Hidup Selaras dengan Ibu Bumi

Seseorang yang sudah cukup tua merasa prihatin akan kerusakan alam yang sudah cukup parah. Namun, ia merasa bersyukur karena, menurutnya, ia tidak akan mengalami risiko dari kerusakan alam itu. Ia akan segera mati. Dengan demikian, ia merasa akan terhindar dari penderitaan akan kerusakan alam.
Saya tidak tahu harus berperasaan seperti apa terhadap pernyataan tersebut. Bukankah kerusakan alam itu juga terjadi pada masa hidupnya? Bisa jadi, risiko terburuknya tidak ia alami, karena ia terburu mati.
Namun, warisan kerusakan alam itu saya rasa menjadi masalah bagi generasi penerusnya, pun bagi spesies ciptaan lain. Kerusakan satu spesies ciptaan akan berdampak pada spesies lainnya karena semuanya saling terhubung dan hidup dalam koneksi ketergantungan antar satu dengan yang lainnya.
Generasi orang tersebut, sedikit banyak sudah berkontribusi pada kerusakan alam. Dan kemungkinan yang menanggung risiko selanjutnya adalah generasi penerusnya. Sebagai generasi berusia 30-40an tahun, saya sebenarnya merasa kecewa dengan pernyataan tersebut. Karena, jelas angkatan generasi saya dan di bawah saya berpotensi mengalami risiko kerusakan alam tersebut. Alangkah baiknya, dalam sisa hidupnya, ia pun turut menebus kesalahan yang disebabkan generasinya dan meyakinkan pada generasi yang lebih muda supaya tidak mengikuti generasi perusak alam. Hemat saya, di sisa waktu hidupnya, dia harus bertanggung jawab.

Memang, bisa jadi ia tidak salah sepenuhnya karena ia merusak alam tanpa ia sengaja dan sadari. Banyak orang juga tidak tahu kalau di antara aktivitas sehari-harinya berpotensi merusak alam. Banyak orang tidak tahu kalau barang-barang yang dikonsumsinya menyisakan sampah yang berbahaya bagi lingkungan hidupnya.
Terkait dengan hal tersebut, saya tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kelalaian generasi tua, kecuali pada pihak-pihak yang meskipun sudah tahu risiko terburuknya bahwa bumi rusak, namun ia nekad melakukan kegiatannya demi mengejar keuntungan ekonomi.
Saya merasa sebaiknya generasi yang lebih muda juga tidak lagi meniru kelalaian generasi tua yang tak ramah pada bumi. Yang terbaik saat ini, kita tidak lagi saling menyalahkan namun bangkit bersama-sama bergotong royong menebus kesalahan cara berada kita di bumi ini. Maka, yang paling mungkin saat ini adalah kita kembali pulang merajut relasi dengan bumi, setelah sekian waktu menjadi anak hilang dan menghambur-hamburkan kekayaan ibu bumi. Bumi telah memberi banyak hal pada kita, baik yang materi maupun  non materi. Selain telah menikmati kelimpahan hasil bumi, kita juga telah banyak belajar kearifan pada bumi. Bumi selalu memberi.

Hidup organik
Hidup organik selaras dengan bumi menjadi cita-cita yang harus kita wujudkan. Hidup organik itu meliputi cara berada kita di bumi ini, baik dalam cara berproduksi maupun cara mengonsumsi. Dengan hidup organik, manusia juga senantiasa memperhatikan nasib organisme lainnya. Manusia yang hidup organik selalu mempertimbangkan dan memastikan cara produksi dan konsumsinya dijamin tidak merusak relasi antara manusia dengan bumi dan ciptaan lainnya.
Hidup organik mengandaikan kecerdasan ekologis. Kecerdasan ekologis mengandaikan manusia bukan pemalas, yang tak mau berpikir akan akibat-akibat dari cara produksi dan konsumsinya. Namun dengan akal budi yang telah dianugerahkan Tuhan, manusia selalu memikirkan langkah hidup, tindakan, dan cara beradanya di bumi.
Dengan kecerdasan ekologis, manusia sadar, tahu dan diharapkan selalu bertindak tanpa merusak alam. Demikian pula, dengan kecerdasan ekologis, manusia memilih memakai sarana-sarana yang menjamin kelestarian bumi.
            Hidup organik merupakan cara berada bersama dengan seluruh ciptaan lain sebagai sesama warga atau komunitas kehidupan. Cara hidup ini memang harus meninggalkan sikap hidup egois. Melalui hidup organik, manusia memperhatikan kelangsungan hidup ciptaan lain.
            Untuk mewujudkan hidup organik, habitus seseorang mesti harus berubah menjadi habitus yang selalu berorientasi pada keselamatan semesta. Ia harus menolak rasa egoismenya yang hanya mengejar kesejahteraan pribadi.
Patut disadari bahwa bumi merupakan rumah bersama. Dengan demikian semua ciptaan yang berada di bumi sebenarnya anggota komunitas yang semuanya hidup saling bergantung. Dr. Samuel Oton Sidin, OFM.Cap. dalam hari studi sidang sinodal KWI, 5-7 November 2012 menulis, seperti setiap rumah, bumi punya aturan permainan. Makhluk-makhluk tak berakal budi dan semua yang ada dalam kesatuan dengannya terikat pada hukum alam yang bagi orang beriman diyakini berasal dari Sang Pencipta.
Menurutnya, makhluk ciptaan yang tidak berakal budi, menjalani aturan tersebut seturut nalurinya masing-masing. Makhluk insan, menusia yang tercipta dengan akal budi, menjadi penanggung jawab utama dalam rumah alam ini. Dan karena itu seharusnya memahami hukum alam ini dan bertanggungjawab memelihara dan melaksanakannya.
Maka, dengan demikian, manusia pun mestinya memperhatikan aturan dan hukum alam itu sebagai sesama warga kehidupan. Dalam hal itu, kesejahteraan manusia mestinya juga menjadi kesejahteraan makhluk lainnya. Kesejahteraan tak hanya melulu ekonomi namun kesejahteraan bernuansa ekologis, semua makhluk berada dalam situasi serba kecukupan, tanpa ada yang mendominasi. Semua tunduk sebagai sesama ciptaan di hadapan Sang Pencipta.
Berada setara seperti keluarga dengan makhluk ciptaan lain juga telah dilakukan Santo Fransiskus dari Assisi. Menurut William Chang,  OFM.Cap dalam Jiwa Kosmis Fransiskus dari Assisi, halaman 119, keberadaan Fransiskus adalah keberadaan bersama dan bukan keberadaan yang mengatasi makhuk ciptaan lain. Kesatuannya dengan Pencipta memungkinkannya bersikap menghargai dan mengangkat martabat makhluk ciptaan sebagaimana mestinya.
Kita bagaikan anak yang hilang, meninggalkan ibu pertiwi, menghambur-hamburkan kekayaannya demi kepuasan ekonomi, teknologi, dan pemenuhan nafsu tak terkendali. Kini, sebagai anak yang hilang, kita telah kehilangan kekayaan itu dengan makin rusaknya alam semesta ini. Kini saatnya, anak hilang itu, kita, kembali ke ibu bumi. Terlepas dari segala kesalahan dan dosa-dosa ekologis generasi terdahulu maupun sekarang, kini saatnya kita merajut relasi kembali dengan ibu bumi dan dengan keluarga ciptaan yang lainnya.
Dalam pangkuan ibu pertiwi yang selalu bermurah hati dengan segala kekayaannya, kita membangun semangat pertobatan ekologis dengan hidup organik. Hidup selaras ibu bumi.






Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk " Hidup Selaras dengan Ibu Bumi"