Taman Bungkul Surabaya
rusak akibat acara pembagian es krim gratis, Minggu, 11 Mei 2014. Ribuan orang
datang merangsek taman itu untuk mendapatkan es krim gratis. Tanaman-tanaman
rusak karena terinjak-injak. Sejumlah kerusakan lain juga terjadi pada taman
yang telah dinobatkan sebagai taman terbaik se-Asia oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa di Jepang, 26 November 2013 lalu. Papan peringatan larangan membuang
sampah roboh, tanaman layu dan rata dengan tanah, serta sampah berserakan di
mana-mana.,
Taman tersebut awalnya
merupakan lahan kumuh yang kemudian diubah menjadi taman yang indah. Di tempat
itulah warga kota bisa meluangkan waktunya untuk berekreasi dan melepas rasa
lelah dan suntuk untuk bersantai sejenak. Sejumlah fasilitas pun dibangun
seperti taman bermain anak, jalur jogging, tempat bermain skateboard, tempat
pertunjukan seni, dan akses internet nirkabel. Pohon-pohon pelindung pun
ditanam di tempat tersebut untuk menambah hawa sejuk.
Menurut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Taman Bungkul memadukan
pelestarian budaya dan kebutuhan taman kota masa kini. Semua warga kota, kata
Risma, bisa memanfaatkan fasilitas yang ada secara gratis. "Taman Bungkul
memang saya konsep untuk bertemunya semua warga kota. Tidak ada sekat untuk si
kaya dan si miskin, besar kecil, putih hitam," ujar dia (http://www.tempo.co/read/news/2013/11/17/058530233/Taman-Bungkul-Surabaya-Raih-Penghargaan-Dunia). Tentu, Taman Bungkul juga menjadi konservasi
alam di perkotaan yang tercemar berbagai emisi.
Adam dan Hawa
Apa yang bisa dipelajari dari Taman
Bungkul yang rusak? Sekilas terlihat dari peristiwa itu adalah egoisme manusia.
Dengan menuruti nafsu egoisme yang kapitalistik, pihak penyelenggara nekat menggunakan taman itu yang sebenarnya tidak
diijinkan oleh pemerintah kota setempat. Demikian pula sejumlah masyarakat,
demi untuk mendapatkan es krim gratis, mereka dengan spontan langsung merangsek
ke taman itu tanpa berpikir panjang bahwa akibat kelakuan mereka, taman rusak.
Dalih meraih keuntungan ekonomi dan
mengejar kepuasan jika tidak dilakukan dengan beretika akan merugikan banyak
pihak. Egoisme manusia zaman sekarang juga mengancam kelestarian alam. Terbukti,
demi sebuah es krim, taman pun rusak. Padahal, masyarakat semestinya memelihara
taman itu, karena berkat adanya taman itu, manusia pun bisa membuat hidupnya
lebih baik karena di sana bisa didapat udara yang bersih dan lingkungan yang
kondusif untuk kembali memaknai hidup lebih baik dengan berekreasi.
Sampai
hari ini, belum ada pabrik oksigen yang bisa memproduksi oksigen dalam skala
besar sehingga manusia dan makhluk hidup lainnya bisa bernafas dengan gratis
dan leluasa.
Dalam narasi
Kitab Kejadian, Adam dan Hawa pun menjadi korban keegoisan atas bujuk rayu
ular. Adam dan Hawa yang sebelumnya diberi mandat untuk mengusahakan dan
menjaga Taman Eden terbujuk oleh ular.
Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala
binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada
perempuan itu: "Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini
jangan kamu makan buahnya, bukan?" Lalu sahut perempuan itu kepada ular
itu: "Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, tetapi tentang
buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan
ataupun raba buah itu, nanti kamu mati." Tetapi ular itu berkata kepada
perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui,
bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi
seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat." (Kej 3,1-5).
Gambaran
cerita itu sebenarnya menggambarkan sebuah keegoisan dan kenekatan. Sudah jelas-jelas ada larangan
untuk memakan buah terlarang, namun manusia karena keegoisannya nekad mengambil
dan memakan buah itu.
Rusaknya
alam ciptaan ini tak jarang juga karena keegoisan manusia dan kenekatan. Keegoisan mengalahkan bela rasa
pada semesta yang jika dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab akan
mengalami ketidakseimbangan ekosistem. Ketidakseimbangan itu bisa menimbulkan
bencana bagi makhluk-makhluk yang hidup dalam ekosistem tersebut.
Manusia
yang egois tetap menerjang, nekad melakukan hal-hal yang sebenarnya dilarang. Terjangan
kenekatan
itulah yang membuat rusak sistem yang sudah berlangsung dengan baik. Egoisme
dan kenekatan
melanggar larangan itulah yang menyebabkan rusaknya relasi.
Menuruti egoisme dan nekat melakukan kerusakan hanya karena
iming-iming pemuasan diri, membuat rusak relasi antara manusia dengan ciptaan,
bahkan antara manusia dengan Sang Pencipta. TUHAN Allah mengusir dia dari taman
Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil (Kej 3,23). Relasi antara walikota Surabaya dengan pihak
produsen es krim pun rusak. Demikian juga antar masyarakat, relasi di antara
mereka rusak, antara penjaga dan pencinta taman Bungkul dengan perusak taman
Bungkul.
Dengan menjaga taman ciptaan Tuhan
sebenarnya manusia menjaga keselamatan dirinya. Karena pada dasarnya ciptaan
diciptakan untuk saling mendukung kehidupan komunitas kehidupan itu sendiri. Tidak
ada makhluk yang bisa mandiri. Semua saling terhubung. Bahkan sampah dari suatu
makhluk menjadi makanan bagi makhluk lainnya untuk menghasilkan energi baru.
Sebenarnya begitu sederhananya
hidup. Saling memberi, saling menerima sesuai porsi, tidak lebih, tidak kurang.
Namun, manusialah yang kerap terlalu serakah mengambil melebihi porsinya. Manusialah
yang dengan budi dan dayanya merekayasa sedemikian rupa produk yang justru
menimbulkan kerusakan hanya untuk memenuhi pemuasan diri maupun gengsi yang
hanya berorientasi pada kesuksesan dirinya, bukan kesuksesan bersama
antarmakhluk yang sebenarnya hidup dalam jalinan mutualisme.
Dalam urutan ciptaan, manusia
sebenarnya adalah adik bungsu dari kakak-kakak ciptaan sebelumnya. Sebagai yang
bungsu, sebenarnya dia bisa hidup karena ada yang hidup lebih dulu sebelumnya. Bahkan
di banyak budaya, bumi bukan lagi
sebagai kakak atau saudara tua tetapi ibu yang memberi hidup. Maka, melalui
budayanya, manusia sangat menghormati bumi karena bumilah yang menjadi tempat
hidup manusia dan menjadi tempat hidup tumbuh-tumbuhan dan hewan yang menjadi makanan
manusia.
Dengan menyadari bahwa manusia hanya
bisa hidup dari bumi dan ciptaan lain, manusia semestinya menjaga relasi yang
baik dengan ciptaan lainnya. Karena pada dasarnya menjaga ciptaan lainnya juga
menjaga diri manusia sendiri.
Komunitas Sedulur Sikep sadar benar
bahwa mereka hidup bergantung pada alam ciptaan. Maka, ketika kawasan hutan di pegunungan
Kendeng dijarah penebang kayu liar, mereka mengadu pada Gubernur Jawa Tengah. Dampak
perusakan hutan itu mengancam para petani karena merusak mata air. Padahal mata
air sangat penting bagi warga Sedulur Sikep yang bermata pencaharian sebagai
petani.
Bagi warga Sedulur Sikep, mata air dan hutan sangat
penting sebagai sumber penghidupan. Sumber hidup tidak hanya bagi warga yang
kini hidup tenteram, tetapi juga warisan paling berharga bagi anak-cucu kelak (Kompas,
22 Mei 2014).
Hanya manusia sombonglah yang merusak alam ciptaan. Kalau
manusia yang merasa hidupnya bergantung pada alam semesta, pasti ia akan berdamai
dengan alam semesta dengan menyelaraskan diri hidup harmonis dengan alam.
Manusia yang merusak alam adalah manusia yang lupa
akan asal kehidupannya. Dia lupa bahwa dirinya ada karena bumi dan alam yang
menunjang kehidupannya dengan menyediakan udara, air dan makanan baginya.
Yang mencintai alam ciptaan sebenarnya mencintai
kehidupan. Sang Pencipta mencintai kehidupan, maka Dia menciptakan segala
sesuatu dari tiada menjadi ada. Mencintai alam ciptaan sebenarnya juga
mencintai kehidupan yang berlanjut. Yang mencintai alam ciptaan, ia berbuat
adil kepada generasi mendatang. Jika ia bisa menikmati kehidupan yang baik,
maka ia pun tak egois menghabiskan anugerah alam itu sendiri, tetapi ia berbagi
pada generasi mendatang.
إرسال تعليق for "Penjaga Alam Ciptaan"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق