Kepemimpinan yang
berkembang selama ini menampakkan gejala kepemimpinan yang terlalu parsial, hanya
memperhatikan aspek manusia. Sedangkan aspek non manusia seperti lingkungan
seakan dianggap sebagai aspek yang tidak penting. Dari hal itulah terungkap
cara pandang pemimpin yang masih menganut paham antroposentrisme, yakni cara
pandang yang menyatakan bahwa manusia adalah pusat dari segalanya. Sedangkan
alam atau lingkungan hanyalah instrumen pemuas kebutuhan manusia belaka.
Padahal manusia tak
akan pernah bisa hidup tanpa lingkungan di sekitarnya. Sementara itu lingkungan
alam bisa hidup tanpa manusia. Dalam arti itu, manusia sebenarnya adalah
makhluk ekologis, yakni makhluk yang senantiasa hidup dan menggantungkan
hidupnya pada lingkungannya dan memberi pengaruh pada lingkungannya, positif
maupun negatif.
Pemimpin selama ini
kental berbicara hanya pada aspek pembangunan kesejahteraan manusia yang
biasanya berorientasi pada kesejahteraan ekonomi. Padahal kesejahteraan ekonomi
jika tak hati-hati kerap kali menabrak kelestarian alam/lingkungan. Orang
berlomba-lomba mengeruk kekayaan alam hingga akhirnya merusak alam demi
keuntungan ekonomi. Banyak orang berlomba mendirikan industri, namun demi keuntungan
ekonomi yang menggunung, mereka abai pada keselamatan lingkungan.
Potret abainya pemimpin
pada lingkungan terlihat pada deforestasi hutan yang makin luas, konversi lahan
hutan menjadi lahan perkebunan yang masif, dan pembukaan tambang yang
berpotensi merusak lingkungan bertambah. Para caleg dalam masa kampanye lalu pun
jarang yang menyuarakan isu lingkungan. Walhi mencatat hanya 7 persen caleg
yang pro lingkungan. Padahal lingkungan yang memburuk, memperburuk makhluk yang
bersandar hidup pada lingkungan tersebut.
Dampak kerusakan
lingkungan jelas-jelas merugikan manusia itu sendiri. Segala keuntungan ekonomi
yang berlimpah tak ada artinya jika alam
menjadi rusak akibat risiko ekonomi yang membahayakan lingkungan. Ekonomi itu
pun tak berkelanjutan.
Sadar akan dampak buruk itu, pemerintah RI telah berusaha
menerapkan sistem pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah
upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan
ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup
serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan (UU no 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 ayat 3). Namun, semua itu jauh panggang
dari api.
Menurut A. Sonny Keraf (2010), pembangunan
berkelanjutan masih sekadar menjadi sebuah slogan belaka. Pembangunan ekonomi
dan kemajuan ekonomi tetap menjadi pertimbangan utama. Dan untuk itu apa pun
ditempuh, termasuk dengan mengorbankan kepentingan lingkungan hidup.
Menuju
kepada kepemimpinan ekologis
Meskipun terseok-seok, kelestarian
alam harus terus menerus diperjuangkan. Karena dalam kelestarian alam itu,
martabat manusia sungguh dihargai. Dengan demikian, sebenarnya ibarat dua sisi
dalam sekeping mata uang, dalam melestarikan alam terjadi proses pelestarian alam dan sekaligus mengangkat derajat martabat
manusia. Dalam hal inilah sebenarnya terjadi kemanusiaan yang beradab.
Kelestarian alam
menandakan keselamatan holistik, manusia maupun non manusia, biotik maupun
abiotik, yang saling memengaruhi dalam sebuah rantai makanan maupun jaring-jaring
kehidupan yang saling mendukung. Punahnya satu spesies merupakan ancaman bagi
punahnya spesies lainnya dalam urutan rantai makanan maupun jarring-jaring
kehidupan. Sebaliknya, lestarinya spesies adalah lestarinya seluruh spesies
yang berada dalam sistem tersebut.
Hal ini semestinya
disadari oleh calon maupun pemimpin dalam memimpin sebuah Negara yang di
dalamnya terdiri dari rakyat (manusia) dan segala potensi alam di dalamnya.
Semua semestinya terintegrasi dalam sebuah rengkuhan kebijakan politik yang
berujung pada kelestarian dan keadilan semua makhluk yang berdasar pada jaring-jaring
kehidupan.
Kepemimpinan ekologis
merupakan jawaban akan kelestarian dan keadilan seluruh makhluk dan
lingkungannya. Kepemimpinan Ekologis adalah kepemimpinan yang terintegrasi dari
manusia sampai pada lingkungan biotik dan abiotik. Lingkungan biotik adalah
semua yang memiliki nyawa seperti manusia, hewan maupun tumbuhan, bahkan
mikroorganisme. Sedangkan lingkungan abiotik adalah semua yang tak memiliki
nyawa seperti air, tanah, udara, cahaya, kelembaban.
Keraf meminjam teori Arne
Naess yang dianggap lebih maju daripada pembangunan berkelanjutan yang
mengalami kegagalan, yakni keberlanjutan ekologi yang luas. Kepemimpinan
ekologis semestinya menerapkan keberlanjutan ekologi yang luas. Dalam hal ini, keberlanjutan
ekologi yang luas, menurut Keraf, terlihat ketika keberlanjutan ekologi harus
menjadi tolok ukur dasar bagi keberhasilan kebijakan pembangunan, khususnya,
dan termasuk pembangunan ekonomi.
Selanjutnya,
kepemimpinan ekologis adalah kepemimpinan yang integral. Tak hanya muncul pada
produk kebijakan nasional, namun hal itu juga menjadi habitus pribadi pemimpin.
Tak hanya menjaga kawasan hutan supaya tidak digunduli, pemimpin itu juga harus
ugahari atau sederhana. Ia selalu meminum habis air di gelasnya dan tak
meninggalkan sisa makanan di piringnya.
Pemimpin ekologis mesti
mewujud dalam habitus hidupnya yang makin ekologis, yakni pada cara pandang,
cara pikir, cara merasa, maupun cara bertindaknya baik bagi dirinya maupun pada
yang dipimpinnya. Dan semua itu juga dimanifestasikan dalam setiap
kebijakannya.
إرسال تعليق for "Kepemimpinan Ekologis"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق