Suatu ketika Beato
Yohanes Paulus II mengatakan perdamaian bukanlah utopia atau gagasan yang tak
terjangkau maupun impian yang tak terwujud. Perang bukanlah bencana yang tak
terhindari. Perdamaian bisa tercapai. Dan karena bisa tercapai, perdamaian
adalah tugas kita, tugas penting kita, tanggungjawab utama kita.
Tentu ini, sangat ironis
dengan pilihan orang-orang dan pemimpin negara yang kerap lebih memilih perang
untuk mencapai ambisinya. Dalam perang, orang
mengatakan kalau tidak membunuh (mengalahkan), maka ia dibunuh
(dikalahkan). Maka, aktivitas membunuh (mengalahkan) menjadi tujuan
masing-masing kubu.
Manusia lebih menginginkan
dirinya menjadi penguasa atas yang lain. Manusia ingin mendominasi kehendaknya
atas orang lain. Dalam filsafat Jawa dikenal wong kang adigang, adigung, adiguna. Yang berarti orang yang
mengandalkan kekuatan/kekuasaannya, kekayaannya dan kepandaiannya. Sayangnya semuanya
itu disalahgunakan menjadi alat dan tujuan
untuk membuat dirinya menjadi paling hebat.
Menjadi tujuan? Jelas
bahwa ketiganya adalah yang paling dikejar manusia. Orang melakukan banyak cara
untuk meraih kekuasaan. Untuk menggapai kekuasaan orang tak jarang menghalalkan
segala cara misalnya politik uang, kampanye hitam pihak lawan, menjegal
pesaing-pesaingnya dengan cara-cara kotor dalam meraih kekuasaan.
Orang juga melakukan berbagai
cara untuk meraih kekayaan. Korupsi menjadi pilihan favorit di Indonesia. Baik
yang sudah tertangkap dan dihukum, maupun yang tertangkap namun lolos dari
hukuman, serta mereka yang jelas melakukan korupsi namun tak tersentuh hukum
bersliweran. Namun, muaranya adalah satu menjadi yang terkaya.
Orang juga melakukan berbagai
trik untuk meraih kepandaian. Tak jarang orang berusaha menjadi pandai supaya
ia bisa meraih posisi yang menguntungkan dia. Tentu, banyak tempat tidak
menerima orang yang tak mempunyai kepandaian. Orang yang tak memiliki
kepandaian hanya jadi pekerja kasar. Dari sebab itulah, orang berlomba menjadi
terpandai. Bahkan untuk mencapai status itu, cara curang dilakukan misalnya mencontek
massal pada saat ujian nasional.
Disadari atau tidak,
sebenarnya orang-orang tersebut terjebak dalam peperangan demi menjadi pemenang
dalam hal kekuasaan, kekayaan dan kepandaian. Bahkan sejak kecil, anak-anak
sudah dilatih bertarung dalam kompetisi rangking di sekolah atau dalam aneka
lomba bidang studi. Nuansa peperangan itu seolah menjadi
bagian hidup.
Setelah semua itu
dicapai, baik kekuasaan, kekayaan dan kepandaian kerap disalahgunakan. Kemenangan
dari peperangan meraih kekuasaan, kekayaan dan kepandaian digunakan dalam
peperangan berikutnya.
Bahkan eskalasinya
lebih ditingkatkan lagi karena mereka berprinsip mempertahankan kekuasaan,
kekayaan dan kepandaian lebih sulit daripada mengejarnya. Berbagai cara
dilakukan. Dengan kekuasaannya, seseorang bisa menaklukan pihak lainnya,
terutama yang menjadi ancaman kelanggengan kekuasaannya. Maka, mereka membentuk
dinasti kekuasaan, jika suaminya sudah selesai menjabat, isterinya yang
diajukan untuk menggantikan dirinya. Atau jika orangtuanya selesai menjabat,
maka anaknya yang diminta untuk meneruskan kekuasaannya.
Melalui kekayaan,
perang dibuat sedemikian rupa. Maka negara-negara yang memiliki kekayaan akan
menjadi pemenang karena mereka bisa membeli senjata yang hebat. Dengan
kekayaannya, mereka bisa berdiplomasi dengan negara-negara lainnya untuk meraih
keuntungan.
Tak jarang pula,
peperangan sebenarnya menjadi permainan orang-orang pintar. Orang yang tak
memiliki kesadaran kritis menjadi bulan-bulanan permainan orang pintar. Sejarah
Indonesia diwarnai politik adu domba sejak zaman penjajah hingga saat ini. Konflik
dan kekerasan yang terjadi di Indonesia yang menyeret isu agama dan etnis seringkali
hanya menjadi permainan orang-orang pandai. Tak jarang pula orang pandai justru
memperalat orang lain.
Lalu, bagaimana dengan
mereka yang antiperang? Mereka bagaikan tim medis yang berlarian di antara
desing anak panah, peluru maupun rudal atau bom. Bisa saja mereka menjadi
korban dari peperangan itu. Namun, mereka berusaha menolong korban-korban yang
berjatuhan. Mereka merawat para korban dan berusaha menyembuhkan. Mereka
berusaha membalut luka-luka yang menyakitkan itu.
Menolong korban perang
dan membalut luka-luka mereka adalah baik. Namun, akan lebih baik lagi adalah jika
orang-orang mencegah supaya perang tidak pernah terjadi. Maka,
sebagaimana yang diserukan oleh Beato Yohanes Paulus II, perang bukanlah
bencana yang tak terhindari, terjadi. Bagaimana terjadinya, ketika pedang
diubah menjadi mata bajak, ketika budaya kematian menjadi budaya kehidupan.
إرسال تعليق for "Perang"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق