Berguru pada Hewan



Bukannya saya tidak percaya pada manusia lagi. Namun, terkadang kita pun patut belajar pada hewan. Sering kali kita mengabaikan bahwa hewan hanyalah makhuk yang lebih rendah dari manusia dan bahkan tidak berharga. Maka kita pun memperlakukannya sekehendak hati kita. Hewan hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan pangan kita saja.

Ada yang tidak doyan hewan, entah karena dia vegetarian atau alasan lainnya tetapi memelihara hewan hanya untuk menyenangkan hatinya. Ia ingin menikmati keindahan entah suara, bulu, atau keunikannya. Bukan demi kepentingan hewan itu sendiri, namun demi kepentingan kesenangan manusia itu sendiri. Hewan pun hanya menjadi obyek pemuas.


Bahkan lebih parah lagi, kita menganggap bahwa hewan itu adalah makhluk yang kotor, sehingga seringkali kita mengusirnya karena takut, ia menjadi vektor pembawa penyakit. Namun pernah kah kita berpikir, bahwa hewan mungkin juga merasa risih dengan kehadiran manusia yang hanya membawa kerugian  baginya? Hahaha, tentu kita tidak mau berpikir sejauh itu karena kita masih menganggap bahwa kita adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk yang lain.

Tulisan ini sebenarnya hendak mengajak kita untuk belajar pada hewan. Khususnya, saya terinspirasi dengan Si Uler, anjing kampung saya di rumah. Bagiku, ia mirip dengan manusia. Ia bisa berekspresi galak maupun ramah. Bukankah sangat manusiawi?

Pada saya, ia bersikap ramah dan selalu berusaha menjangkauku dengan kaki depannya seperti orang seperti orang yang hendak mengajak salaman, pikirku. Hehehe. Namun, ia akan pasang muka galak ketika menjumpai orang yang tidak dikenalnya. Ini juga terkadang pada kita manusia. Manusia kadang pasang sikap curiga berlebihan.

Hal itu paling mudah kita saksikan saat ini. Orang takut pada orang yang baru dikenalnya. Jangan-jangan dia penjahat. Kita kerap menyaksikan ini di kendaraan umum. Dulu, ketika saya kecil, meskipun orang tidak saling kenal, orang bisa bercengkerama dengan bebas di angkutan umum. Sekarang, kita bisa menyaksikan, orang saling curiga, jangan-jangan di antara mereka ada copet. Maka, kita pun lebih suka pasang muka tidak ramah pada orang-orang di sekitar kita. Pun ketika kita sedang marah, kita tidak bisa mengontrol diri, kemarahan itu meluncur pada orang yang tidak kita marahi, namun kemarahan itu terlontar juga pada orang yang tidak tahu menahu mengenai kemarahan kita. Manusia galaknya minta ampun, kalau demikian.

Kalau anjing galak, mungkin sudah wajar. Namun, kalau manusia galak dan mengklaim dirinya makhluk sempurna tetapi masih galak, pantaskah ia disebut makhluk sempurna? Lalu kesempurnaannya terletak di mana? Maaf loh, saya membandingkan manusia dengan anjing.

Uler mengajariku percaya. Ia mempercayakan hidupnya pada pemiliknya. Ia setia meskipun dimarahi, diperlaukan tidak baik. Namun, ia diam, tidak berusaha membalas kejahatan tuannya dengan kejahatan apalagi dengan menyusun konspirasi. Yang dianggap sebagai kelemahan makhluk yang lebih rendah dari manusia terkadang menjadi unggulan karena hewan dikondisikan untuk tidak membuat konspirasi kejahatan yang sistemik seperti manusia.

Jadi, kalau kita masih menjustifikasi bahwa kita adalah makhluk sempurna dan hewan adalah tidak sempurna, mungkin perlu ditinjau kembali. Apalagi memakai kata Anjing untuk melakukan umpatan yang tidak baik. Ah, kan sebenarnya lebih pantas dan jika bisa anjing mengatakan "Manusia!" ketika anjing itu marah. Sehingga kita tahu, bahwa manusia pun mempunyai nista.

Sudah saatnya, kita belajar pada semua ciptaan Tuhan, berguru pada hewan, salah satunya.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

إرسال تعليق for "Berguru pada Hewan"