Judul :
Sabda yang Menyapa dan Menyentuh Jiwa
(Merenungkan
Firman Tuhan Bersama Mgr. I. Suharyo)
Editor :
Aloys Budi Purnomo, Pr
Penerbit : Majalah INSPIRASI, Lentera yang
Membebaskan
Halaman : 188 halaman
Kita dipanggil untuk
menjadi utuh, menjadi mulia. Hidup menjadi utuh kalau siap untuk dibagikan. Dan
kita tidak perlu berbicara hal yang muluk-muluk. Membagikan hidup sebagai martir,
itu iya, tetapi bisa sangat sederhana. Saya melihat hidup yang bisa dibagikan ketika saya sebagai
orang yang dari desa, masih melihat tetangga saya kalau panen mangga, mangganya
tidak dimakan sendiri tetapi dibagi-bagikan kepada tetangganya (hal. 69).
Petikan kalimat itu
tertulis dalam salah satu homili Mgr. Ignatius Suharyo dalam buku Sabda yang
Menyapa dan Menyentuh Jiwa (Merenungkan Firman Tuhan bersama Mgr. I. Suharyo).
Suara yang lembut
berwibawa adalah suara Mgr. Ignatius Suharyo, seorang Uskup Agung Jakarta yang
sebelumnya menjadi Uskup Agung Semarang. Banyak umat terpesona dengan
homili-homilinya yang penuh dengan inspirasi. Suaranya yang lembut itu sungguh
membuat rindu umat untuk mendengarkan homilinya dalam setiap misa. Maka tidak
heran, dalam setiap misa, tepatnya ketika Mgr. Suharyo memberikan homili, umat
hening untuk mendengarkannya.
Namun, kerap kali
setelah mendengarkan itu, umat merasa kehilangan poin-poin homili yang bisa “dikunyah”
ketika mereka kembali ke tempat masing-masing. Umat rindu untuk membawa pulang
pesan-pesan tersebut untuk direnungkan kembali di rumah, tempat kerja dalam
berbagai aktivitasnya sebagai oase hati dan pikiran. Untuk memuaskan kerinduan
itu, beberapa homili yang pernah disampaikan Mgr. Suharyo dalam berbagai
kesempatan telah dibukukan. Dengan demikian, umat bisa mengabadikan renungan
dan pesan-pesan itu dalam hidup mereka sehari-hari.
Tulisan homili itu tak
berbeda jauh dengan homili yang disampaikan secara langsung saat misa. Homili
yang disampaikan Uskup kelahiran Sedayu itu sangat mudah ditangkap. Kata-kata
yang mengalir dari homilinya mudah dicerna oleh berbagai umat dari berbagai
kelas ekonomi maupun pendidikan. Beliau memang sengaja memilih kata-kata yang
sederhana sehingga mudah ditangkap umat Katolik dari berbagai latar belakang
pendidikan.
Kata-kata yang
diucapkannya sangat runtut dan detil. Tata bahasanya sangat bagus dan nyaman
untuk disimak. Melalui homilinya, beliau memberikan pengetahuan, inspirasi,
maupun pengajaran sejelas mungkin dan setuntas mungkin sehingga informasi itu
dapat ditangkap secara utuh meskipun durasi homilinya berkisar 10-15 menit. Tampak
bahwa baik isi maupun kemasan homili telah dibuat dan disiapkan sedemikian
rupa. Rupanya hal itu sudah mendarah daging dengan cara berpikir, merasa dan
bertindak beliau.
Beberapa homilinya
diakhiri dengan dongeng. Salah satunya adalah kisah seekor burung Nuri dan
pohon Sukun. Seekor burung Nuri tetap tinggal di pohon Sukun yang sudah
meranggas dan kering karena mati tertancap anak panah pemburu meski
burung-burung yang lain meninggalkan pohon tersebut. Hingga pada suatu hari datanglah
seorang musafir dan bertanya pada burung Nuri alasan tetap tinggal di pohon Sukun
itu. Burung Nuri menjawab kalau pohon Sukun itu adalah tempat ia lahir, makan,
dan belajar terbang. Burung Nuri tidak rela meninggalkan pohon Sukun sendirian.
Melihat kesetiaan dan kemuliaan hati burung Nuri, musafir tersebut berubah
menjadi Mahadewa. “Nuri, betapa luhur watakmu. Betapa mulia hatimu. Sekarang
kamu boleh mengucapkan satu permintaan. Dan permintaanmu akan saya kabulkan!”
Nuri tidak berpikir panjang. Dan dia mengatakan, “Bapa satu yang saya minta supaya
pohon Sukun ini hidup lagi!” (hal. 54). Kemudian Mahadewa itu menghidupkan
kembali pohon Sukun yang mati itu. Cerita itu memberikan pesan bahwa kesetiaan
yang sungguh-sungguh akan membuahkan hasil.
Mgr. Suharyo menyiasati
kalau homili yang disampaikannya masih sulit ditangkap. Maka, dongeng menjadi
sarana ampuh untuk menjelaskan dan menguatkan isi homili. Maka, pesan-pesan
homilinya benar-benar menghujam tidak hanya pada kedalaman budi pendengarnya,
namun merasuk ke dalam hati dan memberi kekuatan baru.
Buku ini sangat mudah
untuk dipahami oleh siapapun. Jadi pembaca tak perlu takut kalau tidak bisa menangkap
pesan dalam buku tersebut. Buku ini menjadi semacam oase pada zaman ini yang
kerap diwarnai dengan kegersangan rohani karena disibukkan oleh berbagai macam
hal seperti pekerjaan dan aktivitas lainnya.
Buku ini layak menjadi
teman peziarahan iman umat Katolik bersama Gereja-Nya. Walau bagaimanapun
manusia tidak hanya hidup dari roti saja, namun dari Firman Tuhan. Demikian
pula, umat Katolik tidak bisa hanya mengadalkan dirinya, kepandaiannya dan
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Mereka tetap membutuhkan permenungan
gembalanya. Buku ini adalah jawabannya.
Tertarik untuk
mendapatkannya? Dapatkan di toko-toko buku terdekat. Atau pesan via telepon dan
sms Sdri. Susi (024) 70123459.
3 komentar untuk "Kumpulan Homili Mgr Suharyo yang Menyentuh Jiwa"
Kesan/Pesan
Posting Komentar