian yang dihasilkan dari cara pertanian yang
mengabaikan keselamatan (manusia) dan kelestarian alam.
Sebenarnya, kita,
manusia berada dalam jaring-jaring kehidupan. Setiap yang kita lakukan
berdampak pada lingkungan di sekitar kita. Pun dalam soal menyediakan makanan
sejak dari pertanian atau peternakannya. Jika tidak hati-hati semua itu akan
jatuh hanya pada pencarian keuntungan semata, tak menghiraukan keselamatan
manusia maupun alam lingkungan yang selama ini mendukungnya. Contohnya adalah
pertanian yang memakai pestisida sintetis yang berbahaya bagi manusia maupun komunitas
kehidupan di sekitarnya.
Dalam hal ini, sebagai
manusia yang adalah warga kehidupan kita dipanggil untuk menjadi pengusung
budaya kehidupan. Makanan yang kita makan akan terkait dengan budaya kehidupan
itu. Sebab dari makanan, kita akan terkait dengan alam yang selama ini telah
mendukung kehidupan manusia.
Budaya kehidupan
terkait dengan makanan bisa dimulai dari pertanian organik yang menggantungkan
sepenuhnya pada alam. Pupuk dan pestisida pun diolah secara organik dari alam,
tanpa menggunakan bahan-bahan sintetis yang berbahaya. Petani sebagai produsen
bahan-bahan pangan dipanggil untuk menjadi pengusung budaya kehidupan, maka
tibalah saatnya petani beralih ke sistem pertanian organik. Sebenarnya, pertanian
ini memang sudah lama dihidupi oleh nenek moyang kita namun akibat pengaruh
revolusi hijau, banyak petani yang beralih untuk memakai pupuk dan pestisida
sintetis yang berbahaya baik bagi manusia maupun lingkungan. Pupuk dan
pestisida sintetis berbahaya bagi tanah maupun makhluk hidup penunjang
kehidupan.
Ada keterkaitan antara
manusia dengan tanah yang dijadikan sebagai media pertanian. Keterkaitan itu
tidak bisa dipisahkan. Y. Wartaya Winangun, SJ dalam Tanah Sumber Nilai Hidup menulis,
sebagaimana tanah telah memberikan kehidupan pada manusia, demikian manusia
juga perlu menghidupkan tanah (hal. 82). Di sini relasi yang terjadi adalah
relasi yang saling mendukung kehidupan. Budaya kehidupan ini terjadi dalam
situasi saling mendukung yang dampaknya sampai pada produktivitas makanan
sehat. Di sinilah kita mulai sehat sejak menanam.
Setelah dipanen dari
pertanian, produk pertanian diolah sedemikian rupa. Sayangnya, tak jarang
industri pengolah makanan mengolah makanan tersebut menjadi pangan yang tak sehat
dan aman. Alih-alih membuat makanan menjadi menarik dan bercita rasa menarik,
yang terjadi adalah produsen makanan memakai bahan-bahan yang berbahaya bagi
kesehatan manusia. Inilah budaya kematian demi meraup kepentingan ekonomi.
Selain itu, makanan-makanan olahan pun tak
sedikit yang memakai pembungkus yang tak ramah lingkungan. Kondisi makin parah
karena masyarakat konsumen juga tak bisa mengelola sampah bekas bungkus makanan
dengan baik. Sampah dibuang begitu saja di tempat-tempat yang tak semestinya. Akibatnya
pembungkus-pembungkus yang telah menjadi sampah itu tak terurai dengan baik dan
mencemari tanah. Semestinya
makanan-makanan ini diolah dengan mempertahankan tingkat kelayakan dan keamanan
bagi konsumen dan aman bagi lingkungan. Di sinilah kita mulai sehat sejak
mengolah makanan. Kita perlu cerdas dalam mengonsumsi makanan, apakah itu sehat
untuk manusia dan apakah (sampah pembungkusnya) ramah pada alam ini? Mungkin
ada orang berkata, ”Makan saja harus berpikir sedemikian sulit?” Demi
keselamatan nyawa kita dan kelestarian alam sebagai ungkapan syukur dan bakti
kita pada Tuhan, kita perlu sedikir repot menganalisa baik buruknya cara kita
mengonsumsi.
Kita yang berada dalam
dimensi ruang (tempat) dan waktu dipanggil untuk memaknai ruang hidup kita
sebagai altar dan waktu kita sebagai waktu ilahi yang dipersembahkan pada
Tuhan. Hidup dihadirkan dalam kesatuan antara Sang Pencipta dan Pemelihara
dengan ciptaan-ciptaan-Nya.
Santo Fransiskus Assisi
menyakini bahwa dunia ini adalah altar untuk memuji-Nya. Maka, di segala
penjuru dunia ini, manusia diajak untuk
selalu memuji-Nya bersama ciptaan-ciptaan lainnya. Jika dunia menjadi altar,
maka semua hal yang dilakukan di dunia ini merupakan wujud bakti para makhluk
kepada Sang Khalik.
Jika demikian,
semestinya, budaya kematian tidak mendapat tempat di dunia ini. Menanam,
memelihara kehidupan, membuat dan menjaga antar makhluk, saling mendukung dalam
kehidupan menjadi tugas para pengusung budaya kehidupan. Dalam hal makan,
memproduksi makanan pun terarah pada budaya kehidupan.
إرسال تعليق for "Budaya Kehidupan"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق