Dengan suguhan
data-data tentang kerusakan alam dan berbagai risiko yang terjadi, bisa jadi
kita semakin takut dan akhirnya marah pada para pelaku perusakan alam itu.
Apalagi data-data kerusakan alam itu juga menunjukkan adanya risiko bahaya
bencana alam yang tak hanya mengancam manusia. Namun, risiko itu juga mengancam
flora dan fauna, makhluk ciptaan Tuhan yang selama ini menjadi gantungan hidup
manusia.
Alexander Sonny Keraf dalam
bukunya “Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global” (2010) mengungkap krisis
dan bencana kerusakan lingkungan hidup yang tak hanya berpengaruh lokal namun
global. Karena global maka, krisis dan bencana itu melanda seluruh makhluk di
bumi ini. Krisis dan bencana lingkungan hidup global itu meliputi kerusakan
lingkungan hidup (kerusakan hutan, kerusakan terumbu karang, kerusakan lahan,
kerusakan lapisan ozon), pencemaran lingkungan hidup (pencemaran udara, pencemaran
air, pencemaran laut, sampah), kepunahan sumber daya alam dan lingkungan hidup
(kepunahan keanekaragaman hayati, kepunahan mata air, kepunahan sumber daya
alam), kekacauan iklim global, dan masalah sosial terkait dampak lingkungan
hidup. Semua itu mengancam kehidupan.
Dampaknya sedikit
banyak sudah kita rasakan dan hal itu membuat hidup kita sangat tidak nyaman
karena mengancam kehidupan kita dan para makhluk hidup. Hal itu menuju kepada
kematian bahkan kehancuran dan kepunahan.
Mungkin kita tak
terlalu menyesal atau kecewa jika bencana itu terjadi karena faktor alam. Karena
memang pada dasarnya, menurut Fredy Buntaran, OFM (1996), alam sesungguhnya
sejak semula sudah mengalami dinamika konstruktif-desktruktif, yakni potensi
untuk memulihkan kerusakan yang terjadi pada dirinya sendiri.
Namun, yang membuat
kita kecewa adalah bencana alam terjadi karena ulah manusia. Manusia merasa
dirinya berkuasa atas ciptaan. Ia menganggap alam ciptaan hanya untuk memuaskan
kebutuhannya. Bahkan tidak hanya mengonsumsi secara ugahari dan seperlunya,
namun, manusia mengonsumsi lengkap dengan segala ketamakan yang melekat pada
dirinya. Ia tahu bahwa yang dilakukannya adalah merusak alam dan berbahaya bagi
kelangsungan keselamatan planet dan warganya. Namun, ia tetap tak
mengindahkannya dengan dalih keuntungan ekonomi.
Kalau bencana
disebabkan oleh kebodohan atau ketidaktahuan manusia, barangkali, kita juga
masih bisa memakluminya dan mencoba mengambil tindakan konsientisasi bersama
supaya masyarakat juga mau peduli pada pelestarian keutuhan ciptaan.
Sayangnya, yang terjadi
adalah bencana disebabkan oleh orang-orang yang dengan sengaja melakukan
perusakan terhadap alam ini. Hal ini dilakukan semata-mata demi meraih keuntungan ekonomi semata. Sebenarnya bumi tak
perlu rusak jika tak ada manusia yang serakah.
Melihat ulah segelintir
manusia yang merusak alam, kerap para aktivis lingkungan geram dan marah bahkan
melakukan perlawanan dengan kekerasan. Namun sebenarnya, belajar pada bumi itu
sendiri yang dengan penuh kelembutan terus memelihara kehidupan, para aktivis
penyelamat lingkungan hidup atau pecinta lingkungan hidup sudah saatnya
meneladan cara-cara bumi yang penuh kelembutan.
Memang, ini sungguh mengerikan, kita melihat betapa
alam ini rusak berat. Namun, perhatikanlah bumi. Meskipun ia mengalami
kerusakan berat, ia tetap berusaha memelihara kehidupan. Dia berusaha
menyembuhkan alam ini. Bumi menjadi tempat kehidupan sejak awal mula. “Tanah
itu menumbuhkan tunas-tunas muda, segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan
segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji. Allah melihat
bahwa semuanya itu baik (Kej 1:12). Bahkan kematian yang terjadi adalah
permulaan kehidupan. “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam
tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan
menghasilkan banyak buah (Yoh 12:24).
Tak perlu
pesimis apalagi takut dengan kerusakan alam. Lihatlah kehebatan bumi, di
sela-sela tempat yang tak memungkinkan untuk tumbuh tumbuhan pun karena
tercemar limbah berbahaya pada saatnya nanti akan ada kehidupan karena bumi
menyembuhkan semuanya itu.
Spiritualitas
pecinta bumi
Menyelamatkan
bumi adalah menyelamatkan kehidupan. Karena menyelamatkan kehidupan maka, cara
yang ditempuh adalah dengan memuliakan kehidupan, bukan dengan kekerasan yang
berpotensi pada kematian.
Santo Fransiskus Assisi
melakukan penyelamatan dengan antikekerasan. Ia menjadikan semuanya sebagai
saudara-saudari, baik yang berakal budi maupun yang tak berakal budi. Sekalipun
ia sendiri terdorong oleh ilham ilahi ingin memperbaiki kehidupan
masyarakatnya, ia tidak memilih jalan kekerasan. Ia menghadapi segala macam
pencemaran yang terjadi dengan sikap penuh perdamaian dan persaudaraan (bdk.
Legmai VII:1-6) dan, lebih dari itu ia sendiri melakukan apa yang diajarkannya
kepada orang lain (Freddy Buntaran, 1996:59).
Yang dilawan adalah dosa
bukan pendosa. Dosa memutus hubungan antara manusia dengan Pencipta bahkan
dengan ciptaan-Nya. Hanya orang yang dirundung dosa yang merusak ciptaan-Nya.
Sebaliknya seorang yang mencintai Pencipta tidak akan merusak ciptaan-Nya. Seseorang
yang mencintai seniman tidak akan merusak karya seninya.
Chico
Mendes, seorang penyadap karet di Acre, Brasil berjuang mempertahankan hutan
hujan tropis Amazon dari rencana pembukaan jalan untuk peternakan dengan
cara-cara antikekerasan. Cara perjuangan Chico bersama orang-orang di hutan
Amazon biasa disebut empate. Setelah
bekerja sama dengan orang-orang yang sama-sama memperjuangkan kelestarian hutan,
ia berusaha mengajak orang-orang yang akan menebang hutan supaya mengurungkan
niatnya. Tak ada kekerasan dalam perjuangan mereka. Bersama para perempuan dan
anak-anak, mereka mengitari dan melingkupi pepohonan, melindungi pohon dari gergaji-gergaji
para penebang. Dengan badan, mereka melindungi pepohonan. “Sebegitu jauh, kami
biasanya menggunakan perjuangan tanpa kekerasan, dan itu akan kami pertahankan.
Apabila pada suatu hari kami perlu menggunakan kekerasan, itu hanya akan
terjadi karena kami dipaksa untuk berbuat begitu oleh keadaan, oleh sistem dan
kebijaksanaan para tuan tanah,” kata Chico Mendes yang ditulis dalam bukunya
yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Berjuang Menyelamatkan Hutan: Sebuah
Kata Hati”.
Sebagaimana
ditulis Hagen Berndt, Thomas Merton memikirkan kesatuan antara sarana dan
tujuan dalam aksi tanpa kekerasan. Bagi Merton, perlawanan tanpa kekerasan adalah
daya upaya untuk menegakkan Kerajaan Allah dan rekadaya agar semua orang dapat
masuk ke kerajaan itu. Pendosa diselamatkan supaya kembali memulihkan hubungan
antara dirinya dengan Sang Pencipta dan dirinya dengan sesama ciptaan-Nya.
Menyelamatkan
alam adalah memuliakan budaya kehidupan. Maka, penyelamatan itu pun dilakukan
dengan cara-cara yang menghormati kehidupan termasuk pada para perusak alam itu
sendiri. Kesaksian bahwa kita mencintai ciptaan juga dinyatakan dalam
perjuangan itu. Bagaikan bumi yang terus menerus memberi hidup, kita terus memancarkan
semangat kehidupan. Bumi tidak akan jera memulihkan kehidupan di atas/dalamnya,
tak peduli manusia mencintainya ataupun merusaknya. Jika terjadi reaksi dalam
rupa bencana karena ulah manusia, itu adalah upaya rekonstruksi atas destruksi
yang terjadi padanya. Dengan bahasa alamnya, bumi menunjukkan bahwa setiap
tindakan terhadapnya membuahkan reaksi.
Maka,
menyelamatkan ciptaan sebenarnya penuh dengan kelembutan, bukan dengan
kekerasan. Menyelamatkan ciptaan adalah cinta. Cinta itu bersumber pada cinta Sang
Pencipta yang mencipta alam ini dari tiada menjadi ada.
إرسال تعليق for "Menyelamatkan Bumi adalah Cinta"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق