Tahun 1970-an, Gereja mendapat
kritikan bahwa kekristenan sebagai biang krisis ekologis. Satu di antara pengritik itu adalah Lynn
White. Menurutnya, berdasar Kitab Kejadian 1:27-28, orang Kristen merasa
memiliki martabat yang paling luhur karena setelah diciptakan oleh Allah,
mereka diberi kuasa untuk menguasai bumi. Dengan demikian, orang Kristen merasa
berhak menguasai ciptaan lain dan bebas mengeruk sumber daya alam untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tuduhan itu bisa benar bisa salah. Bisa
benar, karena bisa jadi orang-orang Kristen menafsirkan Kitab Kejadian 1:27-28 sebagai
legitimasi bahwa dirinya adalah penguasa atas ciptaan yang lain. Maka, dengan
dalih melakukan tindakan berdasar ayat Kitab Suci, mereka melakukan eksploitasi
atas alam ini.
Namun, tuduhan itu bisa salah, karena
bisa jadi orang-orang Kristen atau apapun agamanya, demi memenuhi kebutuhannya
tanpa harus mendasarkan pada perintah Kitab Suci, bisa saja merusak alam. Motifnya
bukan karena motif agama, atau tafsir atas ayat Kitab Suci. Namun, yang menjadi
motif eksploitasi alam sebesar-besarnya adalah dirinya ingin mengeruk kekayaan
alam demi kesejahteraannya, bahkan demi keserakahannya. Sementara itu, ciptaan
dianggap sebagai instrumen pemuas kebutuhan manusia saja.
Jadi, dalam dua tindakan yakni
sama-sama perusakan alam, terkandung motif yang sama sekali berbeda.
Sebagaimana ditulis Mateus Mali,
CSSR (2008), menghadapi hal itu, Benhard Haring mencoba menanggapi tuduhan
tersebut dengan berusaha memasukkan tema ekologi dalam dunia moral Kristen, Free and Faithful in Christ (1997). Namun,
pada masa itu, hal itu mendapat kritikan karena tema ekologi dianggap sebagai
tema yang asing dalam dunia moral. Menurut Mali, mereka merasa bahwa tema itu terlalu
dipaksakan oleh Haring untuk dibicarakan dalam teologi moral karena moralitas
itu hanya diperuntukkan bagi manusia. Yang bermoral hanyalah manusia.
Namun,
pada akhirnya, orang mulai sadar bahwa ekologi adalah tema yang harus
dibicarakan dalam teologi moral karena orang harus disadarkan akan pentingnya suatu
tatanan hidup yang bermoral di dalam kebersamaan dengan makhluk ciptaan yang
lain bahkan dengan alam ini. Moralitas bukan sekadar menyangkut manusia, namun
menyangkut hidup manusia berhadapan dengan seluruh kosmos yang ada sebagai
bagian dari kehidupannya sendiri. Demikian tulis Mali.
Rusaknya
alam ciptaan adalah bencana bagi tatanan kehidupan di dalamnya. Tidak ada
ciptaan yang berdiri sendiri. Semuanya sebenarnya saling terhubung, saling
mempengaruhi, dan saling mendukung. Mereka membentuk jaring-jaring kehidupan
dan rantai makanan. Sehingga dengan punahnya/rusaknya satu ciptaan akan
berpengaruh pada keberadaan ciptaan yang lain.
Jadi relasi sesama ciptaan merupakan
gambaran bahwa masing-masing ciptaan tergabung dalam komunitas kehidupan yang
di dalamnya terjadi dinamika saling terhubung dan mempengaruhi.
Relasi dalam komunitas itu membutuhkan
suatu cara pandang bahwa sesama ciptaan memang diciptakan oleh Sang Pencipta
yang sama. Maka, sesama ciptaan sebenarnya adalah saudara se-Pencipta. Maka, memandang
ciptaan lain hanya sebagai obyek adalah sesuatu yang merendahkan nilai
persaudaraan itu. Dalam hal ini, memandang ciptaan berarti secara tidak
langsung memandang Sang Pencipta. Sebab, ciptaan adalah kreasi Sang Pencipta.
Tidak hanya dahulu seperti yang dikisahkan dalam narasi Kitab Kejadian tetapi saat
ini pun masih berlangsung proses penciptaan itu.
Dengan demikian, sebagai sesama
ciptaan, manusia dengan ciptaan yang lain sebenarnya setara. Santo Fransiskus
Assisi bahkan menyapa ciptaan-ciptaan lainnya sebagai saudara maupun saudari
karena baginya, semuanya adalah berasal dari satu Allah Bapa. Dengan demikian
sebenarnya, sudah sejak diciptakan, sesama makhluk ciptaan adalah saudara dan
saudari. Sebagai ciptaan Tuhan, masing-masing ciptaan memiliki nilai intrinsik.
Manusia
harus memakai moralitasnya dalam memperlakukan makhluk ciptaan lain. Karena
manusialah yang bisa memakai budi dan daya dalam memaknai alam semesta ini. Bahwa
manusia tidak bisa hidup sendiri di alam semesta ini. Demikian juga,
budaya-budaya manusia langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap
komunitas kehidupan di alam semesta ini.
Ada
budaya manusia yang dihidupi sebagai bentuk ekspresi betapa eratnya relasi
manusia dengan alam semesta. Manusia menyadari bahwa dirinya hidup dari alam
semesta. Maka, manusia tidak akan merusak alam tersebut. Manusia justru
menjaganya sedemikian rupa. Tempat-tempat tertentu seperti sumber air, hutan, sungai
tertentu dianggap sebagai sebagai tempat keramat. Istilah keramat sebenarnya
mau menjelaskan bahwa tempat itu disucikan, tak boleh sembarang orang berada di
tempat tersebut karena tempat itu menjadi sumber kehidupan atau yang menjamin
kehidupan manusia. Hal itu pun diekspresikan lebih lanjut dengan memberikan
sesajian, mencipta kesenian yang melambangkan betapa dekatnya manusia dengan
alam dan betapa tergantungnya manusia pada alam. Maka, tak jarang
upacara-upacara itu berisikan permohonan kepada Sang Penguasa supaya manusia
bisa memperoleh kemurahan melalui alam semesta. Kalau petani, manusia menggelar
sedekah bumi, upacara Dewi Sri. Kalau nelayan, mereka melakukan sedekah laut.
Manusia
yang sadar bahwa dirinya tergantung pada alam semesta pun tahu diri dalam
mengambil hasil alam. Mereka mengambil seperlunya saja karena bagi mereka alam
pun harus merekonstruksi diri supaya bisa mengalami pemulihan dan kelimpahan yang
pada saatnya hasilnya bisa dinikmati.
Namun,
seiring dengan berkembangnya teknologi, manusia yang awalnya tidak bisa menembus
daerah yang sulit dan terlarang, sejak itu, manusia bisa merambah ke dalamnya. Bahkan dengan rakusnya, manusia
merampok kekayaan alam habis-habisan. Mereka tak lagi berpikir tentang
kelestarian, mereka lupa bahwa dirinya hanyalah makhluk yang bergantung pada
alam semesta.
Tak
hanya dengan alam ciptaan saja, sejak itu, terhadap sesama manusia pun mereka
melakukan penindasan. Maka, sebenarnya eksploitasi alam secara serakah di
samping adalah penindasan terhadap alam, hal itu juga merupakan penindasan
terhadap manusia yang sebelumnya sangat tergantung pada alam tersebut. Orang-orang
di pedalaman harus tersingkir dan kesulitan mencari makan karena hutan mereka
dibabat habis atau karena lahan mereka diserobot menjadi area pertambangan yang
mengeruk isi perut bumi sedalam-dalamnya.
Dalam hal inilah sebenarnya, manusia
perlu membenahi cara pandangnya terhadap ciptaan dan alam ini. Meskipun dalam
Kej 1:27-28 dikisahkan, manusia diciptakan secitra dengan Allah dan diberi
kuasa atas ciptaan yang lain, hal ini bukan berarti bahwa manusia adalah
makhluk yang superior atas yang lain. Menurut Mali, ia berkuasa untuk ikut di
dalam penciptaan kembali alam semesta ini. Berkuasa berarti mengambil bagian di
dalam karya penciptaan Allah itu. Kekuasaan selalu harus mengandung unsur
kreasi.
Manusia mengambil bagian dalam karya
Allah berarti manusia menyelaraskan diri dengan Allah yang mencipta segalanya
sebagai yang baik adanya. Dengan demikian, manusia tak lagi merusak alam
semesta namun justru menjaga keutuhannya supaya tetap baik adanya.
Dengan demikian, iman Kristen tidak
mungkin mengajarkan manusia menjadi penguasa atas alam semesta yang dengannya
manusia bisa mengeksploitasi ciptaan Tuhan. Namun justru sebaliknya dengan
kekuasaan yang diberikan Tuhan itu, manusia menjadi penjaga keutuhan ciptaan
yang baik adanya itu.
Posting Komentar untuk "Berkuasa Menjaga Keutuhan Ciptaan "
Kesan/Pesan
Posting Komentar