Judul buku      : Percik-percik Permenungan Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ dari Keheningan 
                        Wisma Emmaus Girisonta
Penulis             :  Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ
Editor              :  Aloys Budi Purnomo, Pr
Tebal               : 142 halaman
Penerbit           :  Majalah INSPIRASI



Keseimbangan iman, yakni iman yang diungkapkan dan iman yang diwujudkan menjadi roh dari buku yang ditulis Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ. Ketika umat Katolik (bisa jadi) terfragmentasi dalam dua kutub, ungkapan iman di satu sisi dan perwujudan iman di sisi lainnya, Kardinal mencoba menggabungkan kedua hal tersebut.
            Nuansa itu sangat kental terlihat dalam buku “Percik-Percik Permenungan Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ dari Keheningan Wisma Emmaus Girisonta”. Dalam tulisan berjudul Devosi yang Benar Bertujuan Mengupayakan Hidup Baik (hal. 32), Kardinal menunjukkan rasa syukurnya bahwa devosi menjadi salah satu ungkapan iman yang sekaligus meneguhkan iman umat Katolik. “Seperti halnya iman yang benar memiliki ciri pentobatan menuju hidup yang lebih baik, demikian pula orang menjalankan devosi yang benar kalau tetap bertujuan agar bisa menata hidup makin sesuai kehendak Allah, makin berkenan kepada-Nya” (hal. 34).
            Dalam devosi, menurutnya, kasih harus dikejar, tetapi karunia hanya diusahakan, sehingga kasih yang mendapat prioritas. Hidup baik itu yang utama, mendapat kesembuhan (dari penyakit, misalnya) itu bukan utama. Kardinal yang tinggal di Girisonta itu menekankan ciri pokok iman Katolik yakni mau bertobat dan mau mengejar kasih, mengupayakan hidup baik sesuai ajaran Yesus, mau meneladan semangat-Nya, meniru semangat Bunda Maria dan orang kudus yang kita hormati.
            Sementara dalam devosi ekaristi, Kardinal mengingatkan kebiasaan umat yang keliru dan hal tersebut bisa menjadi pembelajaran umat khususnya devosan adorasi ekaristi abadi yang sekarang sedang marak seiring pembangunan kapel adorasi ekaristi abadi. Tulisnya, Sakramen Mahakudus yang kita terima saat komuni, atau yang disimpan dalam tabernakel atau yang sedang ditahtakan adalah Tuhan Yesus sendiri. “Namun, kerap dijumpai adanya perbedaan sikap. Paling tidak, saat adorasi sedang dilaksanakan, tampaknya umat lebih hormat, sampai berlutut dan menundukkan kepala, daripada saat menerima komuni atau sedang ada di dalam gereja untuk latihan koor,  latihan melayani misa kudus, atau untuk keperluan lain. Di saat itu terkesan seakan kita tidak perlu bersikap hormat terhadap Sakramen Mahakudus!” (hal. 40). Namun, ia mengingatkan lagi  bahwa iman mesti berujung pada tindakan. Menurutnya, bersimpuh di hadapan Sakramen Mahakudus, kita dapat berdoa, mohon “dalam dan atas nama-Nya”, untuk menghadirkan karya penyelamatan Tuhan Yesus di tengah Gereja-Nya dan di tengah dunia.
            Buku ini semakin layak dibaca tidak hanya untuk para klerus, para awam umat beriman pun bisa menikmati buku ini dengan baik. Dia menegaskan awam Katolik supaya memiliki iman yang utuh. “Iman Katolik belum utuh, kalau belum menjadikan umat sangat peduli dan prihatin terhadap masalah kemiskinan baik pribadi maupun struktural, ketidakadilan sosial dan kesenjangan-kesenjangan lainnya yang ada dalam masyarakat. Iman Katolik mendorong lahirnya usaha nyata lewat keahlian dan profesi untuk bersama-sama dengan semua orang yang berkehendak baik, memerangi, memberantas, dan mengatasi ketidakadilan agar dapat mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan hidup yang merata.” (hal 55). Kardinal mengajak para awam Katolik untuk mewujudkan imannya dalam tindakan yang berlandaskan demi pembebasan manusia.
            Melalui buku yang tipis ini, Kardinal juga menekankan tentang pentingnya kaderisasi pada orang muda Katolik. Dengan membedah tokoh Anna Hazare, seorang tokoh antikekerasan India, mantan uskup Keuskupan Agung Semarang ini memproyeksikan gambaran ideal orang muda Katolik yang diraih melalui kaderisasi. Menurutnya, orang muda Katolik diharapkan menjadi pribadi yang mandiri, peduli sesama, mampu melihat bakat dan ketrampilan orang lain untuk dilibatkan dalam gerakannya, berkomitmen tinggi, dan memiliki pengalaman akan Allah melalui relasi doa.
            Kardinal melalui buku ini juga menyinggung tentang dosa Rosario, saksi dalam Kristus dan tentang iman Katolik yang mendalam dan tangguh.
            Melalui buku ini pembaca seakan ditantang dan ditanya apa bukti Anda menjadi seorang Katolik? Dan, jawabannya sebenarnya secara tersirat dan tersurat  sudah dilontarkannya. Pertama, jelas sebagai umat Katolik harus tahu hal-ikhwal kekatolikan. Tidak hanya menjadi umat Katolik yang mengerti separuh namun benar-benar bisa bertanggungjawab akan iman Katolik tersebut. Sehingga menjadi Katolik adalah menjadi orang yang beriman Katolik secara tangguh dan mendalam.
            Kedua, umat Katolik senantiasa bertindak atas nama iman yang dihidupinya. Maka, iman tidak hanya menjadi pengetahuan saja. Tetapi iman menjadi sesuatu yang menggerakkan seseorang untuk bertindak seperti yang tersurat dalam Yakobus  2:26 “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.”
            Buku ini layak dibaca oleh para klerus maupun awam Katolik, para aktivis Katolik dalam menemani karya kerasulannya entah di Gereja maupun dalam pemberdayaan masyarakat kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Demikian juga buku ini cocok menjadi salah satu literatur dalam karya kaderisasi orang muda Katolik.

Dapatkan buku tersebut di toko-toko buku terdekat. Jika Anda kesulitan untuk mendapatkan buku tersebut silahkan hubungi Sdri. Susi di (024) 70123459.

Post a Comment

Kesan/Pesan