Lukas Awi Tristanto
Budaya kematian menghantui masyarakat kita. Sungguh miris membaca berita akhir-akhir ini. Bencana banjir telah memusnahkan harapan masyarakat untuk menikmati hidup sejahtera karena sawah ladang dan pabrik tempat mereka mencari nafkah terendam air. Kerugian pun telah membayang di depan mata. Dalam waktu yang bersamaan, kekerasan, perang, pembunuhan, penyebaran obat bius, ataupun eksploitasi seksualitas masih mencengkeram masyarakat kita dari anak-anak hingga orang dewasa di berbagai belahan dunia.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-ulang tersebut dalam masyarakat kita oleh Paus Yohanes Paulus II disebut sebagai budaya kematian. Budaya ini pula yang dialami Yesus Kristus, 2000 tahun silam. Ia dibunuh karena budaya kematian yang melanda penguasa, pelaku agama dan masyarakat pada waktu itu.

Masyarakat saat ini mengalami budaya kematian yang tidak hanya mengancam hidupnya namun juga harapannya. Situasi itu membuat fatalisme tumbuh subur. Karena ketidakberdayaannya, masyarakat menjalani hidup ini tanpa harapan. Masyarakat lelah/putus asa menanti perubahan positif dalam hidupnya. Dalam hal ini masyakarakat telah mengalami ”kematian”.
Kematian yang dialami masyarakat diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang menebarkan budaya kematian yang merusak relasi manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam ciptaan.

Sekularisme dan materialisme telah mengasingkan manusia dengan Tuhan. Sisi transenden menjadi asing bagi manusia. Nilai-nilai kerohanian tidak menjadi hal yang penting lagi. Manusia semata-mata hanya mengejar kenikmatan duniawi dan ragawi yang bersifat pleasure (kesenangan) dan artifisial. Kedalaman rohani tidak mendapatkan tempat. Manusia menjadi terasing dengan dirinya yang sebenarnya adalah makhluk rohani.
Sementara itu, rusaknya relasi manusia dengan sesama manusia disebabkan karena munculnya pandangan bahwa manusia bukanlah mitra kehidupan. Namun, manusia bagi manusia yang lain adalah kompetitor. Lebih parah lagi, manusia bukan hanya menjadi kompetitor tetapi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lain). Maka tidak heran ketika manusia mengeksploitasi manusia lain hanya untuk mendapatkan keuntungan materi. Manusia menjadi komoditas ekonomi. Sebagai mahkluk ciptaan, manusia direduksi hanya menjadi sekedar daging tanpa jiwa dan roh.

Sedangkan relasi manusia dengan alam ciptaan diwarnai dengan keserakahan. Manusia mengeksploitasi alam ciptaan hanya untuk mendapatkan keuntungan materi. Hutan yang berfungsi untuk melindungi ekosistem ditebang dengan semena-mena. Masyarakat masih mengonsumsi produk-produk yang merusak lingkungan misalnya plastik dan bahan-bahan kimia berbahaya secara berlebihan. Alam ciptaan tidak dihargai. Akibatnya bencana ekologis pun terjadi. Banjir merusak area pertanian dan pabrik-pabrik. Masyarakat menderita penyakit akibat polusi bahan-bahan berbahaya. Kehidupan masyararakat terancam.

Melihat kerusakan-kerusakan itu tak heran jika masyarakat menjadi putus asa dan fatalis. Masyarakat terasing dengan Tuhan karena dosa-dosanya. Manusia-manusia masih mementingkan ego keserakahannya. Untuk membebaskan dosa-dosa, Yesus Kristus rela menapaki jalan derita dengan rela mati di kayu salib.

Budaya kehidupan
Dosa yang dilakukan manusia, menurut Gustavo Guiterrez seperti yang ditulis Martin Chen Pr, bukan hanya menyangkut relasi yang putus dengan Allah (teologis), tetapi juga dikonkretkan dalam sikap pribadi yang negatif (personal) serta hubungan yang rusak dengan sesama, dan dalam pelbagai struktur sosial yang tidak adil (sosial/struktural). Maka, pembebasan yang dilakukan Yesus Kristus mencakup tiga level yaitu pembebasan sosial/politis (dari struktur sosial tidak adil menuju masyarakat bersaudara), pembebasan personal (dari egoisme menuju diri yang terbuka kepada Allah dan sesama), dan pembebasan teologis (dari dosa menuju persatuan dengan Allah). Pembebasan integral inilah yang kemudian menjadi budaya kehidupan.

Kematian yang dialami Yesus, bukanlah kematian harapan, melainkan hidupnya pangkal harapan untuk menuju harapan baru. Karena, dengan kematian, Ia justru menuju kehidupan. Maka, pada hari ketiga, Ia bangkit dari kematian. Itulah peristiwa Paskah.
Melalui peristiwa Paskah, kematian diubah menjadi kehidupan. Budaya kematian diubah menjadi budaya kehidupan. Harapan masyarakat yang telah mati, dihidupkan kembali oleh semangat Paskah.

Maka jelas, peristiwa Paskah telah membawa semangat pembebasan pada diri kita. Melalui semangat itu, kita dipanggil untuk bertobat kembali menatap Tuhan, menghargai sesama manusia, dan menghargai keutuhan alam ciptaan.

Paskah mengajak kita untuk menebarkan budaya kehidupan dalam masyarakat kita. Ada tawaran akan tatanan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat kita. Kita ditantang untuk semakin berpengharapan dalam menapaki hidup ini meskipun saat ini masih dicengkeram budaya kematian. Dalam situasi itu, kita bersama saudara-saudari umat beriman lain dipanggil untuk tetap setia dalam menjalani perutusan sebagai penebar budaya kehidupan untuk menaklukan kekuatan-kekuatan negatif budaya kematian.
Maka menjadi jelas, bahwa melalui peristiwa Paskah, kita dipanggil untuk semakin bertakwa, mencintai sesama manusia dan menghormati alam ciptaan Tuhan.

1 Komentar

Kesan/Pesan

Anonim mengatakan…
Paskah, paskah?